By : Edi Purwanto (H-1) |
Namaku Toni, aku berasal dari dari keluarga yang sederhana namun taat dalam beragama. Ayah dan ibuku harus kerja memeras keringat untuk menghidupi keluarga kami.mereka hanya bekerja sebagai petani yang penghasilannya tidak seberapa. Namun, aku bangga dengan apa yang mereka kerjakan, setidaknya mereka mampu mencukupi kebutuhan hidup kami. Dan satu lagi, menurutku mereka adalah pahlawan bagi negara ini, coba kalian bayangkan kalau tidak ada yang mau bekerja sebagai petani, mau makn apa nantinya kita?. Kalau dipikir-pikir sih, profesi mereka lebih mulia dari pada tikus-tikus berdasi yang duduk di kursi kantor yang megah bak singgasana. Karena dibalik pekerjaan bergengsi mereka, ternyata merekan memakan harta benda yang bukan haknya dan harusnya menjadi hak kita. Untuk itu, ayah dan ibuku selalu mengajarkanku untuk selalu jujur dan tidak mengambil apa yang bukan menjadi hak milik kita. Itu semua hanya sedikit penjelasan tentang aku dan keluargaku. Sebenarnya bukan itu yang ingin aku ceritakan pada kalian. Akan tetapi ini dia.
Pada suatu hari, saat itu aku sedang
menyandang gelar sebagai mahasiswa. Saat itu aku baru selesai berolahraga.
Kemudian aku duduk manis di bawah pohon dekat kampus sambil mengelap keringatku
dengan handuk. Suasana dimana udara di sekitarku saat itu masih kaya akan O2,
angin bertiup sepoi-sepoi membuat ranting-ranting pohon melambai-lambaikan
daun-daunnya padaku, sinar raja siang
pun belum terasa begitu menyegat kulit, masih terlihat kabut-kabut putih yang
menghalangi pandangan ku. Dari sela-sela kabut putih itu kulihat nampak seorang
gadis mengenakan pakaian ala muslimah yang menutupi seluruh tubuhnya kecuali,
telapak tangan dan wajahnya. Wajahnya nampak begitu putih dan bersinar layaknya
purnama di tengah malam. Aku tak sadar terus menatapnya. Dia terus berjalan dan
semakin dekat padaku, sampai akhirnya tinngal 1 meter di depanku dia ter
tersandung akar hingga buku yang dipegangnya jatuh pas di depanku. Aku pun
mengambilnya dan memberikannya padanya sambil berkata “Ini bukumu, awas hati-hati nanti jatuh lagi”. Dia pun menjawab
dengan senyum dan berkata padaku sambil mengambil buku dariku “Ya terima kasih kak”. “Namamu siapa” tanya aku dengan
mengulurkan tanganku bermaksud berjabat tangan dengannya. Namun dia tidak
merespon uluran tanganku “maaf kak, saya
punya wudhu’, nama saya rara kak”. “Nama
saya Aris dek” kataku. “ya sudah kak,
saya pergi dulu soalnya kita Cuma berdua takut timbul fitnah, Assalamualaikum”
jawab dia. Aku pun menjawab “Ya dek,
waalaikum salam”. Dia pergi menuju kampus, sementara aku masih memperhatikannya.
Batinku serasa tak rela melepasnya pergi.
Entahlah, ada apa denganku tiba-tiba saja sejak tadi bertemu dia,
jantungku jadi berdetak lebih kencang dari biasanya. Tapi, aku berusaha tidak
menghiraukannya dan bergegas pulang karena sebentar lagi ada kuliah di kampus.
Aku tidak mau telat sehingga aku melakukan tindakan korupsi waktu.
Tiga puluh menit selanjutnya, aku sampai di ruang
kuliah. Dan untunglah aku masih belum terlambat. Tidak sampai satu menit aku
duduk di ruang kuliah, eh dosennya sudah datang dan langsung ngasih tugas
observasi. Pak dosen panjang lebar ngejelasin tentang observasi itu, sementara
aku gak tau kenapa aku selalu terbayang sama cewek di bawah pohon tadi yang
religius, cantik, pokoknya dia masuk kriteria cewek idamanku banget deh. Satu
jam setengah telah berlalu, aku keluar dari kelas tanpa dapat materi
sedikitpun. Yang aku dapat hanya bayangan dia gadis yang bernama Rara. aku
mencoba terus melawan rasa itu dengan mengalihkan perhatianku, mulai dari
bertanya tentang yang tadi, membaca buku, dan ngobrol dengan teman-teman. Namun
tetap saja bayangannya enggan lenyap dari pelupuk mataku. Hatiku mulai gelisah,
sementara hayalanku terus
memaksaku
untuk menemui dia. “Hai bro, kenapa kok
melamun saja dari tadi, ada masalah ?” kata temanku Randi sambil menepuk
bahuku. Aku pun kaget dan menjawabnya dengan suara lirih dan lemah “ Gak papa bro”. “Gak papa, tapi ekspresi wajahnya kok seperti itu, ada yang
lagi kamu fikirin ya?”. “Sebenarnya gini” bisikku sambil menarik tangan
Randi dan membawa ketempat yang agak sepi. “
ada apa bro, cerita saja”. “Kamu kenal sama yang namanya Rara tidak?”. “Rara
yang mana?” jawab Randi dengan suara lumayan lantang sampai banyak teman-teman yang menoleh ke arah kami. “Jangan keras-keras bicaranya, pelan-pelan
saja” lanjut aku. “Ya maaf deh, Rara
mana yang kamu maksudkan?”. “itu lho
yang selalu pakek kerudung besar dan baju muslimah” kataku masih dengan
suara berbisik. “ Ooooo dia, masak kamu
tidak kenal dia, mahasiswi baru itu, sekarang cowok-cowok di sini kan pada
ngejar dia, tapi dia tidak mau. Kamu naksir juga sama dia?”. “ gak tau lah, aku
pun tidak tau rasa apa yang aku miliki padanya, tapi yang jelas dia tak kunjung lepas dari pelupuk mataku sejak
kita tadi pagi”. “ mending kamu lansung temui dia saja, biasanya kalau jam
segini dia di kantin”. Aku diam sejenak kemudian berkata padanya “ Mungkin benar, aku ke kantin saja, lagian
perutku juga sudah lapar”. “ Ya sana supaya kamu tidak GEGANA terus-terusan”
jawab randi. “apa GEGANA?”. “ ya gelisah,
galau, dan merana” jawab Randi. Aku kembali berkata padanya “ Kamu ada-ada saja,
ya sudah aku ke kantin dulu, assalamualaikum”. “Waalaikum salam” jawab randi.
Saat
sampai di kantin, tenyata tidak ada Rara di situ. Aku merasa kecewa karena hal
itu. Namun aku langsung duduk karena cuma tersisa dua kursi yang kosong.
Selanjutnya aku pesan semangkok mie ayam dan aku makan. Beberapa saat kemudian
terdengan suara di depanku “ permisi kak,
saya boleh duduk disini untuk makan soalnya sudah tidak ada kursi lagi”. Dan
ternayata setelah aku menoleh ke atas yang bicara tadi adalah Rara, dengan
spontan aku langsung mempersilahkannya duduk “silahkan duduk dek”. “Terima kasih kak, sudah dua kali saya berhutang
budi sama kakak” kata Rara. “Sudahlah
dek, itu kan cuma hal biasa” jawabku. Aku mendadak berkeringat dingin,
lagi-lagi jantungku berdetak seperti genderang mau perang saja. Sampai mie ayam
habis, aku tetap saja tidak berbicara apa-apa padanya. Aku jadi mati kutu dan
diam seribu bahasa di depannya. Sampai akhirnya, aku paksakan berbicara dengan
meminum segelas air putih sekaligus. Aku minum segelas sekaligus bukan karena
kehausan, tapi karena aku grogi di
depannya. “Dek, aaaku boleh nanya
sssesuatu gak” tanya aku dengan suara tersendat-sendat. Rara menjawab “Boleh, nanya apa kak?”. “ tapi kamu jangan marah ya?” aku
kembali bertanya. “Ya kak Insyaallah” tegas dia. “ Sebenarnya kamu sudah punya
pacar gak?” tanya aku. Rara menjawab dengan tegas “Gak punya kak dan Insyaallah
saya tidak akan berpacaran kak”. “Kenapa
dek?” tanya aku lagi. Rara menjawab “
ya kan pada dasarnya cinta adalah suci sebagi fithrah manusia, kenapa harus di
nodai dan dikotori dengan pacaran. Di
samping itu, kalau kita pacaran kan sama saja kita korupsi karena pacar kita
bukan milik kita, jadi secara tidak sadar dengan berpacaran maka kita sedang
melakukan korupsi ,karena kita mengambil hak orang lain yaitu suami atau istri
kita nanti. Apalagi bagi kaum wanita yang sangat dirugikan, mending langsung
nikah saja kalu sudah sampai waktunya”. “
ya betul dek” jawab aku. “ ya dah,
saya duluan kak soalnya ada kuliah, assalamualaikum” pamit Rara. “ ya dek, waalaikum salam” jawab aku.
Rara pun beranjak dan pergi dari tempat duduknya. Sebenranya tadi aku ingin
menanyakan apakah dia cinta padaku. Tapi, biarlah aku tak ingin menjadi
koruptor cinta karena nantinya kalau dia jadi pacar aku, berarti aku mengambil
cinta Rara yang seharusnya untuk suaminya kelak. Biarlah aku mencintainya dengan sederhana,
seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.
Biarlah akumencintainya dengan sederhana, seperti isyarat yang tak sempat
dikirimkan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada. Aku mencintaimu Tapi aku
tudak Mau menjadi Koruptor Cinta
biarkan takdir yang akan menyatukan kita nanti dalam ikatan yang suci, jika
kita berjodoh.
Sekian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar