A.PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Melacak sejarah
pertumbuhan dan perkembangan Akhlak berarti melacak adat-istiadat yang sudah
lama dimiliki individu,keluarga dan masyarakat. Bahkan, Ayatullah Makarim
As-Syirazi menegaskan bahwa bibit-bibit pembahasan Akhlak sudah muncul
bebarengan dengan pertama kalinya manusia meninjakkan kaki di muka bumi ini.
Karena ketika menciptakan adam dan menempatkannya di bumi, Allah Subhanahu
Wa Ta’ala telah memberinya pelajaran tentang akhlak.
Muhammad Yusuf
Musa mengatakan ada beberapa Sejarah perkembangan Akhlak terbesar sejak adanya
kehidupan di dunia ini. Diantaranya: Yunani, Mesir, Israel, Hindia, Perancis
dan China.
Tapi dalam hal ini
hanya akan difokuskan pada perkembangan Ilmu Akhlak pada masa sebelum
Islam dan masa Islam.
Jember,18 September 2013
Penulis
B. PEMBAHASAN
A. Sejarah Ilmu Akhlak pada Masa
Sebelum Islam
Tokoh-tokoh:
1.
Socrates (469-399 SM)
Di antara sekian banyak ahli pikir Yunani
yang menyingkapkan Akhlak adalah Socrates (469-399
SM).[1] Ia
melakukan penyelidikan terhadap Akhlak dan hubungan antar manusia. Ia
tidak menaruh minat pada alam dan benda-benda langit yang menjadi objek penyelidikan para filsuf Yunani
sebelumnya. Ia menganggap bahwa menyelidiki objek-objek tersebut tidak berguna.
Ia berpendapat bahwa yang seharusnya dipikirkan adalah tindakan-tindakan
mengenai kehidupan. Atas dasar
pemikirannya itu, terkenallah ungkapan “Socrates
menurunkan filsafat dari langit ke bumi”.
Socrates didaulat sebagai perintis ilmu
akhlak Yunani yang pertama. Alasannya, ia adalah tokoh pertama yang
bersungguh-sungguh mengaitkan manusia dengan prinsip ilmu pengetahuan. Ia
berpendapat bahwa akhlak dalam kaitannya dengan hubungan antar manusia harus didasarkan
pada ilmu pengetahuan. Ia mengatakan bahwa keutamaan itu terdapat pada ilmu.
Tidak ditemukan pandangannya tentang tujuan akhir akhlaq atau ukuran yang di
gunakan untuk menilai suatu perbuatan apakah baik atau buruk. Oleh karena itu,
tidak heran ketika kemudian bermunculan berbagai pendapat tentang tujuan akhlaq
walaupun sama-sama disandarkan pada Socrates.
2.
Cynics dan Cryenics
Cynics[2] dan Cryenics[3]
adalah para pengikut Socrates, tetapi
ajaran keduanya bertolak belakang. Kelompok Cynics hidup pada tahun 444-370 SM. Diantara
ajarannya adalah bahwa tuhan dibersihkan dari segala kebutuhan dan bahwa
sebaik-baiknya manusia adalah yang memiliki perangai akhlak ketuhanan.
Dengan akhlak
ketuhanan ini, seseorang sedapat mungkin meminimalisasi kebutuhan dan terbiasa
dengan hidup menderita. Ia menganggap
hina kekayaan, menjauhi segala kelezatan, terbiasa dengan
kemiskinan, dan tidak mempedulikan hinaan
orang atas kemiskinannya. Diantara tokoh
kelompok Cynics ini adalah Diogenes (meninggal
tahun 323 SM).[4] Ia memberi pelajaran kepada kawan-kawannya
agar menjauhi beban yang dijatuhkan orang lain. Ia terbiasa mengenakan pakaian
kasar, mengonsumsi makanan buruk, dan tidur di atas tanah.
Adapun
kelompok Cyrenaics dipimpin Aristippus
(435-356 SM) yang dilahirkan di Cyrena atau
kota di Barkah di Utara Afrika.
Kelompok ini berpendapat bahwa mencari kelezatan dan menjauhi kepedihan adalah satu-satunya
tujuan hidup yang benar. Suatu perbuatan di nilai utama apabila lebih banyak
mendatangkan kelezatan daripada kepedihan.
Jika
Cynics berpendapat bahwa kebahagiaan itu terletak pada upaya menghindari
kelezatan, cyrenics berpendapat bahwa kebahagiaan itu justru terletak pada
upaya mencari kelezatan.
3.
Plato (427-347 SM)
Plato
adalah seorang filsuf dari Athena dan
merupakan murid dari Socrates.
diantara
karyanya yang
terkenal berjudul Republik berisi dialog plato dengan
lawan debatnya. Buah pikirannya tentang akhlaq terselip di tengah buah pikirannya
mengenai filsafat. Semuanya terdapat di dalam buku ini.
Pandangan plato mengenai akhlaq didasarkan
pada teori “ model” (paradigma). Jelasnya, ia berpendapat bahwa dibalik alam
ini ada alam rohani (alam ideal) sebagai contoh bagi alam konkret. Benda-benda
konkret itu merupakan gambaran tak sempurna yang menyerupai model tersebut.
Keterkaitan antara alam ideal dan alam konkret ini di jelaskan Plato
melalui materi akhlaq. Ia
menjelaskan bahwa contoh keterkaitan ini terdapat pada keterkaitan, yaitu arti
mutlak, azali, kekal, dan sempurna. Manusia yang dekat dengan kebaikan akan
memperoleh cahaya dan lebih dekat pada kesempurnaan.Untuk memahami gambaran ini
diperlukan latihan jiwa dan akal. Oleh karena itu, hanya ahli pikirlah ( ahli
filsafat) yang mengetahui arti keutamaan dalam bentuknya yang baik.
4.
Aristoteles (394-322 SM)
Aristoteles adalah murid Plato yang
membangun suatu paham khas. Pengikutnya di beri nama dengan “Paripatetics”
karena dia memberikan pelajaran sambil
berjalan atau karena ia memberikan pelajaran di tempa-tempat terbuka yang
teduh. Di antara beberapa pendapatnya tentang akhlaq adalah sebagai berikut:
a)
Tujuan terakhir
yang dikehendaki manusia dalam semua tindakannya adalah “bahagia”.
Akan tetapi, definisi kebahagiaan yang disampaikannya lebih luas daripada yang
disampaikan paham Utilitarianisme.
b)
Jalan mencapai
kebahagiaan adalah mempergunakan kekuatan akal pikiran dengan sebaik-baiknya.
c)
Keutamaan itu
terletak di tengah-tengah, diantara dua keburukan.
Dermawan adalah tengah-tengah antara sifat membati buta dan takut.
5.
Stoics dan Epicurics
Stoics[5]
dan Epicurics berbeda dengan para pendahulunya dalam penyelidikan akhlak. Kelompok pertama mengikuti paham kelompok
filsuf Cynics.[6]
Ajaran kelompok Stoics ini kemudian diikuti oleh banyak filsuf di Yunani dan
Romawi. Diantara mereka, yang termasyhur adalah Seneca (4 SM-65 M),[7]
Epictetus (60-110 M),[8]
dan Kaisar Marcus Aerelius (121-180 M).[9]
Stoisisme
mengatakan bahwa tujuan hidup manusia menjalani segala sesuatu yang bisa
dijalani secara rasional. Kenikmatan dan kesengsaraan datang dan pergi, dan
kita tidak
perlu melekat pada salah satu diantaranya. Kita hidup untuk menjalani apa yang
ada didepan mata. Semua yang bisa dijalani itulah jalan kita, sedangkan yang
tidak bisa dijalani adalah bukan jalan kita. Tidak perlu ada pengharapan dan
penyesalan terlebih karena hidup di dunia tetap akan ada apapun yang kita
pikirkan. Segala ide tentang kesengsaraan dan kebahagiaan berasal dari pikiran manusia belaka.
Pikiran, the mind adalah kunci dari stoisisme. Kedamaian batin atau peace of mind akan kita alami kalau kita
mau berfikir rasional.
Adapun
kelompok Epicurics mendasarkan pelajarannya pada paham kelompok Cyrenics.
Pendiri kelompok epicurics ini adalah Epicurus.[10]
Diantara pengikutnya adalah Gassendi (1592-1656),[11]
seorang filsuf Prancis.
Filsafat
Epikurus bertujuan menjamin kebahagiaan manusia. Filsafatnya
dititikberatkan pada etika yang akan memberikan ketenangan batin. Diantaranya
ajaran-ajaranya adalah sebagai berikut:[12]
a. Manusia tidak dapat tenang karena takut
pada dewa-dewa, dan takut terhadap mati dan nasib.
b. Manusia tidak perlu takut karena dewa-dewa
yang menikmati kebahagiaan yang kekal tidak mengganggu.
c.
Mati juga tidak
perlu ditakutkan karna mati berarti tidak menderita.
d.
Nasib manusia
ditentukan oleh manusia sendiri. kalau manusia
mempunyai ketenangan batin, manusia dapat mencapai tujuan hidupnya.
e.
Tujuan hidup
manusia adalah hedone (kenikmatan ,kepuasan). ketenangan
batin diperoleh dengan memuaskan
keinginan. Semakin sedikit keinginan, semakin
tenang. Manusia harus dapat memilih keinginan yang memberikan kepuasan
secara mendalam. Yang dapat memberikan kepuasan di
antaranya adalah mencari persaudaraan.
6. Agama Nasrani
Pada akhir abad ketiga Masehi, tersiarlah
agama Nasrani di Eropa. Agama itu dapat mengubah pikiran manusia dan membawa pokok-pokok
akhlak yang tercantum didalam Taurat . Demikian
juga, agama
itu memberi pelajaran kepada manusia bahwa Tuhan
merupakan sumber segala akhlak. Tuhan yang memberi segala patokan yang harus kita pelihara dalam
bentuk interaksi di antara kita. Tuhan-lah yang menjelaskan arti baik dan
buruk. Baik menurut arti yang sebenarnya, adalah kerelaan
Tuhan dan melaksanakan perintah-perintah-Nya
Kedudukan para pendeta sama dengan
kedudukan para filsuf di Yunani. Sebagian ajaran mereka sesuai dengan ajaran
para filsuf Yunani, terutama Stoics.
Tidak banyak perbedan antara ajaran kedua kelompok ini
dalam persoalan baik dan buruk. Perbedaan antara keduanya diantaranya pada persoalan
dorongan jiwa dalam melakukan perbuatan. Menurut para filsuf Yunani, pendorong
untuk melakukan kebaikan adalah ilmu pengetahuan atau kebijaksanaan, sedangkan
menurut agama Nasrani, pendorong untuk melakukan kebaikan adalah cinta kepada
Tuhan dan iman kepada-Nya.
B.
Sejarah Akhlak Bangsa Arab pada Masa Sebelum
Islam
Bangsa Arab pada masa Jahiliah tidak menonjol dalam segi filsafat
sebagaimana bangsa Yunani (Zeno, Plato, dan Aristoteles). Hal ini karena penyelidikan terhadap ilmu
terjadi hanya pada bangsa yang sudah maju pengetahuanya. Sekalipun demikian,
Bangsa Arab pada waktu itu mempunyai ahli-ahli hikmah dan syair-syair yang
hikmah dan syairnya yang mengandung nilai-nilai akhlak, seperti Luqman
Al-Hakim,[13]
Aktsam bin Shaifi, Zuhair bin Abi Sulma (530-627),[14]
dan Hatim Ath-Tha’i.
Dapat dipahami bahwa
Bangsa Arab sebelum Islam telah memiliki kadar
pemikiran yang minimal pada akhlak, pengetahuan tentang berbagai macam
keutamaan dan mengerjakannya, walaupun nilai yang tercetus lewat syair-syairnya
belum sebanding dengan kata-kata hikmah yang diucapkan oleh-oleh filsuf-filsuf
Yunani kuno. Dalam syarit-syariat mereka tersebur sudah ada muatan-muatan
akhlak.
C.
Sejarah Akhlak Bangsa Arab pada Masa Islam
Islam datang mengajak manusia pada kepercayaan bahwa Allah SWT.
Adalah sumber segala sesuatu di seluruh alam. Semua yang ada di dunia berasal
dari-Nya. Dengan kekuasaan-Nya pula, alam dapat berjalan secara beraturan.
Sebagaimana halnya
Allah SWT. telah menetapkan beberapa aturan yang harus diikuti manusia, Allah
SWT. pun telah menetapkan beberapa keutamaan yang harus diikuti, seperti
kebenaran dan keadilan; juga menetapkan beberapa keburukan yang harus dihindari
manusia, seperti dusta dan kezaliman.
Dalam Islam, tidak
diragukan lagi bahwa Nabi Muhammad SAW. adalah guru terbesar dalam bidang
akhlak. Bahkan, keterutusannya ke muka bumi ini adalah untuk menyenpurnakan
Akhlak. Akan tetapi, tokoh yang pertama kali menggagas ilmu akhlak dalam islam , masih terus diperbincangkan. Berikut ini
akan dikemukakan beberapa teori.[15]
Pertama, tokoh yang pertama kali
menggagas ilmu akhlak adalah Ali bin Thalib.
Ini berdasarkan sebuah risalah yang ditulisnya untuk putranya, Al-Hasan,
setelah kepulangannya dari Perang Shiffin. Di dalam risalah tersebut terdapat
banyak pelajaran akhlak dan berbagai keutamaan. Kandungn risalah ini tercermin
pula dalam kitab Nahj Al-Balaghah yang banyak dikutip oleh ulama Sunni,
seperti Abu Ahmad bin ‘Abdillah Al-Askari dalam kitanya Az-Zawajir wa
Al-Mawaizh.
Kedua, tokoh
Islam yang pertama kali menulis ilmu akhlak adalah Isma’il bin Mahran Abu
An-Nashr As-Saukani, ulama abad ke-2 H. Ia menulis kitab Al-Mu’min wa
Al-Fajir, kitab akhlak yang pertama kali dikenal dalam Islam. Setelah itu,
dikenal tokoh-tokoh akhlak walaupun mereka tidak menulis
kitab tentangnya, seperti Abu Dzar Al-Ghifari. ‘Ammar bin Yasir, Nauval
Al-Bakkali, dan Muhammad bin Abu Bakr.
Ketiga, pada
abad ke-3 H, Ja’far bin Ahmad Al-Qummi menulis kitan Al-Mani’at min Dukhul
Jannah. Tokoh lainnya yang berbicara masalah akhlak adalah:
1.
Ar-Razi
(250-313 H) walaupun masih ada filsuf lain, seperti Al-Kindi dan Ibnu Sina.
Ar-Razi telah menulis karya dalam bidang akhlak berjudul At-Thibb Ar-Ruhani
(Kesehatan Rohani). Buku ini menjelaskan kesehatan rohani dan penjagaannya.
Kitab ini merupakan filsafat akhlak terpenting yang bertujuan memperbaiki moral
manusia.
2.
Pada ke-4 H,
Ali bin bin Ahmad Al-Kufi menulis kitab Al-Adab dan Makarim
Al-Akhlaq. Pada abad ini dikenal pula tokoh Nashr Al-Farabi yang melakukan
penyelidikan tentang akhlak. Demikian juga, Ikhwan Ash-Shafa dalam
risalah-risalahnya dan Ibnu Sina (370-428 H).
3.
Pada ke-5, Ibnu
Maskawaih (w. 421 H) menulis kitab Tahdzih Al-Akhlaq wa Tath-hir Al-Alaq dan
Adab Al-Arab wa Al-Furs. Kitab ini merupakan uraian suatu aliran akhlak
yang sebagian materinya berasal dari konsep-konsep akhlak dari Plato dan
Aristoteles yang diramu dengan ajaran dan hukum Islam serta diperkaya dengan
pengalaman hidup penulis dan situasi zamannya.[16]
4.
Pada abad ke-6 H,
Warram bin Ali al-Fawaris menulis kitab Tanbih Al-Khathir wa Nuzhah
An-Nazhir.
5.
Pada abad ke-7
H, Syaikh Khawajah nashir Ath-Thusi menulis kitab Al-Akhlaq An-Nashiriyyah
wa Awshaf Asy-Syraf wa Adab
Al-Muta’allimin.
Pada abad berikutnya sesudahny dikenal beberapa kitab, seperti Irsyad
Ad-Dailami, Mashabih Al-Qulub karya Asy-Syairazi, Makarim Al-Akhlaq karya
Hasan bin Amin Ad-Din, Al-Adab Ad-Diniyyah karya Amin Ad-Din
Ath-Thabarsi, dan Bihar Al-Anwar.
C.PENUTUP
Kesimpulan
Bahwasanya
ilmu tentang akhlak dari masa sebelum islam itu sudah ada namun masih bersifat
abstrak dan umum, kemudian diperinci lagi oleh datangnya agama islam yang
menyempurnakan pemahaman-pemahaman mengenai akhlak pada masa sebelum islam. Dari
itu kita bisa mengambil pelajaran berharga dari sejarah ilmu akhlak pada masa
sebelum islam dan pada masa islam, bahwasanya ilmu akhlak adalah ilmu yang di
dalamnya mencakup tata cara seorang insan untuk melakukan interaksinya disertai
dengan pemahaman tentang akhlak yang baik, sehingga dapat diterima dengan baik
oleh sesama manusia dan juga oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Daftar Pustaka
Ahmad Amin. Etika
(Ilmu Akhlak). Terj. Farid Ma’ruf. Jakarta: Bulan Bintang. 1975.
Ali Mudhofir.
Kamus Filosof Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2001.
Anwar, Rosihon. Akhlak
Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia. 2010
[1] socrates adalah filsuf dari Athena
dan merupakan salah satu figur paling penting dalam tradisi filosofi barat.
Socrates lahir di Athena, dan merupakan generasi pertama dari tiga ahli
filsafat besar dari Yunani yaitu Socrates, Aris toteles dan Plato.
[2] Sekelompok filsuf Yunani dari
sekolah Cynicisme. Ajaran filsuf mereka bahwa tujuan hidup adalah hidup dengan
prinsip nilai untuk menyesuaikan dengan alam. Diantara tokohnya adalah Antisthenes
yang menjadi murid Socrates.
[3] Sekelompok filsuf Yunani dari
sekolah Ultrahedonis yang hidup abad ke-4 SM.Diantara tokohnya adalah Aritippus
of Cyrene (Lahir 435 SM).
[4] Diegones adalah seorang filsuf
Yunani, lahir di Sinope(sekarang kota Sinop, Turki.) rincian tentang
kehidupannya berasal dari anekdot-anekdot yang ditulis oleh Diogenes
Laertius.dalam bukunya Hidup dan Pendapat para Filsuf Ternama.(http://id.wikipedia.org/wiki/Diogenes).
[5] Kaum Stoics adalah kelompok yang
menganut Stoicsm yang tumbuh di Yunani, tetap kemudian berkembang pesat
di Roma.
[6] Cynics berpendapat bahwa kebahagiaan
itu terletak pada upaya menghindari kelezatan.
[7] Lucius Annaeus Secena adalah filsuf
Romawi. Ia adalah ahli politik, penyair, dan guru dari kaisar Nero. Ia yang
mendidik kaisar Nero dan atas perintah kaisar Nero, pada akhirnya ia meninggal
bunuh diri. Ia menekankan pembedaan antara jiwa dengan badan dan mengembangkan
unsur-unsur etisdalam stoisisme (Ali Muhdhori, Kamus Filof Barat, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001, hlm. 478).
[8] Epictetus adalah filsuf dan moralis
Stoisisme. Pertama-tama ia mengajar filsafat di Roma, kemudian di Nicopolis di
Epirus. Karya-karyanya ditulis oleh muridnya, yaiti Flavius Arrianius.
Karya-karyanya berisi pengamatan yang tajam tentang tingkah lakumanusia dan
ucapan-ucapan yang penuh makna tentang masalah-masalah etis (Ibid., hlm. 152).
[9] Marcus Aurelius adalah seorang raja
dan seorang filsuf. sejak umur sebelas tahun, ia memutuskan untuk menjadi
filsuf. pada umur 18 tahun, ia diangkat anak oleh pamannya, Kaisar Pius
Antonius dari Roma dan dipersiapkan menjadi raja. Guru-guru dalam retorika dan
sejarah terbaik memberi pelajaran padanya. Ia menjadi raja setelah Pius wafat
dan menikah dengan Faustion, Saudara sepupunya (Ibid., hlm. 478).
[10]
Epicurus dilahirkan di Samos
dan memperoleh pendidikan di Athena. Ia sangat dipengaruhi Demokritus (Ibid.,
hlm. 152).
[11] Pierre Gassendi dilahirkan di
Provence. Ia menjadi profesor di Aix (1617) dan pada tahun 1645 menjadi
profesor matematika di College Royal, Paris. Ia merupakan penentang utama
Cartesianisme dan Aristotelianisme Skolastik dalam bidang fisika (Ibid.,
hlm. 191-192).
[12] Ibid., hlm. 153.
[13] Luqman Al-Hakim, Luqman Al-Hikmah
adalah orang yang disebut dalam Al-Qur’an surat Luqman (32)’ 12-19 yang
terkenal karena nasihat-nasihatnya kepada anaknya. Ibnu Katsir berpendapat
bahwa nama panjang adalah Luqman bin Unaqa’ bin Sadun. Mengenai asal-usul
Luqman, sebagian ulama berbeda pendapat. Ibnu Abbas menyatakan bahwa Luqman
adalah seorang tukang kayu dari Habsyi. Riwayat lain menyebutkan ia bertubuh
pendek dan berhidung mancung dari Nubah, dan ada yang berpendapat, dia berasal
dari Sudan. Ada pula yang berpendapat Luqman adalah seorang hakim pada zaman
nabi Dawud (http://id.wikipedia.org/wiki/luqman_Al-Hakim).
[14] Zuhair ibn Abu Sulma merupakan salah
seorang penyair terkemuka pada masa pra-islam. Salah satu qasidah Zuhair ini,
bagian awalnya adalah “A min ummi Aufa dimnatun lam takallami – bi
hawmaanagtid darraji fal mustallam” termasuk dalam tujuh puisi emas yang
diberikan penghargaan untuk digantungkan di Kabah dan terkenal dengan sebutan Al-Muallaqat
atau dalam terjemahan ke bahasa Inggris yang dilakukan oleh dosen American
University diberi judul The Golden of Odes.
[15] Lihat Asy-Syirazi, op. ct.,
hlm. 29-30.
[16] Zainun Kamal, Pengantar, dalam
Ibnu Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, Terj. Helmi Hidayat,
Bandung: Mizan, 1985, hlm. 14.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar