Rabu, 01 Januari 2014

KORUPTOR CINTA





By : Edi Purwanto (H-1)
 




Namaku Toni, aku berasal dari dari keluarga yang sederhana namun taat dalam beragama. Ayah dan ibuku harus kerja memeras keringat untuk menghidupi keluarga kami.mereka hanya bekerja sebagai petani yang penghasilannya tidak seberapa. Namun, aku bangga dengan apa yang mereka kerjakan, setidaknya mereka mampu mencukupi kebutuhan hidup kami. Dan satu lagi, menurutku mereka adalah pahlawan bagi negara ini, coba kalian bayangkan kalau tidak ada yang mau bekerja sebagai petani, mau makn apa nantinya kita?. Kalau dipikir-pikir  sih, profesi mereka lebih mulia dari pada tikus-tikus berdasi yang duduk di kursi kantor yang megah bak singgasana. Karena dibalik pekerjaan bergengsi mereka, ternyata merekan memakan harta benda yang bukan haknya dan harusnya menjadi hak kita. Untuk itu, ayah dan ibuku selalu mengajarkanku untuk selalu jujur dan tidak mengambil apa yang bukan menjadi hak milik kita. Itu semua hanya sedikit penjelasan tentang aku dan keluargaku. Sebenarnya bukan itu  yang ingin aku ceritakan pada kalian. Akan tetapi ini dia.
Pada suatu hari, saat itu aku sedang menyandang gelar sebagai mahasiswa. Saat itu aku baru selesai berolahraga. Kemudian aku duduk manis di bawah pohon dekat kampus sambil mengelap keringatku dengan handuk. Suasana dimana udara di sekitarku saat itu masih kaya akan O2, angin bertiup sepoi-sepoi membuat ranting-ranting pohon melambai-lambaikan daun-daunnya padaku,  sinar raja siang pun belum terasa begitu menyegat kulit, masih terlihat kabut-kabut putih yang menghalangi pandangan ku. Dari sela-sela kabut putih itu kulihat nampak seorang gadis mengenakan pakaian ala muslimah yang menutupi seluruh tubuhnya kecuali, telapak tangan dan wajahnya. Wajahnya nampak begitu putih dan bersinar layaknya purnama di tengah malam. Aku tak sadar terus menatapnya. Dia terus berjalan dan semakin dekat padaku, sampai akhirnya tinngal 1 meter di depanku dia ter tersandung akar hingga buku yang dipegangnya jatuh pas di depanku. Aku pun mengambilnya dan memberikannya padanya sambil berkata “Ini bukumu, awas hati-hati nanti jatuh lagi”. Dia pun menjawab dengan senyum dan berkata padaku sambil mengambil buku dariku “Ya terima kasih kak”. “Namamu siapa” tanya aku dengan mengulurkan tanganku bermaksud berjabat tangan dengannya. Namun dia tidak merespon uluran tanganku “maaf kak, saya punya wudhu’, nama saya rara kak”. “Nama saya Aris dek” kataku. “ya sudah kak, saya pergi dulu soalnya kita Cuma berdua takut timbul fitnah, Assalamualaikum” jawab dia. Aku pun menjawab “Ya dek, waalaikum salam”. Dia pergi menuju kampus, sementara aku masih memperhatikannya. Batinku serasa tak rela melepasnya pergi.  Entahlah, ada apa denganku tiba-tiba saja sejak tadi bertemu dia, jantungku jadi berdetak lebih kencang dari biasanya. Tapi, aku berusaha tidak menghiraukannya dan bergegas pulang karena sebentar lagi ada kuliah di kampus. Aku tidak mau telat sehingga aku melakukan tindakan korupsi waktu.
Tiga puluh menit selanjutnya, aku sampai di ruang kuliah. Dan untunglah aku masih belum terlambat. Tidak sampai satu menit aku duduk di ruang kuliah, eh dosennya sudah datang dan langsung ngasih tugas observasi. Pak dosen panjang lebar ngejelasin tentang observasi itu, sementara aku gak tau kenapa aku selalu terbayang sama cewek di bawah pohon tadi yang religius, cantik, pokoknya dia masuk kriteria cewek idamanku banget deh. Satu jam setengah telah berlalu, aku keluar dari kelas tanpa dapat materi sedikitpun. Yang aku dapat hanya bayangan dia gadis yang bernama Rara. aku mencoba terus melawan rasa itu dengan mengalihkan perhatianku, mulai dari bertanya tentang yang tadi, membaca buku, dan ngobrol dengan teman-teman. Namun tetap saja bayangannya enggan lenyap dari pelupuk mataku. Hatiku mulai gelisah, sementara hayalanku terus
memaksaku untuk menemui dia. “Hai bro, kenapa kok melamun saja dari tadi, ada masalah ?” kata temanku Randi sambil menepuk bahuku. Aku pun kaget dan menjawabnya dengan suara lirih dan lemah “ Gak papa bro”. “Gak papa, tapi  ekspresi wajahnya kok seperti itu, ada yang lagi kamu fikirin ya?”. “Sebenarnya gini” bisikku sambil menarik tangan Randi dan membawa ketempat yang agak sepi. “ ada apa bro, cerita saja”. “Kamu kenal sama yang namanya Rara tidak?”. “Rara yang mana?” jawab Randi dengan suara lumayan lantang sampai banyak teman-teman yang menoleh ke arah kami. “Jangan keras-keras bicaranya, pelan-pelan saja” lanjut aku. “Ya maaf deh, Rara mana yang kamu maksudkan?”. “itu lho yang selalu pakek kerudung besar dan baju muslimah” kataku masih dengan suara berbisik. “ Ooooo dia, masak kamu tidak kenal dia, mahasiswi baru itu, sekarang cowok-cowok di sini kan pada ngejar dia, tapi dia tidak mau. Kamu naksir juga sama dia?”. “ gak tau lah, aku pun tidak tau rasa apa yang aku miliki padanya, tapi yang jelas dia tak  kunjung lepas dari pelupuk mataku sejak kita tadi pagi”. “ mending kamu lansung temui dia saja, biasanya kalau jam segini dia di kantin”. Aku diam sejenak kemudian berkata padanya  “ Mungkin benar, aku ke kantin saja, lagian perutku juga sudah lapar”. “ Ya sana supaya kamu tidak GEGANA terus-terusan” jawab randi. “apa GEGANA?”. “ ya gelisah, galau, dan merana” jawab Randi. Aku kembali berkata padanya “ Kamu ada-ada saja, ya sudah aku ke kantin dulu, assalamualaikum”. “Waalaikum salam” jawab randi.



Saat sampai di kantin, tenyata tidak ada Rara di situ. Aku merasa kecewa karena hal itu. Namun aku langsung duduk karena cuma tersisa dua kursi yang kosong. Selanjutnya aku pesan semangkok mie ayam dan aku makan. Beberapa saat kemudian terdengan suara di depanku “ permisi kak, saya boleh duduk disini untuk makan soalnya sudah tidak ada kursi lagi”. Dan ternayata setelah aku menoleh ke atas yang bicara tadi adalah Rara, dengan spontan aku langsung mempersilahkannya duduk “silahkan duduk dek”. “Terima kasih kak, sudah dua kali saya berhutang budi sama kakak” kata Rara. “Sudahlah dek, itu kan cuma hal biasa” jawabku. Aku mendadak berkeringat dingin, lagi-lagi jantungku berdetak seperti genderang mau perang saja. Sampai mie ayam habis, aku tetap saja tidak berbicara apa-apa padanya. Aku jadi mati kutu dan diam seribu bahasa di depannya. Sampai akhirnya, aku paksakan berbicara dengan meminum segelas air putih sekaligus. Aku minum segelas sekaligus bukan karena kehausan, tapi karena aku grogi di depannya. “Dek, aaaku boleh nanya sssesuatu gak” tanya aku dengan suara tersendat-sendat. Rara menjawab “Boleh, nanya apa kak?”. “ tapi kamu jangan marah ya?” aku kembali bertanya. “Ya kak Insyaallah” tegas dia. “ Sebenarnya kamu sudah punya pacar gak?” tanya aku. Rara menjawab dengan tegas “Gak punya kak dan Insyaallah saya tidak akan berpacaran kak”. “Kenapa dek?” tanya aku lagi. Rara menjawab “ ya kan pada dasarnya cinta adalah suci sebagi fithrah manusia, kenapa harus di nodai  dan dikotori dengan pacaran. Di samping itu, kalau kita pacaran kan sama saja kita korupsi karena pacar kita bukan milik kita, jadi secara tidak sadar dengan berpacaran maka kita sedang melakukan korupsi ,karena kita mengambil hak orang lain yaitu suami atau istri kita nanti. Apalagi bagi kaum wanita yang sangat dirugikan, mending langsung nikah saja kalu sudah sampai waktunya”. “ ya betul dek” jawab aku. “ ya dah, saya duluan kak soalnya ada kuliah, assalamualaikum” pamit Rara. “ ya dek, waalaikum salam” jawab aku. Rara pun beranjak dan pergi dari tempat duduknya. Sebenranya tadi aku ingin menanyakan apakah dia cinta padaku. Tapi, biarlah aku tak ingin menjadi koruptor cinta karena nantinya kalau dia jadi pacar aku, berarti aku mengambil cinta Rara yang seharusnya untuk suaminya kelak.  Biarlah aku mencintainya dengan sederhana, seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Biarlah akumencintainya dengan sederhana, seperti isyarat yang tak sempat dikirimkan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada. Aku mencintaimu Tapi aku tudak Mau menjadi Koruptor Cinta biarkan takdir yang akan menyatukan kita nanti dalam ikatan yang suci, jika kita berjodoh.

Sekian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar