MAKALAH
MENYOAL SENGKETA PEMILU DI LIHAT DARI SISI HUKUM
KETATANEGARAAN
Di
susun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pengantar Tata Hukum Indonesia yang di
bimbing oleh Bapak H. Nur Sholikin S.Ag,MH
Kelompok
1 :
Eka
Wulandari 083131001
Supeni
Choirul Jannah 083131002
Moh
Ardiansyah 083131003
Rif’ah
Hilyatuz Zahidah 083131005
Nur
Kholifa 083112065
JURUSAN
AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYAH
FAKULTAS
SYARIAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGRI (IAIN) JEMBER
OKTOBER,2014
KATA
PENGANTAR
Puji syukur sepatutnya kita persembahkan kepada Allah SWT
karena dialah yang telah menurunkan agama Islam, dan menciptakan alam raya
serta akal pikiran, panca indra dan hati nurani bagi manusia dan berkat rahmat
dan taufiq serta hidayah-Nya, makalah tentang “Menyoal
sengketa pemilu dari sisi hukum ketatanegaraan” ini dapat terselesaikan untuk memberikan sedikit manfaat
bagi kita semua.
Shalawat
serta salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda nabi kita tercinta Muhammad
SAW. Sebagai Rasul yang mendapatkan mukjizat yaitu Al-Qur’an yang menjadi
pedoman bagi kita semua sebagai ummat muslim.
Akhirnya,
kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak mengandung kekurangan dan
kelemaha. Oleh karena itu, saran, masukan dan kritik yang membangun akan kami
perhatikan dengan sebaik-baiknya sebagai pembelajaran untuk kesempurnaan
makalah kami. Dan semoga makalah ini bermanfaat bagi pembacanya. Amin
Jember
, 10 Nopember 2014
Penulis
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Salah satu masalah dalam pemilihan umum
yang semakin penting dibahas, yakni masalah penyelesaian sengketa atau
perselisihan pemilu.Masalah ini perlu untuk dibahas karena beberapa alasan.
Pertama,
pelaksanaan pemilu di negara kita masih diiringi oleh berbagai sengketa maupun
pelanggaran yang dilakukan oleh berbagai pihak.
Kedua,
lahirnya Undang-Undang Pemilu baru melahirkan perubahan penyelesaian sengketa
sehingga perlu dipahami oleh berbagai pihak yang terlibat dalam pemilu.
Ketiga,
beberapa putusan peradilan dan praktik dalam pemilu ikut mewarnai penyelesaian
sengketa sehingga perlu diulas.
Salah
satu hal baru dalam dua kali pemilu terakhir di Indonesia adalah dalam hal
disediakannya mekanisme gugatan keberatan terhadap hasil pemilu.Gugatan semacam
ini tidak dikenal dalam pemilu-pemilu sebelumnya. Secara konstitusional,
mekanisme ini mendapat jaminan konstitusi UUD 1945 hasil perubahan ketiga,
terutama dalam Pasal 24C ayat (1) yang menentukan
bahwa
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil
pemilihan umum (pemilu)
B. PERMASALAHAN
Berdasarkan
apa yang telah di uraikan pada latar belakang di atas maka penulis mencoba
memfokuskan tentang menyoal sengketa pemilu di lihat dari sisi hukum ketata
negaran sebagai berikut :
1. Tujuan Pemilihan Umum
2. Ciri dan Sistem Pemilu
3. Penyelesaian
Sengketa Pemiludan Beberapa persoalan dalam Pemilu
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tujuan Pemilu
Salah satu ciri negara demokrasi adalah dilaksanakan
pemilihan umum dalam waktu-waktu tertentu.[1]
Karena itu akan timbul pertanyaan untuk apa pemilihan umum itu dilaksanakan
dalam waktu-waktu tertentu ?jawaban atas pertanyaan ini menyangkut masalah
tujuan pemilihan umum itu.
Untuk Republik Indonesia paling tidak ada tiga macam
tujuan pemilihan umum itu. Ketiga pemilihan umum itu adalah :
1. Memungkinkan terjadinya peralihan
pemarintahan secara aman dan tertib;
2. Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat;
dan
3. Dalam rangka melaksanakan hak-hak asasi
warga negara.
Kemampuan seseorang ada batasnya, karena itu adalah
suatu hal yang sangat wajar kalau selalu terjadi pergantian
pemerintahan.Pergantian pemarintahan di negara-negara totaleter pergantian
pemerintahan itu di tentukan oleh sekelompok orang.Tidak demikian halnya dalam
negara demokrasi.Di negara ini pergantian pemerintahan itu di tentukan oleh
rakyat, caranya adalah mengadakan pemilihan umum.
Karena itu pemilihan umum di sebutkan bertujuan
untuk memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan. Kata memungkinkan di sini
tidak berarti bahwa setiap kali dilaksanakan pemilihan umum harus itu harus
membuka kesempatan sama untuk menang bagi setiap peserta.
Pemilu
membawa pengaruh besar terhadap sistem politik suatu Negara, melalai pemilu
masyarakat berkesempatan berpartisipasi dengan memunculkan para calon pemimpin
dan penyaringan calon calon tersebut.
Pada hakikatnya
pemilu dinegara manapun mempunya esensi yang sama. Pemilu , berarti rakyat
melakukan kegiatan memilih orang atau sekelompok orang menjadi pemimpin
Negara.pemimpin yang dipilih itu akan menjalankan kehendak rakyat atau pemimpin
Negara. Pemimpin yang dipilih itu akan menjalankan kehendak rakyat yang
memilihnya.
Menurut
Parulian Donald ada dua manfaat yang sekaligus sebagai tujuan atau sasaran
langsung yang hendak dicapai dengan pelaksanaan lembaga politik pemilu yaitu
pembentukan atau pemumukan kekuasaan yang abash (otoritas) dan mencapai tingkat keterwakilan politik (political representativeness)
Dari
sudut pandang tujuan kedua manfaat (tujuan) tersebut merupakan tujuan langsung
yang berada dalam skala waktu relative pendek hal ini mengisyaratkan bahwa
manfaatnya dirasakan segera setelah proses pemilu berlangsung. Adapun tujuan
tidak langsung dihasilkan dari keseluruhan aktivitas dari semua pihak yang
terlibat dalam proses pemilu baik kontestan maupun para pelaksana dan pengawas
dalam kurun waktu relative lama yaitu pembudayaan politik dan pelembagaan
politik.[2]
Arbi
Sanit menyimpulkan bahwa pemilu pada dasarnya memiliki empat fungsi utama:
a. Pembentukan legitimasi penguasa dan pemerintah
b. Pembentukan perwakilan politik rakyat
c. Sirkulasi elite pengusa
d. Pendidikan politik
Sebagai sarana
pelaksanaan asas kedaulatan rakyat berdasarkan pancasila dalam Negara republic
indonisia maka pemilu bertujan antara lain :
a. Memungkinkan terjadinya pemilihan pemerintah secara aman dan tertib
b. Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat
c. Dalam rangka melakukan hak hak asasi warga Negara
B. Ciri dan Sistem Pemilu
Dalam
sistem pemerintahan demokratis, kehadiran pemilu yang bebas dan adil merupakan
suatu keniscayaan.Banyak ilmuan politik yang menggunakan pemilih sebagai
parameter pelaksanaan demokratisasi suatu Negara. Muhammad Asfar, memberikan
beberapa alasan mengapa pemilu sangat penting dalam kehidupan demokrasi. [3]
Secara
konseptual terdapat dua mekanisme yang dapat dilakukan untuk menciptakan pemilu
yang bebas dan adil, yaitu :
1.
Menciptakan
seperangkat metode untuk mentransfer suara pemilih ke dalam suatu lembaga perwakilan
rakyat secara adil (electoral sistem)
2.
Menjalankan pemilu
sesuai dengan aturan main dan prinsip-prinsip demokrasi (electoral proces)
Sementara
itu, Ranney menyebutkan bahwa ciri-ciri suatu pemilu yang benar-benar bebas
meliputi :
1.
Diselenggarakan secara
regular
2.
Pilihan yang
benar-benar berarti
3.
Kebebasan
menempatkan calon
4.
Kebebasan mengetahui
dan mendiskusikan pilihan-pilihan
5.
Hak pilih orang
dewasa yang universal
6.
Perlakuan yang sama
dalam pemberian suara
7.
Pendaftaran pemilih
yang bebas
8.
Penghitungan dan
pelaporan hasil yang tepat
Sistem
pemilu hakikatnya merupakan seperangkat metode yang mengatur warga negara dalam
memilih para wakilnya dalam suatu lembaga perwakilan rakyat, seperti halnya
parlemen dengan demikian dapat juga dikatakan bahwa sistem pemilihan dapat
berupa seperangkat metode untuk mentransfer suara pemilu dalam kursi parlemen.
Sistem
pemilihan sendiri memiliki arti penting terutama berkaitan dengan sistem
pemerintahan berdasarkan demokrasi perwakilan. Ada beberapa alasan yang
memperkuat argument tersebut antara lain[4] :
1. Sistem pemilihan mempunyai konsekuensi pada tingkat
proporsionalitas hasil pemilihan
2. Sistem pemilihan mempunyai pengaruh pada jenis kabinet yang akan
dibentuk yaitu apakah kabinet satu partai atau koalisi.
3. Sistem pemilihan mempunyai dampak pada bentuk sistem kepartaian,
terutama yang berkaitan dengan jumlah parpol
4. Sistem pemilihan mempunyai pengaruh kepada akuntabilitas
pemerintahan
5. Sistem pemerintahan memiliki dampak pada tingkat kohisi parpol
6. Sistem pemilihan berpengaruh pada bentuk dan tingkat partiipasi
politik masyarakat
7. Sistem pemilihan merupakan elemen demokrasi yang lebih mudah untuk
dimanipulasi dibandingkan dengan elemen demokrasi lainnya
8. Sistem pemerintahan dapat dimanipulasi melalui bebagai peraturan
yang demokratis dalam implementasinya.[5]
Berbagai
sistem pemerintahan dengan variasi masing-masing menunjukkan indikasi
keunggulan dan kelemahan.
C. Penyelesaian Sengketa Pemilu
Sebelum pada penyelesaian, telebih
dahulu yang perlu di ketahui adalah pengertian dari Perselisihan hasil pemilu
atau yang lebih dikenal dengan istilah sengketa. Hasil pemilu adalah
perselisihan antara peserta pemilu dan KPU sebagai penyelenggara pemilu
mengenai penetapan secara nasional perolehan suara hasil pemilu oleh KPU,
termasuk juga Perselisihan antara peserta Pemilu DewanPerwakilan Rakyat Aceh
(DPRA) dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/ Kota di Aceh dan Komisi
Independen Pemilihan (KIP). Hal ini ditegaskan pada Pasal 1 angka 17 Peraturan
Mahkamah Konstitusi (PMK) Republik IndonesiaNomor 14 Tahun 2008 tentang Pedoman
Beracara dalam Perselisihan HasilPemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Putusan sengketa Pemilu akan
diselesaikan di meja Mahkamah Agung (MA). Akan tetapi, setelah ada amandemen
Undang-undang Dasar 1945 dan sudah beberapakali dilakukan amandemen
tersebut.Maka secara tidak langsung memberikan legitimasi kuat terhadap
Mahkamah Konstitusi untuk mengadili setiap perkara ketatanegaraan yang
mengalami sengketa diwilayah Negara Indonesia, Indonesia memiliki jendela hukum
yang bikameral bukan unikameral dan lebih kepada multirateral.
Banyak kasus sengketa pilkada yang
lain terjadi di Indonesia baru-baru ini, misalnya yang terjadi di Sulawesi
Selatan. Sengketa yang berujung pada putusan MA tersebut diputuskan untuk
dilakukan pemungutan suara ulang di daerah pemilihan.
Undang-Undang No 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa penyelesaian sengketa pilkada
diserahkan melalui proses hukum di Mahkamah Agung di satu sisi. Sementara, di
sisi lain putusan sengketa pemilihan kepala daerah oleh Mahkamah Agung di
beberapa daerah menuai kontroversi. Sebagai contoh, putusan sengketa Pilkada
Sulawesi Selatan (Sulsel), Maluku Utara (Malut) dan pilkada Depok yang
berbuntut kontroversi tersebut menunjukkan ketidakjelasan putusan hukum yang dikeluarkan
oleh Mahkamah Agung (MA). Padahal putusan itu seharusnya mencerminkan
penyelesaian terakhir sengketa pilkada.
Harapan adanya putusan hukum yang
mengikat dan bisa dihormati semua pihak yang bersengketa nampaknya sulit
dicapai.Putusan Mahkamah Agung yang memerintahkan dilakukannya pilkada ulang
atau perhitungan ulang hasilnya digugat lagi. Tentu saja persoalan akan
bertambah runyam. Wajar apabila banyak orang yang menggugat putusan MA.Hal ini
yang menyebabkan tingkat kepercayaan publik terhadap MA agak rendah, dan banyak
pihak yang berkeinginan agar penyelesaian sengketa pilkada dialihkan kepada
Mahkamah Konstitusi.
Perselisihan hasil pemilu atau yang
lebih dikenal dengan istilah sengketa hasil pemilu adalah perselisihan antara
peserta pemilu dan KPU sebagai penyelenggara pemilu mengenai penetapan secara
nasional perolehan suara hasil pemilu oleh KPU, termasuk juga Perselisihan
antara peserta Pemilu Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Dewan Perwakilan
Rakyat Kabupaten/Kota di Aceh dan Komisi Independen Pemilihan (KIP). Hal ini
ditegaskan pada Pasal 1 angka 17 Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Republik
Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil
Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Siapakah pemohon dalam perselisihan itu?
Perseorangan calon anggota DPD Peserta Pemilu, Partai Politik Peserta Pemilu,
Partai Politik dan Partai Politik Lokal Peserta Pemilu Anggota DPRA dan DPRK di
Aceh, dan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden. (Pasal 3 PMK No.
14/2008).Siapakah termohon dalam sengketa ini?Termohon adalah KPU.Dalam hal
perselisihan hasil penghitungan suara calon anggota DPRD Provinsi dan/atau
DPRA, KPU Provinsi dan/atau KIP Aceh menjadi Turut Termohon. Dalam hal
perselisihan hasil penghitungan suara calon anggota DPRD Kabupaten/Kota
dan/atau DPRK di Aceh, KPU Kabupaten/Kota dan/atau KIP Kabupaten/Kota di Aceh
menjadi Turut Termohon. (Pasal 4 PMK No. 14/2008)
Seperti disinggung di atas, ketika
membicarakan gugatan atau permohonan pemilu di pengadilan, penting membahas
latar belakang gugatan atau permohonan tersebut.Setiap gugatan harus
berdasarkan suatu argumen. Phil Green dan Louise Olivier mengusulkan beberapa
aspek pemilu yang dapat dipertanyakan atau menjadi dasar gugatan, termasuk di
antaranya: ketidakakuratan daftar pemilih, intimidasi terhadap pemilih,
kecurangan atau dihalangi dari pemungutan suara, soal netralitas dan
partisan-tidaknya pelaksana atau petugas pemilu, wajar-tidaknya tindakan
kandidat atau partai politik, pemenuhan persyaratan kandidat untuk dipilih,
penipuan suara, atau kesalahan atau ketidakberesan dalam proses perhitungan
suara.2 Di Inggris, petisi dapat diajukan untuk menggugat: (a) kandidat yang
menang namun tidak berhasil menjadi anggota the Common, (b) korupsi atau
praktik ilegal yang dilakukan selama kampanye, dan (c) ketidakberesan
administrasi selama pemilu. Jika suatu gugatan kemudian berhasil, pemilu
dinyatakan batal atau kandidat lainnya dinyatakan menang.3 Satu kasus seperti
ini terjadi ketika praktik ilegal digunakan sebagai dasar gugatan dalam kasus ReBedwellty
Constituency Parliamentary Election, ex parte Finc.4 Dasar gugatan pemilu (Ground
of Election Petition), di beberapa negara, antara lain: a) Melakukan tindak
pidana pemilu (khususnya yang bisa memengaruhi hasil pemilu); b) Terjadi
pelanggaran terhadap ketentuan dalam peraturan perundang-undangan pemilu (yang
memengaruhi hasil pemilu); c) Kesalahan dalam penghitungan; d) Calon tidak
memenuhi persyaratan (ineligibility); e) Calon menunjuk tim kampanye
yang telah dijatuhi hukuman karena corruptpractices. Terdapat suatu
pemahaman umum bahwa proses dan mekanisme penyelesaian sengketa pemilu yang
efektif (effective electoral dispute resolution mechanismsand processes)
merupakan suatu sine qua non bagi pemilu yang jujur dan adil. Kerangka
hukum harus mengatur mekanisme dan penyelesaian hukum yang efektif untuk
penegakan hak pilih karena hak memberikan suara merupakan hak asasi manusia.Karena
itu, penyelesaian hukum terhadap pelanggaran hak memberikan suara juga
merupakan hak asasi manusia.Kerangka hukum pemilu harus menetapkan
ketentuan-ketentuan terperinci dan memadai untuk melindungi hak pilih. Kerangka
hukum harus menetapkan bahwa setiap pemilih, kandidat, dan partai politik
berhak mengadu kepada
lembaga penyelenggara pemilu atau
pengadilan yang berwenang apabila terdapat dugaan pelanggaran atas hak pilih.
Undang-Undang Pemilu mengharuskan lembaga penyelenggara pemilu atau pengadilan
yang berwenang untuk segera memberikan keputusan guna mencegah hilangnya hak
pilih pihak korban.Undang-undang itu harus menetapkan hak untuk mengajukan
banding.Keputusan dari pengadilan pada tingkat tertinggi harus diberikan
sesegera mungkin.Kerangka hukum harus mengatur berapa lama waktu yang dibutuhkan
untuk mempertimbangkan dan memutuskan suatu pengaduan.
Waktu penyampaian keputusan tersebut
kepada pihak yang mengajukan pengaduan juga harus ditetapkan.Beberapa pengaduan
dapat diputuskandengan segera, yang lainnya memerlukan waktu beberapa jam, dan
yang lainnya memerlukan beberapa hari. Ada tiga isu fundamental dalam
penyelesaian sengketa pemilu, yaitu: (1) Validitas hasil, dan dengan demikian
hak untuk menguji atau menggugat hasil pemilu; (2) Tindakan administratif dari
para penyeneggara pemilu untuk memperbaiki atau menyelesaikan suatu masalah,
yang dipersoalkan oleh para pencari keadilan yang hak-hak pemilu dilanggar; dan
(3) Tuntutan pidanabagi mereka yang melakukan tindak pidana pada proses pemilu.
D. Persoalan Dalam Sengketa Pemilu di
Indonesia
Satu masalah penting yang berpotensi
mengganggu pemilu adalahpenyelesaian sengketa pemilu. Ada beberapa problem
besar menyangkutsengketa pemilu (termasuk pemilu kepala daerah): pertama,
banyak pihaktidak mengerti sengketa pemilu; kedua, banyak energi
dihabiskan untukberperkara sementara hasilnya amat minim; dan ketiga,
ketidakadilan yangterlembaga.[6]
Pertama,
jika dicermati, terlampau banyaknya permohonan yang diajukan keMahkamah Konstitusi
(MK) dan Mahkamah Agung (MA) adalah akibat tidak dimengertinya dasar gugatan
yang harus diajukan. Banyak pelanggaran dansengketa dalam tahapan pemilu yang
semestinya diselesaikan Panwaslu ataupenegak hukum justru diajukan ke lembaga
yudikatif Dalam permohonan sengketa hasil pemilu atau pilkada, ternyata
parapemohon memasukkan pelanggaran-pelanggaran administrasi, tindak
pidanapemilu, dan sengketa dalam tahapan pemilu sebagai dasar gugatan.
Padahalketiga hal itu bukan wewenang MK atau MA untuk menyelesaikannya.Untuktindak
pidana pemilu (election offences), tindak pidana pemilu diselesaikanoleh
sistem peradilan pidana (kepolisian, penuntut umum, dan pengadilan).Pelanggaran
administrasi seharusnya diselesaikan oleh KPU atau KPUD.Sementara sengketa
dalam proses atau tahapan pemilu diselesaikan olehBawaslu dan Panwaslu.
Sayangnya, keputusan Panwaslu atau Bawaslu meskidisebut final dan mengikat,
kerap kali tidak sekuat putusan lembaga yudikatif(sehingga kerap
diabaikan).Sedangkan yang dimaksud dengan sengketa hasil pemilu ini adalah
sengketaterhadap keputusan KPU atau KPUD menyangkut hasil pemilu. Sengketahasil
pemilu ini, sayangnya dibatasi hanya sengketa mengenai kesalahan
penghitungan yang dilakukan oleh KPU
atau KPUD. Dalam konteks pemilu,MK berwenang menyelesaikan.Dalam praktiknya,
semua masalah hukum itudimasukkan dalam permohonan. Tidak heran mayoritas
permohonan di MKdiputus ”tidak dapat diterima” atau ”ditolak”.Problem kedua
adalah terlalu banyaknya kasus pemilu. Berdasar catatanPemilu Legislatif 2009,
dari 627 kasus yang dimohonkan ke MK, hanya 68yang permohonannya dinyatakan
diterima (sekitar 10 perssen), hal yangsama juga kurang lebih terjadi pada
Pemilu 2004.
Begitu juga denganpilkada.Apa maknanya?
Kita membuang-buang energi terlalu besar untukberperkara padahal dasar
gugatannya tidak tepat.Meski demikian, karena halitu merupakan hak, dan bukan
merupakan suatu kesimpulan bahwa pemilutelah gagal karena banyaknya gugatan;
kita pun tidak bisa menolak hak itu.Ada yang berdalih gugatan diajukan untuk
pembelajaran politik. Akan tetapiPenulis khawatir, sebenarnya penggugat tidak
mengerti apa yang bisadigugat dan apa yang tidak. Mungkin pula hal itu
merupakan pelampiasankekecewaan atas kekalahan.Padahal banyak energi dan biaya
yang terbuanguntuk itu.Mengapa para pihak tidak menahan diri, hanya menggugat
jikayakin dasar gugatannya tepat dan berpotensi kuat untuk menang?
Tradisimenghormati kemenangan pihak lain belum melembaga, kecuali di
beberapadaerah saja.Haruskah gugatan pemilu dibatasi dengan deposit yang besar
(seperti dibeberapa negara) atau dibatasi dengan selisih suara (misalnya di
bawah 2persen)? Ketentuan itu dimaksudkan agar dunia peradilan dan
masyarakattidak disibukkan dengan perselisihan pemilu. Namun, hal itu
memangsalah satu pilihan, yang terpenting adalah kesadaran para kandidat
atauparpol untuk menghormati dan mengakui kemenangan pihak lain dan
jugapemahaman tentang makna sengketa hasil pemilu.[7]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Salah
satu ciri negara demokrasi adalah dilaksanakan pemilihan umum dalam waktu-waktu
tertentu.Secara konseptual
terdapat dua mekanisme yang dapat dilakukan untuk menciptakan pemilu yang bebas
dan adil.
Pemilu membawa
pengaruh besar terhadap sistem politik suatu Negara, melalai pemilu masyarakat
berkesempatan berpartisipasi dengan memunculkan para calon pemimpin.Perselisihan
hasil pemilu atau yang lebih dikenal dengan istilah sengketa.Hasil pemilu
adalah perselisihan antara peserta pemilu dan KPU sebagai penyelenggara pemilu
mengenai penetapan secara nasional.Perkembangan dalam arti perluasan alasan
atau dasar gugatan dalam perselisihan atau sengketa hasil pemilu tampaknya
perlu lebih diperkuat di dalam UU Pemilu atau revisi UU Pemilu ke depan. Dalam
pembahasan UU Pemilu yang akan datang hal-hal terkait sengketa pemilu ini mesti
dibahas secara mendalam, sebagai ketentuan yang akan diikuti di dalam
penyelesaian sengketa, baik dalam proses maupun sengketa hasil pemilu.
B. Saran
Berdasarkan
hal tersebut diatas sudahlah pasti Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu
Mahkamah yang paling tinggi bersama Mahkamah Agung , hendaklah pemerintah
seperti Presiden dan/ atau Wakil Presiden tidak melakukan hal-hal yang membuat
kesalahan yang tidak bertanggung jawab karena Mahkamah Konstitusi akan menindak
tegasnya.
DAFTAR PUSTAKA
Huda, Ni’matul.
2009.Hukum Tata Negara Indonesia.Jakarta
: Rajawali Pers.
Mulyosudarmo, Suewoto.2004. Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui Perubahan kontitusi.Malang :
Asosiasi Pengajar
Kusnardi,
moh.dkk.1983.Pengantar Tata Negara
Indonesia.Jakarta : Sastra Hudaya.
http ://Buku_16
Penanganan Sengketa Pemilu.web.pdf
Triwulan Tutik,Titik.2011. Konstruk Hukum Tata Negara Indonesia.Jakarta : Kencana
[1]Moh Kusnadi,dkk. Pengantar Hukum Tata Negara.(Jakarta :
Sastra Hudaya, 1983).,328-329.
[2]Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia
Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Kencana, 2011)., 332-335
[4]Suewoto mulyosudarmo. Pembaharuan melalui perubahan kontitusi.(malang:
asosiasi pengajar,2004).,245.
[5] Ibid .,336
[7]Ibid.,web,pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar