TRIAS POLITICA
MENURUT
MONTESQUIEU DAN HUKUM TATA NEGARA INDONESIA
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Tata Hukum
IndonesiaYang dibimbing oleh Dosen H. Nur Solikin, M.Ag. M.Hi.
Oleh :
1.
Edi
Purwanto (083131024)
2.
Akhmad
Syaiful Khair (083131022)
3.
Faisal
Wijaya (083131025)
4.
Moh.
Ali (083131026)
5.
Siti
Nurholilah (083131023)
JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
JEMBER,
SEPTEMBER 2014
PEMISAHAN KEKUASAN
MENURUT
MONTESQUIEU DAN HUKUM TATA NEGARA INDONESIA
A.
PENDAHAHULUAN
Dalam sebuah sistem pemerintahan di dunia tentunya memiliki konsep
pemerintahan yang berbeda. Negara Demokratis dengan negara yang menganut paham
komunis berbeda dalam menerapkan konsep pemerintahannya. Selama ini dalam dunia
demokratis konsep tentang pemisahan kekuasaan yang di anggap sesuai untuk
menjadi konsep pemerintahannya. Konsep trias politica ini pertama dicetuskan
oleh John Locke yang kemudian dikembangkan sayap lagi oleh Montesquieu, dengan merumuskan
mesin politik formal dalam struktur politik teori pemisahan kekuasaan
pemerintah.
Montesquieu menawarkan suatu konsep mengenai kehidupan bernegara dengan
melakukan pemisahan kekuasaan yang diharapkan dapat saling lepas dan dalam
tingkat yang sama. Hal ini berarti bahwa lembaga-lembaga negara dipisahkan
sehingga dapat saling mengawasi dan mengontrol satu sama lain.
Trias Politika sendiri yang kini banyak diterapkan adalah, pemisahan
kekuasaan kepada 3 lembaga berbeda : Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Dari
ketiga lembaga itu masing-masing mempunyai peranan dan tanggungjawab tersendiri
dalam mengemudikan jalannya suatu pemerintahan yang berdiri disuatu negara.
Tak heran hampir seluruh negara-negara di dunia menerapakan konsep ini
dalam kehidupan berpolitiknya karena konsep tersebut merupakan cara-cara untuk
berpolitik secara demokratis dengan harapan jalannya pemerintahan negara tidak
timpang, terhindar dari korupsi pemerintahan oleh satu lembaga, dan akan
memunculkan mekanisme check and balances (saling koreksi, saling
mengimbangi). Dengan mewujudkan supremasi hukum dan keadilan serta menjmin dan
melindungi hak-hak manusia. Kendatipun demikian, jalannya Trias Politika di
tiap negara tidak selamanya mulus atau tanpa halangan.[1] Banyak
kontroversi di antara para ahli inggris dalam memahami sistem trias politica
ini. Sistem Trias Politica inipun rupanya menarik perhatian negara Indonesia sendiri
untuk menerapkan konsep ini pada sistem pemerintah yang ada, karna Indonesia merupakan
negara yang Demokratis yang kekuasaan penuh berada di tangan rakyatnya.
Namun, tampaknya konsep pemisahan kekuasan yang ditawarkan oleh montesquieu
berbeda dengan pandangan Hukum Tata Negara Indonesia.
Berdasarkan latar belakang tersebut,
maka penulis mencoba untuk mengangkat permasalahan tersebut dan menuangkannya
dalam makalah dengan judul Pemisahan Kekuasaan Menurut Montesquieu dan
Tata Hukum Negara Indonesia
B. PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan diatas, maka makalah ini
difokuskan pada permasalahan tentang : Bagaimana konsep pemisahan kekuasaan
menurut montesquieu dan hukum tata negara Indonesia? Meliputi:
1. Pengertian trias politica,
2. Biografi Montesquieu
3. Konsep trias poliica
4. Dan pembagian kekuasaan menurut hukum tata negara Indonesia.
C. PEMBAHASAN
1. Pengertian Trias Politica
Doktrin trias politika ini untuk pertama kali dikemukakan oleh John Locke
(1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755) dan doktrin ini biasa ditafsirkan
sebagai pemisahan kekuasaan.
Trias Politika sendiri berasal dari bahasa Yunani (Tri:tiga;
As=poros/pusat; Politika=kekuasaan) yang merupakan salah satu pilar demokrasi,
prinsip trias politika membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif,
yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang
saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama
lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan
agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol
berdasarkan prinsip checks and balances.
Konsep dasarnya adalah kekuasaan di suatu negara tidak boleh dilimpahkan
pada satu struktur kekuasaan politik melainkan harus terpisah di
lembaga-lembaga negara yang berbeda. Lembaga-lembaga negara tersebut adalah
lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan
melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang
menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat
(DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan
legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat
atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat
yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum
legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan. Dengan adanya pemisahan
kekuasaan ini, akan terjamin kebebasan pembuatan undang-undang oleh parlemen,
pelaksanaan undang-undang oleh lembaga peradilan, dan pelaksanaan pekerjaan negara
sehari-hari oleh pemerintah.
Dalam filsafat ilmu politik pemikiran Montesquieu mengenai Trias Politika
berkaitan dengan aliran filsafat idealisme karena sangat menekankan kepada
demokrasi dalam tubuh pemerintahan yang tidak dapat ditemui dalam aliran filsafat
lainnya.
2. Biografi Montesquieu
Montesquieu yang mempunyai nama panjang Charles-Louis de Secondat, baron
de La Brède et de Montesquieu. Lahir pada tanggal 18 January 1689 di
Bordeaux dan wafat pada tanggal 10 February 1755. Ibunya wafat ketika ia masih
berusia 7 tahun, ayahnya meninggal pada tahun 1713, ketika ia berusia 24 tahun.
Kemudian Montesquieu diasuh oleh pamannya, Jean Bastite de Secondat. Seorang
pastur kaya dan terhormat. Ia mendalami hokum dan pernah menjadi praktisi hukum
di pengadilan.[2] Setelah menyelesaikan di Catholic College of julily ia menikah dengan
istrinya Jeanne de Lartigue pada usia 26 tahun.[3]
Seorang sarjana filsafat dan kenegaraan kelahiran prancis telah mendapat
nama harum karena bukunya “Lespirit de Lois” (jiwa undang-undang).[4]
Sesudahnya dia mencapai kesuksesannya di literature dengan dipublkasikannya
Letters persanaes. Seorang imajinasi koresponden Persia yang berkunjung
ke paris dan mencermati kontraporer sosialnya. Lalu karya selanjutnya ialah
mengenai kebangkitan dan kejatuhan Romawi, The Cosiderations on the causes
of the Grandeur and Decadance of the Roman yang mirip sebuah novel dan yang
paling terbaik ialah karyanya yag bejudul Spirits Of The Laws. Berisi
konsep hukum modern yang didalamnya terdapat konsep Trias Politika.
Montesquieu dalam kehidupannya senang melakukan perjalanan tak heran hamper
semua Negara besar di Eropa telah ia kunjungi. Dia pernah mengunjungi
Jerman, Australia, Belanda, Italia, dll. Kunjungannya itu bermakna sangat
penting atas hasil pemikirannya dimasa depan. Pengalamannya itu memberikan
inspirasi, pengalaman dalam pengembangan konsep Trias Politika di masa depan.
3. Konsep Trias Politica Montesquieu
Konsep Trias Politika merupakan ide pokok dalam Demokrasi Barat, yang mulai
berkembang di Eropa pada abad XVII dan XVIII . Trias Politika adalah anggapan
bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam kekuasaan : pertama, kekuasaan
legislatif atau membuat undang-undang; kedua, kekuasaan eksekutif atau
kekuasaan melaksanakan undang-undang; ketiga, kekuasaan yudikatif atau
kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang.
Trias Politica menganggap kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak
diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh
pihak yang berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara
dapat lebih terjamin. Konsep ini pertama kali diperkenalkan dibukunya yang
berjudul, L’Esprit des Lois (The Spirit of Laws). Sebelumnya konsep ini
telah diperkenalkan oleh John Locke. Filsuf Inggris mengemukakan konsep
tersebut dalam bukunya Two Treatises on Civil Government (1690), yang
ditulisnya sebagai kritik terhadap kekuasaan absolut raja-raja Stuart di
Inggris serta untuk membenarkan Revolusi Gemilang tahun 1688 (The Glorious
Revolution of 1688) yang telah dimenangkan oleh Parlemen Inggris.
Montesquieu mengemukakan bahwa kekuasaan negara harus dibagi-bagi dalam
tiga kekuasaan yang terpisah-pisah (la separation des pouvorius = pemisahan
kekuasaan-kekuasaan). Dimana tiga kekuasaan itu adalah:
a. Kekuasaan membentuk undang-undang (legislatif)
b. Kekuasaan menjalankan undang-undang (eksekutif)
c. Kekuasaan mengadili pelanggaran-pelanggaran terhadap undang-undang
(yudikatif).
Menurut Montesquieu, ketiga kekuasaan tersebut harus di bagi-bagi
sedemikian, sehingga yang satu terpisah dari yang lainnya, dan pembagian itu
perlu, supaya kekuasaan pemerintahan tidak berpusat pada satu tangan saja
(raja).[5]
Ide pemisahan kekuasaan tersebut, menurut Montesquieu, dimaksudkan untuk
memelihara kebebasan politik, dengan tujuan mencegah tindakan sewenang-wenang
penguasa . konsep ini tidak akan terwujud kecuali bila terdapat keamanan masyarakat
dalam negeri. Montesquieu menekankan bahwa seseorang akan cenderung untuk
mendominasi kekuasaan dan merusak keamanan masyarakat tersebut bila kekuasaan
terpusat pada tangannya. Oleh karenanya, dia berpendapat bahwa agar pemusatan
kekuasaan tidak terjadi, haruslah ada pemisahan kekuasaan yang akan mencegah
adanya dominasi satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya
Pada mulanya, doktrin pemisahan kekuasaan seperti yang dibayangkan oleh
Montesquieu itu dianggap pandangan yang kurang realistis dan jauh dari
kenyataan oleh para ahli. Pandangannya itu dinilai sebagai kekeliruan dalam
memahami sistem ketatanegaraan inggris yang dijadikannya obyek telaah untuk
mencapai kesimpulan mengenai konsep trias politicanya itu dalam bukunya
L’Espirit des Lois (1748).[6]
Karya Montesqiueau ini hampir diterapkan diseluruh Negara didunia yang
menganut Demokrasi termasuk juga Indonesia. Di Negara Komunis yang hanya
mempunya satu partai cenderung menjauhi konsep Trias Politica terlihat jelas
bahwa bentuk pemerintahan hanya dipegang oleh kalangan partai tunggal tersebut
saja atau kekuasaan hanya ada di tangan pemerintah atau penguasa, sebut saja
China, Korea Utara dan Uni Soviet (masa perang dingin) adalah sejumlah Negara
yang menjauhi Trias Politica tak heran jika bentuk pemerintahannya bersifat
otoriterian karna tidak adanya pembagian kekuasaan.
Berbeda dengan Negara Demoratis yang mengenakan sistem Trias Politica yang
membagi kekuasaan menjadi Legislatif, Eksekutif dan yudikatif. Dimana dengan
adanya lembaga Legislatif, kepentingan rakyat dapat terwakili secara baik karma
merupakan cermin kedaulatan rakyat. Selain itu lembaga ini juga mempunyai
fungsi sebagai check and balance terhadap dua lembaga lainnya agar tidak
terjadi penyelewengan kekuasaan dengan begitu jalannya pemerintahan bisa
berjalan efektif dan efisien.[7] Sehingga
konsep ini lebih terkesan mensejahterakan kepentingan rakyatnya karna kekuasaan
penuh berada di tangan rakyat.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwasanya banyak sekali pro dan kontra yang
timbul di kalangan para sarjana mengenai pandangan Montesquieu dilapangan ilmu
politik dan hukum. Oleh karena itu, dengan menyadari banyaknya kritik terhadap
teori trias politica Montesquieu ini. Para ahli hukum di Indonesia sering kali
menarik kesimpulan seakan-akan pemisahan
(separation of power) yang dipakai oleh Montesquieu itu sendiri pun
tidak dapat dipergunakan. Kesimpulan demikian terjadi, karena penggunaan
istilah pemisahan kekuasaan itu hanya dipakai oleh Montesquieu. Padahakl
sebenarnya istilah pemisahan kekuasaan itu sendiri merupakan konsep yang
bersifat umum. Seperti halnya konsep pembagian kekuasaan juga dipakai oleh
banyak sarjana dengan pengertian-pengertian yang berbeda yang berbeda-beda satu
sama lain namun tetap memiliki substansi yang sama.[8]
4. Trias Politika di Indonesia menurut Tata Hukum Negara Indonesia
Dalam pengalaman
ketatanegaraan di Indonesia, istilah “pemisahan kekuasaan” (separation of
power) itu sendiri cenderung di konotasikan dengan pendapat Montesquieu
secara absolut. Konsep pemisahan kekuasan tersebut dibedakan secara diametral
dari konsep pembagian kekuasaan (devision of ower) yang dikaitkan dengan dengan
sistem supremasi MPR yang secara mutak menolak ide pemisahan kekuasaan ala
trias politica Montesquieu. Dalam sidang-sidang BPUPKI pada tahun 1945,Soepomo
misalnya menegaskan bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin trias politica dalam
arti paham pemisahan kekuasaan ala Montesquieu, melainkan menganut sistem
pembagian kekuasaan.[9]
Namun demikian,
sekarang setelah UUD 1945 mengalami empat kali perubahan, dapat dikatakan bahwa
sistem konstitusi kita telah menganut doktrin pemisahan kekuasaan itu secara
nyata.[10]
Beberapa bukti mengenai hal ini antara lain adalah :
a. Adanya pergeseran kekuasaan Legislatif dari tangan Presiden ke DPR.
Bandingkan saja antara ketentuan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan
dengan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 setelah
perubahan. Kekuasaan untuk membentuk undang-undang yang sebelumnya berada di
tangn presiden, sekarang beralih kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
b. Diadopsikannya sistem pengujian konstitusional atas undang-undang sebagai
produk legislatif oleh Mahkamah Konstitusi. Sebelumnya belum dikenal adanya
mekanisme semacam itu, karena pada pokoknya undang-undang tidak dapat di ganggu
gugat dimana hakim dianggap hanya dapat menerapkan undang-undang dan tidak
boleh menilai undang-undang.
c. Diakuinya bahwa lembaga pelaku Kedaulatan Rakyat itu tidak hanya terbatas
pada MPR, melainkan lembaga negara baik secara langsung maupun tidak langsung
merupakan penjelmaan kedaulatn rakyat. Presiden, anggota DPR, dan DPD sama-sama
dipilih secara langsung oleh rakyat dan oleh karena itu sama-sama merupakan
pelaksanaan langsung prinsip kedaulatan rakyat.[11]
d. MPR juga tidak lagi berstatus sebagai lembaga tertinggi negara, melainkan
merupakan lembaga (tinggi) negara yang sama derajatnya dengan lembaga-lembaga
(tinggi) negara lainnya, seperti presiden, DPR, DPD, MK dan MA.
e. Hubungan-hubungan antar lembaga (tinggi) negara itu bersifat saling
mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances.
Dari kelima ciri
tersebut diatas, dapat diketahui bahwa UUD 1945 tidak lagi dapat dikatakan
menganut prinsip pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal. Yang mana dulu
sebelum perubahan UUD 1945 indonesia menganut sistem pembagian kekuasan secara
vertikal dimana kedaulatan atau kekuasaan tertinggi dianggap berada ditangan
rakyat yang dijelmakan dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga
tertinggi negara. Sistem yang dianut oleh UUD 1945 sebelum perubahan itu dapat
dianggap sebagai pembagian keekuasaan (division of power) dalam konteks
pengertian yang bersifat vertikal. Sedangkan sekarang, setelh perubahan ke empat,
sistem yang dianut oleh UUD 1945 adalah sistem pemisahan kekuasaan (separation
of power) berdasarkan prinsip checks and balances.
D. PENUTUP
1. Kesimpulan
Doktrin trias politika ini untuk pertama kali dikemukakan oleh John Locke
(1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755) dan doktrin ini biasa ditafsirkan
sebagai pemisahan kekuasaan. John Locke mengemukakan konsep trias politika ini
dalam bukunya berjudul Two Treatises on Civil Government yang ditulisnya
sebagai kritikan atas kekuasaan absolut.
Menurut Locke kekuasaan negara
dibagi dalam tiga kekuasaan yaitu : kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif,
dan kekuasaan federatif, yang masing-masing terpisah-pisah satu sama lain.
Kekuasaan legislatif ialah kekuasaan membuat peraturan dan undang-undang,
kekuasaan eksekutif ialah kekuasaan melaksanakan undang-undang dan di dalamnya
termasuk kekuasaan mengadili dan kekuasaan federatif ialah kekuasaan yang
meliputi segala tindakan untuk menjaga keamanan negara dalam hubungan dengan
negara lain seperti membuat aliansi dan sebagainya (dewasa ini disebut
hunbungan luar negeri). Beberapa puluh tahun kemudian, pada tahun 1748, filusuf
Perancis Montesquieu mengembangkan lebih lanjut pemikiran Locke ini dalam
bukunya L’Esprit des Lois (The Spirit of the Laws). Karena melihat sifat dari
raja-raja Bourbon, dia ingin menyusun suatu sistem pemerintahan dimana warga
negaranya merasa lebih terjamin haknya.
Dalam uraian dia membagi kekuasaan pemerintahan dalam tiga cabang, yaitu
kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Menurut dia
tiga kekuasaan itu haruslah terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas
(fungsi) maupun mengenai alat perlengkapan (organ) yang menyelenggarakan.
Terutama adanya kebebasaan badan yudikatif yang ditekankan oleh Montesquieu,
oleh karena disinilah letaknya kemerdekaan individu dan hak azasi manusia itu
dijamin dan dipertaruhkan. Kekuasaan legislatif menurut dia adalah kekuasaan
untuk membuat undang-undang kekuasaan eksekutif meliputi penyelenggaraan
undang-undang, sedangkan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan mengadili atas
pelanggaran undang-undang. Jadi berbeda dengan John Locke yang memasukkan
kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan eksekutif, Montesquieu memandang
kekuasaan pengadili (yudikatif) itu sebagai kekuasan yang berdiri sendiri. Hal
ini disebabkan oleh karena dalam pekerjaannya sehari-hari sebagai hakim,
Montesquieu mengetahui bahwa kekuasaan eksekutif itu berlainan dengan kekuasaan
pengadilan. Sebaliknya oleh Montesquieu kekuasaan hubungan luar negeri yang
disebut John Locke sebagai kekuasaan federatif, dimasukkan kedalam kekuasaan
eksekutif. Oleh Montesquieu dikemukakan bahwa kemerdekaan hanya dapat dijamin,
jika ketiga fungsi tersebut tidak dipegang oleh satu orang atau badan, tetapi
oleh tiga orang atau badan yang terpisah. Dikatakan olehnya: “Kalau kekuasaan
legislatif dan kekuasaan eksekutif disatukan dalam satu orang atau dalam satu
badan penguasa, maka tak aka nada kemerdekaan. Akan merupakan malapetaka kalau
seandainya satu orang atau satu badan, apakah terdiri dari kaum bangsawan
ataukah dari rakyat jelata, diserahi menyelenggarakan ketiga-tiga kekuasaan
itu, yakni kekuasaan membuat undang-undang, menyelenggarakan keputusan-keputusan
umum dan mengadili persoalan-persoalan antara individu-individu’. Pokoknya
Montesquieu dengan teorinya itu menginginkan jaminan bagi kemerdekaan individu
terhadap tindakan sewenang-wenang dari penguasa. Dan hal ini menurut
pandangannya, hanya mungkin tercapai, jika diadakan pemisahan mutlak antara
ketiga kekuasaan tersebut.
Sedangkan
konsep pembagian kekuasan yang ada di Indonesia sendiri pasca perubahan UUD
1945 yang ke empat , tidak lagi seperti konsep trias politica
Montesquieu, melainkan pemisahan kekuasaan yang berprinsip pada Checks and
balances.[12]
2.
Saran
Penyusun makalah ini hanya manusia yang memiliki
keterbtasan ilmunya, yang hanya mengandalkan buku referensi dan rujukan yang
telah ada saja. Oleh karena itu, penyusun menyarankan agar para pembaca yang
ingin mendalami masalah Trias Politica lebih mendalam baik menurut
Montesquieu dan Tata Hukum Negara Indonesia, diharapkan agar setelah membaca
makalah ini, kemudian mencari penguat dengan membaca sumber-sumber lain yang
lebih yang tidak hanya sebatas membaca
makalah ini saja.
DAFTAR
PUSTAKA
Assiddiqie,
Jimly. 2013. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta : Rajawali Pers.
Budiardjo,
Miriam. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia.
Kusnardi.
1953. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta : Sinar Bakti.
Lubis,
Solly. 1980. Asas-Asas Hukum Tata Negara. Bandung : Offset Alumni.
Suhelmi,
Ahmad. 2007. Pemikiran Politik Barat. Jakarta : Gramedia.
Triwulan,
Titik Tutik. 2010. Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen
UUD 1945. Jakarta : Kencana.
Sumber
Internet:
[4] Solly Lubis, Asas-asas
Hukum Tata Negara (Bandung :Percetakan Offset Alumni, 1980), 59.
[5] Ibid., 59-60.
[6] Jimly
Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta : Rajawali Pers,
2013), 286.
[8] Ibid,. 288.
[9] Hal ini
tergambar, misalnya dalam pernyataan soepomo ketika menyampaikan penolakannya
atas ide Muhammad Yamin yng mengusulkan agar kepala Balai Agung (mahkamah
agung) diberi kewenangan untuk membanding undang-undang atau yang sekarang kita kenal dengan istilah
pengujian undang-undang. Salah satu alasan yang dikemukakan oleh Soepomo adalah
ketika itu adalah karena UUD 1945 tidak menganut paham pemisahan kekuasaan
berdasarkan prinsip trias politica montesquieu.
[10] Lihat Jimly
Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta :
Kompress, 2005).
[11] Ibid., 291.
[12] Ibid., 292.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar