Selasa, 02 Juni 2015

TRIAS POLITICA MENURUT MONTESQUIEU DAN HUKUM TATA NEGARA INDONESIA

TRIAS POLITICA
MENURUT MONTESQUIEU DAN HUKUM TATA NEGARA INDONESIA

MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Tata Hukum IndonesiaYang dibimbing oleh Dosen H. Nur Solikin, M.Ag. M.Hi.

Oleh :
1.     Edi Purwanto                       (083131024)
2.     Akhmad Syaiful Khair         (083131022)
3.     Faisal Wijaya                        (083131025)
4.     Moh. Ali                               (083131026)
5.     Siti Nurholilah                      (083131023)


JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
JEMBER, SEPTEMBER 2014
PEMISAHAN KEKUASAN
MENURUT MONTESQUIEU DAN HUKUM TATA NEGARA INDONESIA
A.    PENDAHAHULUAN
Dalam sebuah sistem pemerintahan di dunia tentunya memiliki konsep pemerintahan yang berbeda. Negara Demokratis dengan negara yang menganut paham komunis berbeda dalam menerapkan konsep pemerintahannya. Selama ini dalam dunia demokratis konsep tentang pemisahan kekuasaan yang di anggap sesuai untuk menjadi konsep pemerintahannya. Konsep trias politica ini pertama dicetuskan oleh John Locke yang kemudian dikembangkan sayap lagi oleh Montesquieu, dengan merumuskan mesin politik formal dalam struktur politik teori pemisahan kekuasaan pemerintah.
Montesquieu menawarkan suatu konsep mengenai kehidupan bernegara dengan melakukan pemisahan kekuasaan yang diharapkan dapat saling lepas dan dalam tingkat yang sama. Hal ini berarti bahwa lembaga-lembaga negara dipisahkan sehingga dapat saling mengawasi dan mengontrol satu sama lain.
Trias Politika sendiri yang kini banyak diterapkan adalah, pemisahan kekuasaan kepada 3 lembaga berbeda : Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Dari ketiga lembaga itu masing-masing mempunyai peranan dan tanggungjawab tersendiri dalam mengemudikan jalannya suatu pemerintahan yang berdiri disuatu negara.
Tak heran hampir seluruh negara-negara di dunia menerapakan konsep ini dalam kehidupan berpolitiknya karena konsep tersebut merupakan cara-cara untuk berpolitik secara demokratis dengan harapan jalannya pemerintahan negara tidak timpang, terhindar dari korupsi pemerintahan oleh satu lembaga, dan akan memunculkan mekanisme check and balances (saling koreksi, saling mengimbangi). Dengan mewujudkan supremasi hukum dan keadilan serta menjmin dan melindungi hak-hak manusia. Kendatipun demikian, jalannya Trias Politika di tiap negara tidak selamanya mulus atau tanpa halangan.[1] Banyak kontroversi di antara para ahli inggris dalam memahami sistem trias politica ini. Sistem Trias Politica inipun rupanya menarik perhatian negara Indonesia sendiri untuk menerapkan konsep ini pada sistem pemerintah yang ada, karna Indonesia merupakan negara yang Demokratis yang kekuasaan penuh berada di tangan rakyatnya.
Namun, tampaknya konsep pemisahan kekuasan yang ditawarkan oleh montesquieu berbeda dengan pandangan Hukum Tata Negara Indonesia.
Berdasarkan  latar belakang tersebut, maka penulis mencoba untuk mengangkat permasalahan tersebut dan menuangkannya dalam makalah dengan judul Pemisahan Kekuasaan Menurut Montesquieu dan Tata Hukum Negara Indonesia
B.     PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan diatas, maka makalah ini difokuskan pada permasalahan tentang : Bagaimana konsep pemisahan kekuasaan menurut montesquieu dan hukum tata negara Indonesia? Meliputi:
1.      Pengertian trias politica,
2.      Biografi Montesquieu
3.      Konsep trias poliica
4.      Dan pembagian kekuasaan menurut hukum tata negara Indonesia.




C.    PEMBAHASAN
1.      Pengertian Trias Politica
Doktrin trias politika ini untuk pertama kali dikemukakan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755) dan doktrin ini biasa ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan.
Trias Politika sendiri berasal dari bahasa Yunani (Tri:tiga; As=poros/pusat; Politika=kekuasaan) yang merupakan salah satu pilar demokrasi, prinsip trias politika membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Konsep dasarnya adalah kekuasaan di suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik melainkan harus terpisah di lembaga-lembaga negara yang berbeda. Lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan. Dengan adanya pemisahan kekuasaan ini, akan terjamin kebebasan pembuatan undang-undang oleh parlemen, pelaksanaan undang-undang oleh lembaga peradilan, dan pelaksanaan pekerjaan negara sehari-hari oleh pemerintah.
Dalam filsafat ilmu politik pemikiran Montesquieu mengenai Trias Politika berkaitan dengan aliran filsafat idealisme karena sangat menekankan kepada demokrasi dalam tubuh pemerintahan yang tidak dapat ditemui dalam aliran filsafat lainnya.
2.      Biografi Montesquieu
Montesquieu yang mempunyai nama panjang Charles-Louis de Secondat, baron de La Brède et de Montesquieu. Lahir pada tanggal 18 January 1689 di Bordeaux dan wafat pada tanggal 10 February 1755. Ibunya wafat ketika ia masih berusia 7 tahun, ayahnya meninggal pada tahun 1713, ketika ia berusia 24 tahun. Kemudian Montesquieu diasuh oleh pamannya, Jean Bastite de Secondat. Seorang pastur kaya dan terhormat. Ia mendalami hokum dan pernah menjadi praktisi hukum di pengadilan.[2] Setelah menyelesaikan di Catholic College of julily ia menikah dengan istrinya Jeanne de Lartigue pada usia 26 tahun.[3]
Seorang sarjana filsafat dan kenegaraan kelahiran prancis telah mendapat nama harum karena bukunya “Lespirit de Lois” (jiwa undang-undang).[4]
Sesudahnya dia mencapai kesuksesannya di literature dengan dipublkasikannya Letters persanaes. Seorang imajinasi koresponden Persia yang berkunjung ke paris dan mencermati kontraporer sosialnya. Lalu karya selanjutnya ialah mengenai kebangkitan dan kejatuhan Romawi, The Cosiderations on the causes of the Grandeur and Decadance of the Roman yang mirip sebuah novel dan yang paling terbaik ialah karyanya yag bejudul Spirits Of The Laws. Berisi konsep hukum modern yang didalamnya terdapat konsep Trias Politika.
Montesquieu dalam kehidupannya senang melakukan perjalanan tak heran hamper semua Negara besar di Eropa telah ia kunjungi. Dia pernah mengunjungi Jerman,  Australia, Belanda, Italia, dll. Kunjungannya itu bermakna sangat penting atas hasil pemikirannya dimasa depan. Pengalamannya itu memberikan inspirasi, pengalaman dalam pengembangan konsep Trias Politika di masa depan.
3.      Konsep Trias Politica Montesquieu
Konsep Trias Politika merupakan ide pokok dalam Demokrasi Barat, yang mulai berkembang di Eropa pada abad XVII dan XVIII . Trias Politika adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam kekuasaan : pertama, kekuasaan legislatif atau membuat undang-undang; kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang; ketiga, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang.
Trias Politica menganggap kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara dapat lebih terjamin. Konsep ini pertama kali diperkenalkan dibukunya yang berjudul, L’Esprit des Lois (The Spirit of Laws). Sebelumnya konsep ini telah diperkenalkan oleh John Locke. Filsuf Inggris  mengemukakan konsep tersebut dalam bukunya Two Treatises on Civil Government (1690), yang ditulisnya sebagai kritik terhadap kekuasaan absolut raja-raja Stuart di Inggris serta untuk membenarkan Revolusi Gemilang tahun 1688 (The Glorious Revolution of 1688) yang telah dimenangkan oleh Parlemen Inggris.
Montesquieu mengemukakan bahwa kekuasaan negara harus dibagi-bagi dalam tiga kekuasaan yang terpisah-pisah (la separation des pouvorius = pemisahan kekuasaan-kekuasaan). Dimana tiga kekuasaan itu adalah:
a.     Kekuasaan membentuk undang-undang (legislatif)
b.    Kekuasaan menjalankan undang-undang (eksekutif)
c.    Kekuasaan mengadili pelanggaran-pelanggaran terhadap undang-undang (yudikatif).
Menurut Montesquieu, ketiga kekuasaan tersebut harus di bagi-bagi sedemikian, sehingga yang satu terpisah dari yang lainnya, dan pembagian itu perlu, supaya kekuasaan pemerintahan tidak berpusat pada satu tangan saja (raja).[5]
Ide pemisahan kekuasaan tersebut, menurut Montesquieu, dimaksudkan untuk memelihara kebebasan politik, dengan tujuan mencegah tindakan sewenang-wenang penguasa . konsep ini tidak akan terwujud kecuali bila terdapat keamanan masyarakat dalam negeri. Montesquieu menekankan bahwa seseorang akan cenderung untuk mendominasi kekuasaan dan merusak keamanan masyarakat tersebut bila kekuasaan terpusat pada tangannya. Oleh karenanya, dia berpendapat bahwa agar pemusatan kekuasaan tidak terjadi, haruslah ada pemisahan kekuasaan yang akan mencegah adanya dominasi satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya
Pada mulanya, doktrin pemisahan kekuasaan seperti yang dibayangkan oleh Montesquieu itu dianggap pandangan yang kurang realistis dan jauh dari kenyataan oleh para ahli. Pandangannya itu dinilai sebagai kekeliruan dalam memahami sistem ketatanegaraan inggris yang dijadikannya obyek telaah untuk mencapai kesimpulan mengenai konsep trias politicanya itu dalam bukunya L’Espirit des Lois (1748).[6]
Karya Montesqiueau ini hampir diterapkan diseluruh Negara didunia yang menganut Demokrasi termasuk juga Indonesia. Di Negara Komunis yang hanya mempunya satu partai cenderung menjauhi konsep Trias Politica terlihat jelas bahwa bentuk pemerintahan hanya dipegang oleh kalangan partai tunggal tersebut saja atau kekuasaan hanya ada di tangan pemerintah atau penguasa, sebut saja China, Korea Utara dan Uni Soviet (masa perang dingin) adalah sejumlah Negara yang menjauhi Trias Politica tak heran jika bentuk pemerintahannya bersifat otoriterian karna tidak adanya  pembagian kekuasaan.
Berbeda dengan Negara Demoratis yang mengenakan sistem Trias Politica yang membagi kekuasaan menjadi Legislatif, Eksekutif dan yudikatif. Dimana dengan adanya lembaga Legislatif, kepentingan rakyat dapat terwakili secara baik karma merupakan cermin kedaulatan rakyat. Selain itu lembaga ini juga mempunyai fungsi sebagai check and balance terhadap dua lembaga lainnya agar tidak terjadi penyelewengan kekuasaan dengan begitu jalannya pemerintahan bisa berjalan efektif dan efisien.[7] Sehingga konsep ini lebih terkesan mensejahterakan kepentingan rakyatnya karna kekuasaan penuh berada di tangan rakyat.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwasanya banyak sekali pro dan kontra yang timbul di kalangan para sarjana mengenai pandangan Montesquieu dilapangan ilmu politik dan hukum. Oleh karena itu, dengan menyadari banyaknya kritik terhadap teori trias politica Montesquieu ini. Para ahli hukum di Indonesia sering kali menarik kesimpulan seakan-akan pemisahan  (separation of power) yang dipakai oleh Montesquieu itu sendiri pun tidak dapat dipergunakan. Kesimpulan demikian terjadi, karena penggunaan istilah pemisahan kekuasaan itu hanya dipakai oleh Montesquieu. Padahakl sebenarnya istilah pemisahan kekuasaan itu sendiri merupakan konsep yang bersifat umum. Seperti halnya konsep pembagian kekuasaan juga dipakai oleh banyak sarjana dengan pengertian-pengertian yang berbeda yang berbeda-beda satu sama lain namun tetap memiliki substansi yang sama.[8]
4.      Trias Politika di Indonesia menurut Tata Hukum Negara Indonesia

Dalam pengalaman ketatanegaraan di Indonesia, istilah “pemisahan kekuasaan” (separation of power) itu sendiri cenderung di konotasikan dengan pendapat Montesquieu secara absolut. Konsep pemisahan kekuasan tersebut dibedakan secara diametral dari konsep pembagian kekuasaan (devision of ower) yang dikaitkan dengan dengan sistem supremasi MPR yang secara mutak menolak ide pemisahan kekuasaan ala trias politica Montesquieu. Dalam sidang-sidang BPUPKI pada tahun 1945,Soepomo misalnya menegaskan bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin trias politica dalam arti paham pemisahan kekuasaan ala Montesquieu, melainkan menganut sistem pembagian kekuasaan.[9]
Namun demikian, sekarang setelah UUD 1945 mengalami empat kali perubahan, dapat dikatakan bahwa sistem konstitusi kita telah menganut doktrin pemisahan kekuasaan itu secara nyata.[10] Beberapa bukti mengenai hal ini antara lain adalah :

a.       Adanya pergeseran kekuasaan Legislatif dari tangan Presiden ke DPR. Bandingkan saja antara ketentuan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan dengan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan. Kekuasaan untuk membentuk undang-undang yang sebelumnya berada di tangn presiden, sekarang beralih kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
b.      Diadopsikannya sistem pengujian konstitusional atas undang-undang sebagai produk legislatif oleh Mahkamah Konstitusi. Sebelumnya belum dikenal adanya mekanisme semacam itu, karena pada pokoknya undang-undang tidak dapat di ganggu gugat dimana hakim dianggap hanya dapat menerapkan undang-undang dan tidak boleh menilai undang-undang.
c.       Diakuinya bahwa lembaga pelaku Kedaulatan Rakyat itu tidak hanya terbatas pada MPR, melainkan lembaga negara baik secara langsung maupun tidak langsung merupakan penjelmaan kedaulatn rakyat. Presiden, anggota DPR, dan DPD sama-sama dipilih secara langsung oleh rakyat dan oleh karena itu sama-sama merupakan pelaksanaan langsung prinsip kedaulatan rakyat.[11]
d.      MPR juga tidak lagi berstatus sebagai lembaga tertinggi negara, melainkan merupakan lembaga (tinggi) negara yang sama derajatnya dengan lembaga-lembaga (tinggi) negara lainnya, seperti presiden, DPR, DPD, MK dan MA.
e.       Hubungan-hubungan antar lembaga (tinggi) negara itu bersifat saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances.

Dari kelima ciri tersebut diatas, dapat diketahui bahwa UUD 1945 tidak lagi dapat dikatakan menganut prinsip pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal. Yang mana dulu sebelum perubahan UUD 1945 indonesia menganut sistem pembagian kekuasan secara vertikal dimana kedaulatan atau kekuasaan tertinggi dianggap berada ditangan rakyat yang dijelmakan dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi negara. Sistem yang dianut oleh UUD 1945 sebelum perubahan itu dapat dianggap sebagai pembagian keekuasaan (division of power) dalam konteks pengertian yang bersifat vertikal. Sedangkan sekarang, setelh perubahan ke empat, sistem yang dianut oleh UUD 1945 adalah sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) berdasarkan prinsip checks and balances.
D.    PENUTUP
1.      Kesimpulan
Doktrin trias politika ini untuk pertama kali dikemukakan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755) dan doktrin ini biasa ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan. John Locke mengemukakan konsep trias politika ini dalam bukunya berjudul Two Treatises on Civil Government yang ditulisnya sebagai kritikan atas kekuasaan absolut.
 Menurut Locke kekuasaan negara dibagi dalam tiga kekuasaan yaitu : kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan federatif, yang masing-masing terpisah-pisah satu sama lain. Kekuasaan legislatif ialah kekuasaan membuat peraturan dan undang-undang, kekuasaan eksekutif ialah kekuasaan melaksanakan undang-undang dan di dalamnya termasuk kekuasaan mengadili dan kekuasaan federatif ialah kekuasaan yang meliputi segala tindakan untuk menjaga keamanan negara dalam hubungan dengan negara lain seperti membuat aliansi dan sebagainya (dewasa ini disebut hunbungan luar negeri). Beberapa puluh tahun kemudian, pada tahun 1748, filusuf Perancis Montesquieu mengembangkan lebih lanjut pemikiran Locke ini dalam bukunya L’Esprit des Lois (The Spirit of the Laws). Karena melihat sifat dari raja-raja Bourbon, dia ingin menyusun suatu sistem pemerintahan dimana warga negaranya merasa lebih terjamin haknya.
Dalam uraian dia membagi kekuasaan pemerintahan dalam tiga cabang, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Menurut dia tiga kekuasaan itu haruslah terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas (fungsi) maupun mengenai alat perlengkapan (organ) yang menyelenggarakan. Terutama adanya kebebasaan badan yudikatif yang ditekankan oleh Montesquieu, oleh karena disinilah letaknya kemerdekaan individu dan hak azasi manusia itu dijamin dan dipertaruhkan. Kekuasaan legislatif menurut dia adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang kekuasaan eksekutif meliputi penyelenggaraan undang-undang, sedangkan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang. Jadi berbeda dengan John Locke yang memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan eksekutif, Montesquieu memandang kekuasaan pengadili (yudikatif) itu sebagai kekuasan yang berdiri sendiri. Hal ini disebabkan oleh karena dalam pekerjaannya sehari-hari sebagai hakim, Montesquieu mengetahui bahwa kekuasaan eksekutif itu berlainan dengan kekuasaan pengadilan. Sebaliknya oleh Montesquieu kekuasaan hubungan luar negeri yang disebut John Locke sebagai kekuasaan federatif, dimasukkan kedalam kekuasaan eksekutif. Oleh Montesquieu dikemukakan bahwa kemerdekaan hanya dapat dijamin, jika ketiga fungsi tersebut tidak dipegang oleh satu orang atau badan, tetapi oleh tiga orang atau badan yang terpisah. Dikatakan olehnya: “Kalau kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif disatukan dalam satu orang atau dalam satu badan penguasa, maka tak aka nada kemerdekaan. Akan merupakan malapetaka kalau seandainya satu orang atau satu badan, apakah terdiri dari kaum bangsawan ataukah dari rakyat jelata, diserahi menyelenggarakan ketiga-tiga kekuasaan itu, yakni kekuasaan membuat undang-undang, menyelenggarakan keputusan-keputusan umum dan mengadili persoalan-persoalan antara individu-individu’. Pokoknya Montesquieu dengan teorinya itu menginginkan jaminan bagi kemerdekaan individu terhadap tindakan sewenang-wenang dari penguasa. Dan hal ini menurut pandangannya, hanya mungkin tercapai, jika diadakan pemisahan mutlak antara ketiga kekuasaan tersebut.
Sedangkan konsep pembagian kekuasan yang ada di Indonesia sendiri pasca perubahan UUD 1945 yang ke empat , tidak lagi seperti konsep trias politica Montesquieu, melainkan pemisahan kekuasaan yang berprinsip pada Checks and balances.[12]
2.      Saran
Penyusun makalah ini hanya manusia yang memiliki keterbtasan ilmunya, yang hanya mengandalkan buku referensi dan rujukan yang telah ada saja. Oleh karena itu, penyusun menyarankan agar para pembaca yang ingin mendalami masalah Trias Politica lebih mendalam baik menurut Montesquieu dan Tata Hukum Negara Indonesia, diharapkan agar setelah membaca makalah ini, kemudian mencari penguat dengan membaca sumber-sumber lain yang lebih  yang tidak hanya sebatas membaca makalah ini saja.




















DAFTAR PUSTAKA

Assiddiqie, Jimly. 2013. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta : Rajawali Pers.
Budiardjo, Miriam. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia.
Kusnardi. 1953. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta : Sinar Bakti.
Lubis, Solly. 1980. Asas-Asas Hukum Tata Negara. Bandung : Offset Alumni.
Suhelmi, Ahmad. 2007. Pemikiran Politik Barat. Jakarta : Gramedia.
Triwulan, Titik Tutik. 2010. Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945. Jakarta : Kencana.

Sumber Internet:






[2] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, (Jakarta : Gramedia, 2007),  214.
[4] Solly Lubis, Asas-asas Hukum Tata Negara (Bandung :Percetakan Offset Alumni, 1980), 59.
[5] Ibid., 59-60.
[6] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta : Rajawali Pers, 2013), 286.
[7] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta : Gramedia, 2006), 159.
[8] Ibid,. 288.
[9] Hal ini tergambar, misalnya dalam pernyataan soepomo ketika menyampaikan penolakannya atas ide Muhammad Yamin yng mengusulkan agar kepala Balai Agung (mahkamah agung) diberi kewenangan untuk membanding undang-undang  atau yang sekarang kita kenal dengan istilah pengujian undang-undang. Salah satu alasan yang dikemukakan oleh Soepomo adalah ketika itu adalah karena UUD 1945 tidak menganut paham pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip trias politica montesquieu.
[10] Lihat Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta : Kompress, 2005).
[11] Ibid., 291.
[12] Ibid., 292.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar