Rabu, 08 Januari 2014

MAKALAH SEJARAH ILMU AKHLAK PADA MASA SEBELUM DAN SESUDAH ISLAM



Sejarah Ilmu Akhlak pada Masa Sebelum Islam     dan Masa Islam



 



Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Jember
STAIN JEMBER


A.PENDAHULUAN
Latar Belakang
            Melacak sejarah pertumbuhan dan perkembangan Akhlak berarti melacak adat-istiadat yang sudah lama dimiliki individu,keluarga dan masyarakat. Bahkan, Ayatullah Makarim As-Syirazi menegaskan bahwa bibit-bibit pembahasan Akhlak sudah muncul bebarengan dengan pertama kalinya manusia meninjakkan kaki di muka bumi ini. Karena ketika menciptakan adam dan menempatkannya di bumi, Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memberinya pelajaran tentang akhlak.
            Muhammad Yusuf Musa mengatakan ada beberapa Sejarah perkembangan Akhlak terbesar sejak adanya kehidupan di dunia ini. Diantaranya: Yunani, Mesir, Israel, Hindia, Perancis dan China.
            Tapi dalam hal ini hanya akan difokuskan pada perkembangan Ilmu Akhlak pada masa sebelum Islam dan masa Islam.







Jember,18 September 2013

Penulis

B. PEMBAHASAN
A.   Sejarah Ilmu Akhlak pada Masa Sebelum Islam
Tokoh-tokoh:
1.      Socrates (469-399 SM)
Di antara sekian banyak ahli pikir Yunani yang menyingkapkan Akhlak adalah Socrates (469-399 SM).[1] Ia melakukan penyelidikan terhadap Akhlak dan hubungan antar manusia. Ia tidak menaruh minat pada alam dan benda-benda langit yang menjadi objek penyelidikan para filsuf Yunani sebelumnya. Ia menganggap bahwa menyelidiki objek-objek tersebut tidak berguna. Ia berpendapat bahwa yang seharusnya dipikirkan adalah tindakan-tindakan mengenai kehidupan. Atas dasar pemikirannya itu, terkenallah ungkapan “Socrates menurunkan filsafat dari langit ke bumi”.

Socrates didaulat sebagai perintis ilmu akhlak Yunani yang pertama. Alasannya, ia adalah tokoh pertama yang bersungguh-sungguh mengaitkan manusia dengan prinsip ilmu pengetahuan. Ia berpendapat bahwa akhlak dalam kaitannya dengan hubungan antar manusia harus didasarkan pada ilmu pengetahuan. Ia mengatakan bahwa keutamaan itu terdapat pada ilmu. Tidak ditemukan pandangannya tentang tujuan akhir akhlaq atau ukuran yang di gunakan untuk menilai suatu perbuatan apakah baik atau buruk. Oleh karena itu, tidak heran ketika kemudian bermunculan berbagai pendapat tentang tujuan akhlaq walaupun sama-sama disandarkan pada Socrates.
2.      Cynics dan Cryenics
Cynics[2] dan Cryenics[3] adalah para pengikut Socrates, tetapi ajaran keduanya bertolak belakang. Kelompok Cynics hidup pada tahun 444-370 SM. Diantara ajarannya adalah bahwa tuhan dibersihkan dari segala kebutuhan dan bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang memiliki perangai akhlak ketuhanan.
Dengan akhlak ketuhanan ini, seseorang sedapat mungkin meminimalisasi kebutuhan dan terbiasa dengan hidup menderita. Ia menganggap hina kekayaan, menjauhi segala kelezatan, terbiasa dengan kemiskinan, dan tidak mempedulikan hinaan orang atas kemiskinannya. Diantara tokoh kelompok Cynics ini adalah Diogenes (meninggal tahun 323 SM).[4] Ia memberi pelajaran kepada kawan-kawannya agar menjauhi beban yang dijatuhkan orang lain. Ia terbiasa mengenakan pakaian kasar, mengonsumsi makanan buruk, dan tidur di atas tanah.
Adapun kelompok Cyrenaics dipimpin Aristippus (435-356 SM) yang dilahirkan di Cyrena atau kota di Barkah di Utara Afrika. Kelompok ini berpendapat bahwa mencari kelezatan dan menjauhi kepedihan adalah satu-satunya tujuan hidup yang benar. Suatu perbuatan di nilai utama apabila lebih banyak mendatangkan kelezatan daripada kepedihan.
Jika Cynics berpendapat bahwa kebahagiaan itu terletak pada upaya menghindari kelezatan, cyrenics berpendapat bahwa kebahagiaan itu justru terletak pada upaya mencari kelezatan.

3.      Plato (427-347 SM)
Plato adalah seorang filsuf dari Athena dan merupakan murid dari Socrates.
diantara karyanya yang terkenal berjudul Republik  berisi dialog plato dengan lawan debatnya. Buah pikirannya tentang akhlaq terselip di tengah buah pikirannya mengenai filsafat. Semuanya terdapat di dalam buku ini.
        Pandangan plato mengenai akhlaq didasarkan pada teori “ model” (paradigma). Jelasnya, ia berpendapat bahwa dibalik alam ini ada alam rohani (alam ideal) sebagai contoh bagi alam konkret. Benda-benda konkret itu merupakan gambaran tak sempurna yang menyerupai model tersebut. Keterkaitan antara alam ideal dan alam konkret ini di jelaskan Plato melalui materi akhlaq. Ia menjelaskan bahwa contoh keterkaitan ini terdapat pada keterkaitan, yaitu arti mutlak, azali, kekal, dan sempurna. Manusia yang dekat dengan kebaikan akan memperoleh cahaya dan lebih dekat pada kesempurnaan.Untuk memahami gambaran ini diperlukan latihan jiwa dan akal. Oleh karena itu, hanya ahli pikirlah ( ahli filsafat) yang mengetahui arti keutamaan dalam bentuknya yang baik.


4.      Aristoteles (394-322 SM)
Aristoteles adalah murid Plato yang membangun suatu paham khas. Pengikutnya di beri nama dengan “Paripatetics” karena dia memberikan pelajaran sambil berjalan atau karena ia memberikan pelajaran di tempa-tempat terbuka yang teduh. Di antara beberapa pendapatnya tentang akhlaq adalah sebagai berikut:
a)      Tujuan terakhir yang dikehendaki manusia dalam semua tindakannya adalah “bahagia”. Akan tetapi, definisi kebahagiaan yang disampaikannya lebih luas daripada yang disampaikan paham Utilitarianisme.
b)      Jalan mencapai kebahagiaan adalah mempergunakan kekuatan akal pikiran dengan sebaik-baiknya.
c)      Keutamaan itu terletak di tengah-tengah, diantara dua keburukan. Dermawan adalah tengah-tengah antara sifat membati buta dan takut.

5.      Stoics dan Epicurics
Stoics[5] dan Epicurics berbeda dengan para pendahulunya dalam penyelidikan akhlak. Kelompok pertama mengikuti paham kelompok filsuf Cynics.[6] Ajaran kelompok Stoics ini kemudian diikuti oleh banyak filsuf di Yunani dan Romawi. Diantara mereka, yang termasyhur adalah Seneca (4 SM-65 M),[7] Epictetus (60-110 M),[8] dan Kaisar Marcus Aerelius (121-180 M).[9]
Stoisisme mengatakan bahwa tujuan hidup manusia menjalani segala sesuatu yang bisa dijalani secara rasional. Kenikmatan dan kesengsaraan datang dan pergi, dan kita tidak perlu melekat pada salah satu diantaranya. Kita hidup untuk menjalani apa yang ada didepan mata. Semua yang bisa dijalani itulah jalan kita, sedangkan yang tidak bisa dijalani adalah bukan jalan kita. Tidak perlu ada pengharapan dan penyesalan terlebih karena hidup di dunia tetap akan ada apapun yang kita pikirkan. Segala ide tentang kesengsaraan dan kebahagiaan berasal dari pikiran manusia belaka. Pikiran, the mind adalah kunci dari stoisisme. Kedamaian batin atau peace of mind akan kita alami kalau kita mau berfikir rasional.
Adapun kelompok Epicurics mendasarkan pelajarannya pada paham kelompok Cyrenics. Pendiri kelompok epicurics ini adalah Epicurus.[10] Diantara pengikutnya adalah Gassendi (1592-1656),[11] seorang filsuf Prancis.
Filsafat Epikurus bertujuan menjamin kebahagiaan manusia. Filsafatnya dititikberatkan pada etika yang akan memberikan ketenangan batin. Diantaranya ajaran-ajaranya adalah sebagai berikut:[12]
a.       Manusia tidak dapat tenang karena takut pada dewa-dewa, dan takut terhadap mati dan nasib.
b.      Manusia tidak perlu takut karena dewa-dewa yang menikmati kebahagiaan yang kekal tidak mengganggu.
c.       Mati juga tidak perlu ditakutkan karna mati berarti tidak menderita.  
d.      Nasib manusia ditentukan oleh manusia sendiri. kalau manusia mempunyai ketenangan batin, manusia dapat mencapai tujuan hidupnya.                                                                                                                     
e.       Tujuan hidup manusia adalah hedone (kenikmatan ,kepuasan). ketenangan batin  diperoleh dengan memuaskan keinginan. Semakin sedikit keinginan, semakin tenang. Manusia harus dapat memilih keinginan yang memberikan kepuasan secara mendalam. Yang dapat memberikan kepuasan di antaranya adalah mencari persaudaraan.

6.      Agama Nasrani
            Pada akhir abad ketiga Masehi, tersiarlah agama Nasrani di Eropa. Agama itu dapat mengubah pikiran manusia dan membawa pokok-pokok akhlak yang tercantum didalam Taurat . Demikian juga, agama itu memberi pelajaran kepada manusia bahwa Tuhan merupakan sumber segala akhlak. Tuhan yang memberi segala patokan yang harus kita pelihara dalam bentuk interaksi di antara kita. Tuhan-lah yang menjelaskan arti baik dan buruk. Baik menurut arti yang sebenarnya, adalah kerelaan Tuhan dan melaksanakan perintah-perintah-Nya
            Kedudukan para pendeta sama dengan kedudukan para filsuf di Yunani. Sebagian ajaran mereka sesuai dengan ajaran para filsuf  Yunani, terutama Stoics. Tidak banyak  perbedan antara ajaran kedua kelompok ini dalam persoalan baik dan buruk. Perbedaan antara keduanya diantaranya pada persoalan dorongan jiwa dalam melakukan perbuatan. Menurut para filsuf Yunani, pendorong untuk melakukan kebaikan adalah ilmu pengetahuan atau kebijaksanaan, sedangkan menurut agama Nasrani, pendorong untuk melakukan kebaikan adalah cinta kepada Tuhan dan iman kepada-Nya.
B.   Sejarah Akhlak Bangsa Arab pada Masa Sebelum Islam
       Bangsa Arab pada masa Jahiliah tidak menonjol dalam segi filsafat sebagaimana bangsa Yunani (Zeno, Plato, dan Aristoteles). Hal ini karena penyelidikan terhadap ilmu terjadi hanya pada bangsa yang sudah maju pengetahuanya. Sekalipun demikian, Bangsa Arab pada waktu itu mempunyai ahli-ahli hikmah dan syair-syair yang hikmah dan syairnya yang mengandung nilai-nilai akhlak, seperti Luqman Al-Hakim,[13] Aktsam bin Shaifi, Zuhair bin Abi Sulma (530-627),[14] dan Hatim Ath-Tha’i.
       Dapat dipahami bahwa Bangsa Arab sebelum Islam telah memiliki kadar  pemikiran yang minimal pada akhlak, pengetahuan tentang berbagai macam keutamaan dan mengerjakannya, walaupun nilai yang tercetus lewat syair-syairnya belum sebanding dengan kata-kata hikmah yang diucapkan oleh-oleh filsuf-filsuf Yunani kuno. Dalam syarit-syariat mereka tersebur sudah ada muatan-muatan akhlak.
C.   Sejarah Akhlak Bangsa Arab pada Masa Islam
       Islam datang mengajak manusia pada kepercayaan bahwa Allah SWT. Adalah sumber segala sesuatu di seluruh alam. Semua yang ada di dunia berasal dari-Nya. Dengan kekuasaan-Nya pula, alam dapat berjalan secara beraturan.
       Sebagaimana halnya Allah SWT. telah menetapkan beberapa aturan yang harus diikuti manusia, Allah SWT. pun telah menetapkan beberapa keutamaan yang harus diikuti, seperti kebenaran dan keadilan; juga menetapkan beberapa keburukan yang harus dihindari manusia, seperti dusta dan kezaliman.
       Dalam Islam, tidak diragukan lagi bahwa Nabi Muhammad SAW. adalah guru terbesar dalam bidang akhlak. Bahkan, keterutusannya ke muka bumi ini adalah untuk menyenpurnakan Akhlak. Akan tetapi, tokoh yang pertama kali menggagas ilmu akhlak dalam islam , masih terus diperbincangkan. Berikut ini akan dikemukakan beberapa teori.[15]
       Pertama, tokoh yang pertama kali menggagas ilmu akhlak adalah Ali bin Thalib. Ini berdasarkan sebuah risalah yang ditulisnya untuk putranya, Al-Hasan, setelah kepulangannya dari Perang Shiffin. Di dalam risalah tersebut terdapat banyak pelajaran akhlak dan berbagai keutamaan. Kandungn risalah ini tercermin pula dalam kitab Nahj Al-Balaghah yang banyak dikutip oleh ulama Sunni, seperti Abu Ahmad bin ‘Abdillah Al-Askari dalam kitanya Az-Zawajir wa Al-Mawaizh.
       Kedua, tokoh Islam yang pertama kali menulis ilmu akhlak adalah Isma’il bin Mahran Abu An-Nashr As-Saukani, ulama abad ke-2 H. Ia menulis kitab Al-Mu’min wa Al-Fajir, kitab akhlak yang pertama kali dikenal dalam Islam. Setelah itu, dikenal tokoh-tokoh akhlak walaupun mereka tidak menulis kitab tentangnya, seperti Abu Dzar Al-Ghifari. ‘Ammar bin Yasir, Nauval Al-Bakkali, dan Muhammad bin Abu Bakr.
       Ketiga, pada abad ke-3 H, Ja’far bin Ahmad Al-Qummi menulis kitan Al-Mani’at min Dukhul Jannah. Tokoh lainnya yang berbicara masalah akhlak adalah:
1.      Ar-Razi (250-313 H) walaupun masih ada filsuf lain, seperti Al-Kindi dan Ibnu Sina. Ar-Razi telah menulis karya dalam bidang akhlak berjudul At-Thibb Ar-Ruhani (Kesehatan Rohani). Buku ini menjelaskan kesehatan rohani dan penjagaannya. Kitab ini merupakan filsafat akhlak terpenting yang bertujuan memperbaiki moral manusia.
2.      Pada ke-4 H, Ali bin bin Ahmad Al-Kufi menulis kitab Al-Adab dan Makarim Al-Akhlaq. Pada abad ini dikenal pula tokoh Nashr Al-Farabi yang melakukan penyelidikan tentang akhlak. Demikian juga, Ikhwan Ash-Shafa dalam risalah-risalahnya dan Ibnu Sina (370-428 H).
3.      Pada ke-5, Ibnu Maskawaih (w. 421 H) menulis kitab Tahdzih Al-Akhlaq wa Tath-hir Al-Alaq dan Adab Al-Arab wa Al-Furs. Kitab ini merupakan uraian suatu aliran akhlak yang sebagian materinya berasal dari konsep-konsep akhlak dari Plato dan Aristoteles yang diramu dengan ajaran dan hukum Islam serta diperkaya dengan pengalaman hidup penulis dan situasi zamannya.[16]
4.       Pada abad ke-6 H, Warram bin Ali al-Fawaris menulis kitab Tanbih Al-Khathir wa Nuzhah An-Nazhir.
5.      Pada abad ke-7 H, Syaikh Khawajah nashir Ath-Thusi menulis kitab Al-Akhlaq An-Nashiriyyah wa Awshaf Asy-Syraf  wa Adab Al-Muta’allimin.
Pada abad berikutnya sesudahny dikenal beberapa kitab, seperti Irsyad Ad-Dailami, Mashabih Al-Qulub karya Asy-Syairazi, Makarim Al-Akhlaq karya Hasan bin Amin Ad-Din, Al-Adab Ad-Diniyyah karya Amin Ad-Din Ath-Thabarsi, dan Bihar Al-Anwar.







C.PENUTUP

Kesimpulan
           
            Bahwasanya ilmu tentang akhlak dari masa sebelum islam itu sudah ada namun masih bersifat abstrak dan umum, kemudian diperinci lagi oleh datangnya agama islam yang menyempurnakan pemahaman-pemahaman mengenai akhlak pada masa sebelum islam. Dari itu kita bisa mengambil pelajaran berharga dari sejarah ilmu akhlak pada masa sebelum islam dan pada masa islam, bahwasanya ilmu akhlak adalah ilmu yang di dalamnya mencakup tata cara seorang insan untuk melakukan interaksinya disertai dengan pemahaman tentang akhlak yang baik, sehingga dapat diterima dengan baik oleh sesama manusia dan juga oleh Tuhan Yang Maha Esa.













                         



Daftar Pustaka
Ahmad Amin. Etika (Ilmu Akhlak). Terj. Farid Ma’ruf. Jakarta: Bulan Bintang. 1975.
Ali Mudhofir. Kamus Filosof Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2001.
Anwar, Rosihon. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia. 2010


[1] socrates adalah filsuf dari Athena dan merupakan salah satu figur paling penting dalam tradisi filosofi barat. Socrates lahir di Athena, dan merupakan generasi pertama dari tiga ahli filsafat besar dari Yunani yaitu Socrates, Aris toteles dan Plato.
[2] Sekelompok filsuf Yunani dari sekolah Cynicisme. Ajaran filsuf mereka bahwa tujuan hidup adalah hidup dengan prinsip nilai untuk menyesuaikan dengan alam. Diantara tokohnya adalah Antisthenes yang menjadi murid Socrates.
[3] Sekelompok filsuf Yunani dari sekolah Ultrahedonis yang hidup abad ke-4 SM.Diantara tokohnya adalah Aritippus of Cyrene (Lahir 435 SM).
[4] Diegones adalah seorang filsuf Yunani, lahir di Sinope(sekarang kota Sinop, Turki.) rincian tentang kehidupannya berasal dari anekdot-anekdot yang ditulis oleh Diogenes Laertius.dalam bukunya Hidup dan Pendapat para Filsuf Ternama.(http://id.wikipedia.org/wiki/Diogenes). 
[5] Kaum Stoics adalah kelompok yang menganut Stoicsm yang tumbuh di Yunani, tetap kemudian berkembang pesat di Roma.
[6] Cynics berpendapat bahwa kebahagiaan itu terletak pada upaya menghindari kelezatan.
[7] Lucius Annaeus Secena adalah filsuf Romawi. Ia adalah ahli politik, penyair, dan guru dari kaisar Nero. Ia yang mendidik kaisar Nero dan atas perintah kaisar Nero, pada akhirnya ia meninggal bunuh diri. Ia menekankan pembedaan antara jiwa dengan badan dan mengembangkan unsur-unsur etisdalam stoisisme (Ali Muhdhori, Kamus Filof Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hlm. 478).
[8] Epictetus adalah filsuf dan moralis Stoisisme. Pertama-tama ia mengajar filsafat di Roma, kemudian di Nicopolis di Epirus. Karya-karyanya ditulis oleh muridnya, yaiti Flavius Arrianius. Karya-karyanya berisi pengamatan yang tajam tentang tingkah lakumanusia dan ucapan-ucapan yang penuh makna tentang masalah-masalah etis (Ibid., hlm. 152).
[9] Marcus Aurelius adalah seorang raja dan seorang filsuf. sejak umur sebelas tahun, ia memutuskan untuk menjadi filsuf. pada umur 18 tahun, ia diangkat anak oleh pamannya, Kaisar Pius Antonius dari Roma dan dipersiapkan menjadi raja. Guru-guru dalam retorika dan sejarah terbaik memberi pelajaran padanya. Ia menjadi raja setelah Pius wafat dan menikah dengan Faustion, Saudara sepupunya (Ibid., hlm. 478).
[10] Epicurus dilahirkan di Samos dan memperoleh pendidikan di Athena. Ia sangat dipengaruhi Demokritus (Ibid., hlm. 152).
[11] Pierre Gassendi dilahirkan di Provence. Ia menjadi profesor di Aix (1617) dan pada tahun 1645 menjadi profesor matematika di College Royal, Paris. Ia merupakan penentang utama Cartesianisme dan Aristotelianisme Skolastik dalam bidang fisika (Ibid., hlm. 191-192).
[12] Ibid., hlm. 153.
[13] Luqman Al-Hakim, Luqman Al-Hikmah adalah orang yang disebut dalam Al-Qur’an surat Luqman (32)’ 12-19 yang terkenal karena nasihat-nasihatnya kepada anaknya. Ibnu Katsir berpendapat bahwa nama panjang adalah Luqman bin Unaqa’ bin Sadun. Mengenai asal-usul Luqman, sebagian ulama berbeda pendapat. Ibnu Abbas menyatakan bahwa Luqman adalah seorang tukang kayu dari Habsyi. Riwayat lain menyebutkan ia bertubuh pendek dan berhidung mancung dari Nubah, dan ada yang berpendapat, dia berasal dari Sudan. Ada pula yang berpendapat Luqman adalah seorang hakim pada zaman nabi Dawud (http://id.wikipedia.org/wiki/luqman_Al-Hakim).
[14] Zuhair ibn Abu Sulma merupakan salah seorang penyair terkemuka pada masa pra-islam. Salah satu qasidah Zuhair ini, bagian awalnya adalah “A min ummi Aufa dimnatun lam takallami – bi hawmaanagtid darraji fal mustallam” termasuk dalam tujuh puisi emas yang diberikan penghargaan untuk digantungkan di Kabah dan terkenal dengan sebutan Al-Muallaqat atau dalam terjemahan ke bahasa Inggris yang dilakukan oleh dosen American University diberi judul The Golden of Odes.
[15] Lihat Asy-Syirazi, op. ct., hlm. 29-30.
[16] Zainun Kamal, Pengantar, dalam Ibnu Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, Terj. Helmi Hidayat, Bandung: Mizan, 1985, hlm. 14.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar