Selasa, 02 Juni 2015

SENGKETA PEMILU DI LIHAT DARI SISI HUKUM KETATANEGARAAN

MAKALAH
MENYOAL SENGKETA PEMILU DI LIHAT DARI SISI HUKUM KETATANEGARAAN

Di susun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pengantar Tata Hukum Indonesia yang di bimbing oleh Bapak H. Nur Sholikin S.Ag,MH


Kelompok 1 :
Eka Wulandari                        083131001
Supeni Choirul Jannah            083131002
Moh Ardiansyah                     083131003
Rif’ah Hilyatuz Zahidah         083131005
Nur Kholifa                             083112065

JURUSAN AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI (IAIN) JEMBER
OKTOBER,2014
KATA PENGANTAR

Puji syukur sepatutnya kita persembahkan kepada Allah SWT karena dialah yang telah menurunkan agama Islam, dan menciptakan alam raya serta akal pikiran, panca indra dan hati nurani bagi manusia dan berkat rahmat dan taufiq serta hidayah-Nya, makalah tentang Menyoal sengketa pemilu dari sisi hukum ketatanegaraan ini dapat terselesaikan untuk memberikan sedikit manfaat bagi kita semua.
Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda nabi kita tercinta Muhammad SAW. Sebagai Rasul yang mendapatkan mukjizat yaitu Al-Qur’an yang menjadi pedoman bagi kita semua sebagai ummat muslim.
Akhirnya, kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak mengandung kekurangan dan kelemaha. Oleh karena itu, saran, masukan dan kritik yang membangun akan kami perhatikan dengan sebaik-baiknya sebagai pembelajaran untuk kesempurnaan makalah kami. Dan semoga makalah ini bermanfaat bagi pembacanya. Amin

Jember , 10 Nopember 2014

Penulis








BAB I
PENDAHULUAN
A.      LATAR BELAKANG
Salah satu masalah dalam pemilihan umum yang semakin penting dibahas, yakni masalah penyelesaian sengketa atau perselisihan pemilu.Masalah ini perlu untuk dibahas karena beberapa alasan.
Pertama, pelaksanaan pemilu di negara kita masih diiringi oleh berbagai sengketa maupun pelanggaran yang dilakukan oleh berbagai pihak.
Kedua, lahirnya Undang-Undang Pemilu baru melahirkan perubahan penyelesaian sengketa sehingga perlu dipahami oleh berbagai pihak yang terlibat dalam pemilu.
Ketiga, beberapa putusan peradilan dan praktik dalam pemilu ikut mewarnai penyelesaian sengketa sehingga perlu diulas.
Salah satu hal baru dalam dua kali pemilu terakhir di Indonesia adalah dalam hal disediakannya mekanisme gugatan keberatan terhadap hasil pemilu.Gugatan semacam ini tidak dikenal dalam pemilu-pemilu sebelumnya. Secara konstitusional, mekanisme ini mendapat jaminan konstitusi UUD 1945 hasil perubahan ketiga, terutama dalam Pasal 24C ayat (1) yang menentukan
bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum (pemilu)




B.       PERMASALAHAN
Berdasarkan apa yang telah di uraikan pada latar belakang di atas maka penulis mencoba memfokuskan tentang menyoal sengketa pemilu di lihat dari sisi hukum ketata negaran sebagai berikut :
1.      Tujuan Pemilihan Umum
2.      Ciri dan Sistem Pemilu
3.      Penyelesaian Sengketa Pemiludan Beberapa persoalan dalam Pemilu














BAB II
PEMBAHASAN
A.      Tujuan Pemilu
Salah satu ciri negara demokrasi adalah dilaksanakan pemilihan umum dalam waktu-waktu tertentu.[1] Karena itu akan timbul pertanyaan untuk apa pemilihan umum itu dilaksanakan dalam waktu-waktu tertentu ?jawaban atas pertanyaan ini menyangkut masalah tujuan pemilihan umum itu.
Untuk Republik Indonesia paling tidak ada tiga macam tujuan pemilihan umum itu. Ketiga pemilihan umum itu adalah :
1.      Memungkinkan terjadinya peralihan pemarintahan secara aman dan tertib;
2.      Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat; dan
3.      Dalam rangka melaksanakan hak-hak asasi warga negara.
Kemampuan seseorang ada batasnya, karena itu adalah suatu hal yang sangat wajar kalau selalu terjadi pergantian pemerintahan.Pergantian pemarintahan di negara-negara totaleter pergantian pemerintahan itu di tentukan oleh sekelompok orang.Tidak demikian halnya dalam negara demokrasi.Di negara ini pergantian pemerintahan itu di tentukan oleh rakyat, caranya adalah mengadakan pemilihan umum.
Karena itu pemilihan umum di sebutkan bertujuan untuk memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan. Kata memungkinkan di sini tidak berarti bahwa setiap kali dilaksanakan pemilihan umum harus itu harus membuka kesempatan sama untuk menang bagi setiap peserta.
Pemilu membawa pengaruh besar terhadap sistem politik suatu Negara, melalai pemilu masyarakat berkesempatan berpartisipasi dengan memunculkan para calon pemimpin dan penyaringan calon calon tersebut.
Pada hakikatnya pemilu dinegara manapun mempunya esensi yang sama. Pemilu , berarti rakyat melakukan kegiatan memilih orang atau sekelompok orang menjadi pemimpin Negara.pemimpin yang dipilih itu akan menjalankan kehendak rakyat atau pemimpin Negara. Pemimpin yang dipilih itu akan menjalankan kehendak rakyat yang memilihnya.
Menurut Parulian Donald ada dua manfaat yang sekaligus sebagai tujuan atau sasaran langsung yang hendak dicapai dengan pelaksanaan lembaga politik pemilu yaitu pembentukan atau pemumukan kekuasaan yang abash (otoritas) dan mencapai tingkat keterwakilan politik (political representativeness)
Dari sudut pandang tujuan kedua manfaat (tujuan) tersebut merupakan tujuan langsung yang berada dalam skala waktu relative pendek hal ini mengisyaratkan bahwa manfaatnya dirasakan segera setelah proses pemilu berlangsung. Adapun tujuan tidak langsung dihasilkan dari keseluruhan aktivitas dari semua pihak yang terlibat dalam proses pemilu baik kontestan maupun para pelaksana dan pengawas dalam kurun waktu relative lama yaitu pembudayaan politik dan pelembagaan politik.[2]
Arbi Sanit menyimpulkan bahwa pemilu pada dasarnya memiliki empat fungsi utama:
a.       Pembentukan legitimasi penguasa dan pemerintah
b.      Pembentukan perwakilan politik rakyat
c.       Sirkulasi elite pengusa
d.      Pendidikan politik
Sebagai sarana pelaksanaan asas kedaulatan rakyat berdasarkan pancasila dalam Negara republic indonisia maka pemilu bertujan antara lain :
a.       Memungkinkan terjadinya pemilihan pemerintah secara aman dan tertib
b.      Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat
c.       Dalam rangka melakukan hak hak asasi warga Negara

B.       Ciri dan Sistem Pemilu
Dalam sistem pemerintahan demokratis, kehadiran pemilu yang bebas dan adil merupakan suatu keniscayaan.Banyak ilmuan politik yang menggunakan pemilih sebagai parameter pelaksanaan demokratisasi suatu Negara. Muhammad Asfar, memberikan beberapa alasan mengapa pemilu sangat penting dalam kehidupan demokrasi. [3]
Secara konseptual terdapat dua mekanisme yang dapat dilakukan untuk menciptakan pemilu yang bebas dan adil, yaitu :
1.         Menciptakan seperangkat metode untuk mentransfer suara pemilih ke dalam suatu lembaga perwakilan rakyat secara adil (electoral sistem)
2.         Menjalankan pemilu sesuai dengan aturan main dan prinsip-prinsip demokrasi (electoral proces)
Sementara itu, Ranney menyebutkan bahwa ciri-ciri suatu pemilu yang benar-benar bebas meliputi :
1.         Diselenggarakan secara regular
2.         Pilihan yang benar-benar berarti
3.         Kebebasan menempatkan calon
4.         Kebebasan mengetahui dan mendiskusikan pilihan-pilihan
5.         Hak pilih orang dewasa yang universal
6.         Perlakuan yang sama dalam pemberian suara
7.         Pendaftaran pemilih yang bebas
8.         Penghitungan dan pelaporan hasil yang tepat
Sistem pemilu hakikatnya merupakan seperangkat metode yang mengatur warga negara dalam memilih para wakilnya dalam suatu lembaga perwakilan rakyat, seperti halnya parlemen dengan demikian dapat juga dikatakan bahwa sistem pemilihan dapat berupa seperangkat metode untuk mentransfer suara pemilu dalam kursi parlemen.
Sistem pemilihan sendiri memiliki arti penting terutama berkaitan dengan sistem pemerintahan berdasarkan demokrasi perwakilan. Ada beberapa alasan yang memperkuat argument tersebut antara lain[4] :
1.    Sistem pemilihan mempunyai konsekuensi pada tingkat proporsionalitas hasil pemilihan
2.    Sistem pemilihan mempunyai pengaruh pada jenis kabinet yang akan dibentuk yaitu apakah kabinet satu partai atau koalisi.
3.    Sistem pemilihan mempunyai dampak pada bentuk sistem kepartaian, terutama yang berkaitan dengan jumlah parpol
4.    Sistem pemilihan mempunyai pengaruh kepada akuntabilitas pemerintahan
5.    Sistem pemerintahan memiliki dampak pada tingkat kohisi parpol
6.    Sistem pemilihan berpengaruh pada bentuk dan tingkat partiipasi politik masyarakat
7.    Sistem pemilihan merupakan elemen demokrasi yang lebih mudah untuk dimanipulasi dibandingkan dengan elemen demokrasi lainnya
8.    Sistem pemerintahan dapat dimanipulasi melalui bebagai peraturan yang demokratis dalam implementasinya.[5]
Berbagai sistem pemerintahan dengan variasi masing-masing menunjukkan indikasi keunggulan dan kelemahan.
C.       Penyelesaian Sengketa Pemilu
Sebelum pada penyelesaian, telebih dahulu yang perlu di ketahui adalah pengertian dari Perselisihan hasil pemilu atau yang lebih dikenal dengan istilah sengketa. Hasil pemilu adalah perselisihan antara peserta pemilu dan KPU sebagai penyelenggara pemilu mengenai penetapan secara nasional perolehan suara hasil pemilu oleh KPU, termasuk juga Perselisihan antara peserta Pemilu DewanPerwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/ Kota di Aceh dan Komisi Independen Pemilihan (KIP). Hal ini ditegaskan pada Pasal 1 angka 17 Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Republik IndonesiaNomor 14 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan HasilPemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Putusan sengketa Pemilu akan diselesaikan di meja Mahkamah Agung (MA). Akan tetapi, setelah ada amandemen Undang-undang Dasar 1945 dan sudah beberapakali dilakukan amandemen tersebut.Maka secara tidak langsung memberikan legitimasi kuat terhadap Mahkamah Konstitusi untuk mengadili setiap perkara ketatanegaraan yang mengalami sengketa diwilayah Negara Indonesia, Indonesia memiliki jendela hukum yang bikameral bukan unikameral dan lebih kepada multirateral.
Banyak kasus sengketa pilkada yang lain terjadi di Indonesia baru-baru ini, misalnya yang terjadi di Sulawesi Selatan. Sengketa yang berujung pada putusan MA tersebut diputuskan untuk dilakukan pemungutan suara ulang di daerah pemilihan.
Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa penyelesaian sengketa pilkada diserahkan melalui proses hukum di Mahkamah Agung di satu sisi. Sementara, di sisi lain putusan sengketa pemilihan kepala daerah oleh Mahkamah Agung di beberapa daerah menuai kontroversi. Sebagai contoh, putusan sengketa Pilkada Sulawesi Selatan (Sulsel), Maluku Utara (Malut) dan pilkada Depok yang berbuntut kontroversi tersebut menunjukkan ketidakjelasan putusan hukum yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung (MA). Padahal putusan itu seharusnya mencerminkan penyelesaian terakhir sengketa pilkada.
Harapan adanya putusan hukum yang mengikat dan bisa dihormati semua pihak yang bersengketa nampaknya sulit dicapai.Putusan Mahkamah Agung yang memerintahkan dilakukannya pilkada ulang atau perhitungan ulang hasilnya digugat lagi. Tentu saja persoalan akan bertambah runyam. Wajar apabila banyak orang yang menggugat putusan MA.Hal ini yang menyebabkan tingkat kepercayaan publik terhadap MA agak rendah, dan banyak pihak yang berkeinginan agar penyelesaian sengketa pilkada dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi.
Perselisihan hasil pemilu atau yang lebih dikenal dengan istilah sengketa hasil pemilu adalah perselisihan antara peserta pemilu dan KPU sebagai penyelenggara pemilu mengenai penetapan secara nasional perolehan suara hasil pemilu oleh KPU, termasuk juga Perselisihan antara peserta Pemilu Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota di Aceh dan Komisi Independen Pemilihan (KIP). Hal ini ditegaskan pada Pasal 1 angka 17 Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Siapakah pemohon dalam perselisihan itu? Perseorangan calon anggota DPD Peserta Pemilu, Partai Politik Peserta Pemilu, Partai Politik dan Partai Politik Lokal Peserta Pemilu Anggota DPRA dan DPRK di Aceh, dan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden. (Pasal 3 PMK No. 14/2008).Siapakah termohon dalam sengketa ini?Termohon adalah KPU.Dalam hal perselisihan hasil penghitungan suara calon anggota DPRD Provinsi dan/atau DPRA, KPU Provinsi dan/atau KIP Aceh menjadi Turut Termohon. Dalam hal perselisihan hasil penghitungan suara calon anggota DPRD Kabupaten/Kota dan/atau DPRK di Aceh, KPU Kabupaten/Kota dan/atau KIP Kabupaten/Kota di Aceh menjadi Turut Termohon. (Pasal 4 PMK No. 14/2008)

Seperti disinggung di atas, ketika membicarakan gugatan atau permohonan pemilu di pengadilan, penting membahas latar belakang gugatan atau permohonan tersebut.Setiap gugatan harus berdasarkan suatu argumen. Phil Green dan Louise Olivier mengusulkan beberapa aspek pemilu yang dapat dipertanyakan atau menjadi dasar gugatan, termasuk di antaranya: ketidakakuratan daftar pemilih, intimidasi terhadap pemilih, kecurangan atau dihalangi dari pemungutan suara, soal netralitas dan partisan-tidaknya pelaksana atau petugas pemilu, wajar-tidaknya tindakan kandidat atau partai politik, pemenuhan persyaratan kandidat untuk dipilih, penipuan suara, atau kesalahan atau ketidakberesan dalam proses perhitungan suara.2 Di Inggris, petisi dapat diajukan untuk menggugat: (a) kandidat yang menang namun tidak berhasil menjadi anggota the Common, (b) korupsi atau praktik ilegal yang dilakukan selama kampanye, dan (c) ketidakberesan administrasi selama pemilu. Jika suatu gugatan kemudian berhasil, pemilu dinyatakan batal atau kandidat lainnya dinyatakan menang.3 Satu kasus seperti ini terjadi ketika praktik ilegal digunakan sebagai dasar gugatan dalam kasus ReBedwellty Constituency Parliamentary Election, ex parte Finc.4 Dasar gugatan pemilu (Ground of Election Petition), di beberapa negara, antara lain: a) Melakukan tindak pidana pemilu (khususnya yang bisa memengaruhi hasil pemilu); b) Terjadi pelanggaran terhadap ketentuan dalam peraturan perundang-undangan pemilu (yang memengaruhi hasil pemilu); c) Kesalahan dalam penghitungan; d) Calon tidak memenuhi persyaratan (ineligibility); e) Calon menunjuk tim kampanye yang telah dijatuhi hukuman karena corruptpractices. Terdapat suatu pemahaman umum bahwa proses dan mekanisme penyelesaian sengketa pemilu yang efektif (effective electoral dispute resolution mechanismsand processes) merupakan suatu sine qua non bagi pemilu yang jujur dan adil. Kerangka hukum harus mengatur mekanisme dan penyelesaian hukum yang efektif untuk penegakan hak pilih karena hak memberikan suara merupakan hak asasi manusia.Karena itu, penyelesaian hukum terhadap pelanggaran hak memberikan suara juga merupakan hak asasi manusia.Kerangka hukum pemilu harus menetapkan ketentuan-ketentuan terperinci dan memadai untuk melindungi hak pilih. Kerangka hukum harus menetapkan bahwa setiap pemilih, kandidat, dan partai politik berhak mengadu kepada
lembaga penyelenggara pemilu atau pengadilan yang berwenang apabila terdapat dugaan pelanggaran atas hak pilih. Undang-Undang Pemilu mengharuskan lembaga penyelenggara pemilu atau pengadilan yang berwenang untuk segera memberikan keputusan guna mencegah hilangnya hak pilih pihak korban.Undang-undang itu harus menetapkan hak untuk mengajukan banding.Keputusan dari pengadilan pada tingkat tertinggi harus diberikan sesegera mungkin.Kerangka hukum harus mengatur berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mempertimbangkan dan memutuskan suatu pengaduan.
Waktu penyampaian keputusan tersebut kepada pihak yang mengajukan pengaduan juga harus ditetapkan.Beberapa pengaduan dapat diputuskandengan segera, yang lainnya memerlukan waktu beberapa jam, dan yang lainnya memerlukan beberapa hari. Ada tiga isu fundamental dalam penyelesaian sengketa pemilu, yaitu: (1) Validitas hasil, dan dengan demikian hak untuk menguji atau menggugat hasil pemilu; (2) Tindakan administratif dari para penyeneggara pemilu untuk memperbaiki atau menyelesaikan suatu masalah, yang dipersoalkan oleh para pencari keadilan yang hak-hak pemilu dilanggar; dan (3) Tuntutan pidanabagi mereka yang melakukan tindak pidana pada proses pemilu.

D.      Persoalan Dalam Sengketa Pemilu di Indonesia
Satu masalah penting yang berpotensi mengganggu pemilu adalahpenyelesaian sengketa pemilu. Ada beberapa problem besar menyangkutsengketa pemilu (termasuk pemilu kepala daerah): pertama, banyak pihaktidak mengerti sengketa pemilu; kedua, banyak energi dihabiskan untukberperkara sementara hasilnya amat minim; dan ketiga, ketidakadilan yangterlembaga.[6]
Pertama, jika dicermati, terlampau banyaknya permohonan yang diajukan keMahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) adalah akibat tidak dimengertinya dasar gugatan yang harus diajukan. Banyak pelanggaran dansengketa dalam tahapan pemilu yang semestinya diselesaikan Panwaslu ataupenegak hukum justru diajukan ke lembaga yudikatif Dalam permohonan sengketa hasil pemilu atau pilkada, ternyata parapemohon memasukkan pelanggaran-pelanggaran administrasi, tindak pidanapemilu, dan sengketa dalam tahapan pemilu sebagai dasar gugatan. Padahalketiga hal itu bukan wewenang MK atau MA untuk menyelesaikannya.Untuktindak pidana pemilu (election offences), tindak pidana pemilu diselesaikanoleh sistem peradilan pidana (kepolisian, penuntut umum, dan pengadilan).Pelanggaran administrasi seharusnya diselesaikan oleh KPU atau KPUD.Sementara sengketa dalam proses atau tahapan pemilu diselesaikan olehBawaslu dan Panwaslu. Sayangnya, keputusan Panwaslu atau Bawaslu meskidisebut final dan mengikat, kerap kali tidak sekuat putusan lembaga yudikatif(sehingga kerap diabaikan).Sedangkan yang dimaksud dengan sengketa hasil pemilu ini adalah sengketaterhadap keputusan KPU atau KPUD menyangkut hasil pemilu. Sengketahasil pemilu ini, sayangnya dibatasi hanya sengketa mengenai kesalahan
penghitungan yang dilakukan oleh KPU atau KPUD. Dalam konteks pemilu,MK berwenang menyelesaikan.Dalam praktiknya, semua masalah hukum itudimasukkan dalam permohonan. Tidak heran mayoritas permohonan di MKdiputus ”tidak dapat diterima” atau ”ditolak”.Problem kedua adalah terlalu banyaknya kasus pemilu. Berdasar catatanPemilu Legislatif 2009, dari 627 kasus yang dimohonkan ke MK, hanya 68yang permohonannya dinyatakan diterima (sekitar 10 perssen), hal yangsama juga kurang lebih terjadi pada Pemilu 2004.
Begitu juga denganpilkada.Apa maknanya? Kita membuang-buang energi terlalu besar untukberperkara padahal dasar gugatannya tidak tepat.Meski demikian, karena halitu merupakan hak, dan bukan merupakan suatu kesimpulan bahwa pemilutelah gagal karena banyaknya gugatan; kita pun tidak bisa menolak hak itu.Ada yang berdalih gugatan diajukan untuk pembelajaran politik. Akan tetapiPenulis khawatir, sebenarnya penggugat tidak mengerti apa yang bisadigugat dan apa yang tidak. Mungkin pula hal itu merupakan pelampiasankekecewaan atas kekalahan.Padahal banyak energi dan biaya yang terbuanguntuk itu.Mengapa para pihak tidak menahan diri, hanya menggugat jikayakin dasar gugatannya tepat dan berpotensi kuat untuk menang? Tradisimenghormati kemenangan pihak lain belum melembaga, kecuali di beberapadaerah saja.Haruskah gugatan pemilu dibatasi dengan deposit yang besar (seperti dibeberapa negara) atau dibatasi dengan selisih suara (misalnya di bawah 2persen)? Ketentuan itu dimaksudkan agar dunia peradilan dan masyarakattidak disibukkan dengan perselisihan pemilu. Namun, hal itu memangsalah satu pilihan, yang terpenting adalah kesadaran para kandidat atauparpol untuk menghormati dan mengakui kemenangan pihak lain dan jugapemahaman tentang makna sengketa hasil pemilu.[7]








BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Salah satu ciri negara demokrasi adalah dilaksanakan pemilihan umum dalam waktu-waktu tertentu.Secara konseptual terdapat dua mekanisme yang dapat dilakukan untuk menciptakan pemilu yang bebas dan adil.
Pemilu membawa pengaruh besar terhadap sistem politik suatu Negara, melalai pemilu masyarakat berkesempatan berpartisipasi dengan memunculkan para calon pemimpin.Perselisihan hasil pemilu atau yang lebih dikenal dengan istilah sengketa.Hasil pemilu adalah perselisihan antara peserta pemilu dan KPU sebagai penyelenggara pemilu mengenai penetapan secara nasional.Perkembangan dalam arti perluasan alasan atau dasar gugatan dalam perselisihan atau sengketa hasil pemilu tampaknya perlu lebih diperkuat di dalam UU Pemilu atau revisi UU Pemilu ke depan. Dalam pembahasan UU Pemilu yang akan datang hal-hal terkait sengketa pemilu ini mesti dibahas secara mendalam, sebagai ketentuan yang akan diikuti di dalam penyelesaian sengketa, baik dalam proses maupun sengketa hasil pemilu.
B.  Saran
Berdasarkan hal tersebut diatas sudahlah pasti Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu Mahkamah yang paling tinggi bersama Mahkamah Agung , hendaklah pemerintah seperti Presiden dan/ atau Wakil Presiden tidak melakukan hal-hal yang membuat kesalahan yang tidak bertanggung jawab karena Mahkamah Konstitusi akan menindak tegasnya.


DAFTAR PUSTAKA

Huda, Ni’matul. 2009.Hukum Tata Negara Indonesia.Jakarta : Rajawali Pers.
Mulyosudarmo, Suewoto.2004. Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui Perubahan kontitusi.Malang : Asosiasi Pengajar
Kusnardi, moh.dkk.1983.Pengantar Tata Negara Indonesia.Jakarta : Sastra Hudaya.
http ://Buku_16 Penanganan Sengketa Pemilu.web.pdf
Triwulan Tutik,Titik.2011. Konstruk Hukum Tata Negara Indonesia.Jakarta : Kencana





[1]Moh Kusnadi,dkk. Pengantar Hukum Tata Negara.(Jakarta : Sastra Hudaya, 1983).,328-329.
[2]Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Kencana, 2011)., 332-335
[3]Ni’matul Huda,Hukum Tata Negara Indonesia.(Jakarta : Raja wali pers.2009).,221.
[4]Suewoto mulyosudarmo. Pembaharuan melalui perubahan kontitusi.(malang: asosiasi pengajar,2004).,245.
[5] Ibid .,336
[6]http://Buku_16 penanganan persoalan pemilu.web.pdf
[7]Ibid.,web,pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar