MAKALAH
PENGANTAR TATA HUKUM INDONESIA
“Menggagas Hukum Pidana
Nasional”
Pembimbing: H. NUR
SOLIKIN, S.Ag., MH
Kelompok 3
Nurun Na’em :083131015
Moh. Muhtarom Arroisi :083131014
Muhammad Hasyim :083131016
Nur M Nafis :083131019
Alfiatus Zahro :083131021
JURUSAN SYARI’AH PRODI AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Apakah hukum pidana itu ? Pertanyaain
ini sesungguhnya sangat sulit untuk di jawab seketika karena hukum pidana itu
mempunyai banyak segi, yang masing-masing mempunyai arti sendiri-sendiri. Lagi
pula ruang lingkup pemgertian hukum pidana itu dapat bersifat luas dan dapat
pula bersifat sempit.Oleh karena itu perlu di sebut terlebih dahulu segi-segi
yang di maksud baru kemudian pengertian serta ruang lingkupnya.
Sebagaiamana berupa
jenis-jenis yang berupa inti pokok dari gagasan hukum pidana nasional
indonesia, dan yang merupakan bentuk keseuaian antara asas-asas gagasan. Dari
sinilah dapat ditemukan makna sejarah hukum nasisonal di indonesia dan cakupan
tersebut mengantarkan terbentuknya gagasan nasional yang sempurna dan
terperinci lebih jelas.
Didalam gagasan tersebut
banyak hal yag mengandung pengertian-pengertian hukum nasional sebelumnya,
sampai terbentuk gagasan hukum nasional. Diamana awal dari hukum tersebut
sedikit banyak mengambil dari hukum negara-negara penjajah yang terdahulu, yang
kurun masanya sangatlah lama sehingga hukum merekapun tertanam dinegara
indonesia sampai sekarang. Sehingga perlu adanya sebuah gagasan nasional agar
asas-asas hukum murni negara kita tetap dijadikan landasan hukum pertama kita
dalam gagsan hukum nasional.
B.
Rumusan Masalah
a.
Apakah
Pengertian Hukum Pidana ?
b.
Apa Saja
Bentuk dan Jenis-Jenis Hukum Pidana?
c.
Bagaimana
Menggagas Hukum Pidana Nasional?
d.
Bagaimana sejarah hukum pidana di Indonesia pada zaman dahulu?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hukum Pidana
Sarjana hukum
Indonesia membedakan istilah hukuman dan pidana yang dalam bahasa belanda hanya
di kenal satu istilah untuk keduanya, yaitu straf.Istilah hukuman adalah
istilah umum untuk segala macam sanksi baik perdata, administrative, disiplin
dan pidana. Sedangkan istilah pidana. Sedangkan istilah pidana di artikan sempit yang
berkaitan dengan hukum pidana.
Pidana merupakan
karakteristik hukum pidana yang membedakannya dengan hukum perdata. Dalam
gugatan perdata pada umumnya, pertanyaan timbul mengenai berapa besar jika ada,
tergugat telah merugikan penggugat dan kemudian pemulihan apa jika ada yang
sepadan untukmengganti kerugian penggugat. Dalam perkara pidana, sebaliknya,
seberapa jauh terdakwah telah merugikan masyarakat dan pidana apa yang perlu di
jatuhkan kepada terdakwa karena telah melanggar hukum (pidana).
Apakah
pidana itu? Tujuan hukum pidana tidak melulu di capai dengan pengenaan pidana,
tetapi merupakan upaya represif yang kuat berupa tindakan-tindakan
pengamanan.Perlu pula di bedakan antara pengertian pidana dan tindakan (maatregel).
Pidana di pandang
sebagai suatu nestapa yang di kenakan kepada pembuat karena melakukan suatu
delik.Ini bukan merupakan tujuan akhir tetapi tujuan terdekat.Inilah perbedaan
antara pidana dan tindakan karena tindakan dapat berupa nestapa juga tetapi
bukan tujuan.Tujuan akhir pidana dan tindakan dapat menjadi satu, yaitu
memperbaiki pembuat.Jika seorang anak di masukkan ke pendidikan paksa maksudnya
oalah untuk memperbaiki tingkah lakuknya yang buruk.
B.
Bentuk dan Jenis-Jenis Pidana
Jenis pidana
tercantum di dalam pasal 10 KUHP.Jenis pidana ini berlaku juga bagi delik yang
tercantum di luar KHUP, kecuali ketentuan undang-undang itu menyimpang (pasal
103 KUHP).Jenis pidana ini di bedakan antara pidana pokok dan pidana
tambahan.Pidana tambahan hanya di jatuhkan jika pidana pokok di jatuhkan,
kecuali dalam hal tertentu (lihat pada uraian pidana tambahan).[1]
Pidana itu ialah :
a)
Pidana
pokok
1.
Pidana
mati
2.
Pidana
penjara
3.
Pidana
kurungan
4.
Pidana
denda
5.
Pidana
tutupan (KUHP terjemahan BPHN, berdasarkan UU No.20 tahun 1946)
b)
Pidana
tambahan
1.
Pencabbutan
hak-hak tertentu
2.
Perampasan
barang-barang tertentu
3.
Pengumuman
putusan hakim
Ketentuan tentang
jenis pidana ini berbeda dengan yangdi tirunya, yaitu pasal 9 Wvs Belanda, yang
pada pidana pokok tidak terdapat pidana mati (sudah di hapus sejak tahun 1870).
Di Indonesia bahkan jumlah delik yang di ancam pidana mati semakin banyak. Lagi
pula rata-rata ancaman pidana penjara di dalam KUHP Indonesia lebih berat
dengan yang tercantum di dalam Wvs Belanda. Pencurian misalnya di dalam KUHP
Indonesia di ancam dengan pidana maksimum 5 tahun penjara sedangkan di dalam Wvs
Belanda hanya 4 tahun.
Selanjutnya pada
pidana tambahan Wvs Belanda memuat 4 jenis,[2]
termasuk pada urutan kedua “penempatan pada tempat kerja negara”.
Jenis pidana dalam
RUU-KUHP baru menjadi lain, sesuai dengan perkembangan system pemidanaan, yang
tersebut dalam pasal 59, yaitu :
1.
Pidana
pokok
Ke-1 pidana penjara
Ke-2 pidana tutupan
Ke-3 pidana pengawasan
(control)
Ke-4 pidana denda
Ke-5 pidana kerja social
(community service)
2.
Urutan
pidana pokok di atas menentukan berat ringannya pidana. Pidana mati di atur di
dalam pasal berikutnya, pasal 59 yang mengatakan pidana mati bersifat khusus.
Pidana tambahan juga di
atur di dalam pasal lain, yaitu pasal 60, sebagai berikut :
3.
Pidana
tambahan
Ke-1 pencabutan hak-hak
tertentu
Ke-2 perampasan
barang-barang tertentu dan tagihan
Ke-3 pengumuman putusan
hakim
Ke-4 pembayaran ganti
kerugian
Ke-5 pemenuhan kewajiban
adat
4.
Pidana
tambahan hanya dapat di jatuhkan apabila tercantum secara tegas dalam perumusan
tindak pidana.
5.
Pidana
tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat dan pencabutan hak yang di peroleh
komporasi dapat di jatuhkan oleh hakim sesuai dengan kebutuhan walaupun tidak
tercantum dalam perumusan tindak pidana.
6.
Pidana
tambahan untuk percobaan dan pembantuan adalah sama dengan tindak pidananya.
C.
Rincian Pidana Adalah Sebagai Berikut: [3]
1. Pidana mati
Kalau di Negara lain satu persatu menghapus
pidana mati, maka sebaliknya terjadi di Indonesia. Semakin banyak delik yang di
ancam dengan pidana mati. Delik yang di ancam dengan pidana mati di dalam KUHP
sudah menjadi 9 buah, yaitu:
a.
Pasal 104
KHUP
b.
Pasal 111
ayat (2) KUHP
c.
Pasal 124
ayat (1) KUHP
d.
Pasal 124
bis KUHP
e.
Pasal 40
ayat (30) KUHP
f.
Pasal 340
KUHP
g.
Pasal 365
ayat (4) KUHP
h.
Pasal 444
KUHP
i.
Pasal 479
k ayat (2) dan pasal 479 o ayat (2)
KUHP.
Di luar KUHP juga tercantum pidana mati,
seperti pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 (prp) 1959 yang memperberat
ancaman pidana delik ekonomi jika “dapat menimbulkan kekacauan perekonomian
dalam masayarakat”, Undang-Undang pemberantasan kegiatan subversi (UU No. 11 (pnps)
1963), Undang-Undang Tenaga Atom (UU No.31 tahun1964) Undang-Undang Narkotika
(UU No.9 tahun 1976).
Beberapa Negara telah mencabut pidana mati
seperti brazil tahun1979, Republik Federasi Jerman tahun 1949, Kolombia tahun
1919, Kosta Rika tahun1882, Denmark tahun 1978, Dominika tahun 1924, Ekuador
tahun 1897, Fiji tahun 1979, finlandia tahun 1972, Honduras tahun 1965,
Luxemburg tahun 1979, norwegia tahun 1979, Austria tahun 1968, Portugal tahun1977,
Uruguay tahun 1907, Venezuela tahun 1863, eslandia tahun 1928, swedia tahun
1973, swis tahun 1973, terakhir prancis juga mengahapusnya, sedangkan belgia
juga tercantum dalam KUHP tetapi tidak pernah di laksanakan, mungkin jika ada[4]
perang, seperti perang Dunia II.
2. Pidana Penjara
Pidana penjara adalah bentuk pidana yang
berupa kehilangan kemerdekaan.Pidana kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya
dalam bentuk pidana penjara, tetapi jugaberupa pengasingan, misalnya di rusia
pengasingan ke Siberia dan juga berupa pembuangan ke seberang lautan, misalnya
dahulu pembuangan penjahat-penjahat Inggris ke Australia.
Pada zaman colonial, di Indonesia di kenal
juga ssistem pengasingan yang di dasarkan pada hak istimewa gubernur jenderal,
mislanya pengasingan hatta dan syahrir ke Boven Digoel kemudian ke niera,
pengasingan sukarnoke Endeh kemudian ke Bengkulu.
Jadi, dapat dikatakan bahwa pidana penjara
pada dewasa ini merupakan bentuk utama dan umum dari pidana kehilangan
kemerdekaan.Dahulu kala pidana penjara tidak di kenal di Indonesia (hukum
adat), yang di kenal adalah pidana pembuangan, pidana badan berupa emotongan
anggota badan atau di cambuk, pidana mati dan pidana denda atau berupa
pembayaran ganti kerugian.
Pidana penjara bervariasi dari pidana
sementara minimal 1 tahun sampai pidana penjara seumur hidup.Pidana seumur
hidup hanya tercantum di mana ada ancaman pidana mati (pidana mati atau seumur
hidup atau pidana penjara dua puluh tahun).Jadi, pada umumnya pidana penjara
maksimum ialah 15 tahun.Pengecualian terdapat di luar KUHP, yaitu dalam
Undang-Undang pemberantasan tindak pidana korupsi (UU No.3 tahun1971), maksimum
ialah pidana penjara seumur hidup tanpa ada pidana mati.
Keberatan terhadap pidana seumur hidup jika
di hubungkan dengan tujuan pemidanaan, yaitu untuk memperbaiki terpidana supaya
menjadi anggota masyarakat yang berguna, tidak lagi sesuai dan dapat di
terima.Pidana seumur hidup harus di kaitkan dengan tujuan pemidanaan dalam arti
pembalasan terhadap terpidana atau bertujuan menyingkirkan terpidana dari
masyarakat supaya masyarakat aman dari ancaman perbuatan seperti di[5]
lakukan terpidana.
Oleh karena itu pula, ada kemungkinan orang
yang telah di jatuhi pidana seumur hidup dan telah di kuatkan dengan penolakan
grasinya akan berbuat semaunya di dalam penjara, karena mereka pikir bagaimana
ia berbuat baik, tidak akan mengalami pembebasan. Penulis melihat sendiri
betapa jauh perbedaan kamar-kamar terpidana biasa dengan mereka yang di pidana
mati dan seumur hidup, terutama narapidana bekas G 30 S/PKI yang enggan
membersihkan kamarnya.
Pidana penjara di sebut pidana hilang kemerdekaan,
bukan saja dalam arti sempit bahwa ia tidak merdeka bepergian, tetapi juga
narapidana itu kehilangan hak-hak tertentu, seperti:
1) Hak untuk memilih dan di pilih. Tentang hal ini
di lihat UU pemilihan umum. Di negara liberal pun demikian pula. Alasannya
ialah agar kemurnian pemilihan terjamin, bebas dari unsur-unsur immoral dan
perbuatan-perbuatan yang tidak jujur.
2) Hak untuk memangku jabatan publik. Alasannya
ialah agar publik bebas dari perlakuan manusia yang tidak baik.
3) Hak untuk bekerja pada perusahaan-perusahaan.
Dalam hal ini telah di praktekkan pengendoran dalam batas-batas tertentu.
4) Hak untuk mendapat perizinan-perizinan
tertentu. Misalnya saja izin usaha, izin praktek (seperti dokter, advokat,
notaris dan lain-lain).
5) Hak untuk mengadakan asuransi hidup.
6) Hak untuk tetap dalam ikatan perkawinan.
Pemenjaraan merupakan salah satu alasan untuk meminta perceraian menurut hukum
perdata.
7)
Hak untuk
kawin. Meskipun adakalanya seseorang kawin sementara menjalani pidana penjara,
namun itu merupakan keadaan luar biasa dan hanya bersifat formalitas belaka.
Semua yang
tersebut di atas tidak termasuk dalam pidana tambahan[6],
namun secara praktis terbenih (inhaerent) dalam pemenjaraan itu sendiri, yang
kadang-kadang luput dari pikiran kita. Bahkan masih banyak hak-hak
kewarganegaraan lain yang hilang jika seseorang berada dalam penjara.
Misalnya hak
mendapatkan surat tanda penduduk, tidak akan di berikan selama seseorang di
pidana penjara. Oleh karena itu, maka tidak akan mungkin seorang narapidana
mendapat surat keterangan berkelakuan baik., sedangkan surat demikian merupakan
syarat penting dalam kehidupan di indonesia.
Begitu pula
sesudah lepas dari penjara, masih juga banyak masalah yang harus di hadapi oleh
bekas narapidana itu.Misalnya masih ada persyaratan dalam memperoleh fasilitas
tertentu, seperti keterangan “tidak pernah di nara pidana”.
Untuk
menghindari pengaruh-pengaruh buruk dari sistem pemenjaraan, terutama bagi yang
di ancam pidana penjara yang tidak berat (tidak berlangsung lama), maka di
berbagai negeri telah di pikirkan usaha-usaha untuk mengganti pidana penjara
itu dengan alternatif lain.
Pada uraian mengenai pidana denda di belakang di katakan bahwa di negeri
Belanda telah di berlakukan ketentuan baru yang menyatakan bahwa hakim dapat
mengganti pidana penjara ringan dengan pidana denda, walaupun ancaman pidana
denda tidak tercantum dalam ketentuan pidana yang bersangkutan.
Kebijaksanaan demikian sejajar dengan usaha agar pemenjaraaan yang singkat
tidak di alami terpidana yang melakukan delik ringan untuk menghindari pengaruh
buruk yang mungkin di peroleh di dalam penjara.
Penjahat-penjahat yang melakukan delik ringan dapat berguru pada penjahat
kawakan sehingga justru sesudah keluar dari penjara, mereka akan berubah akan
menjadi penjahat ulung yang berbahaya bagi masyarakat. Dengan demikian tujuan
pemasyarakatan tidak tercapai sama sekali.
Sejalan dengan pemikiran demikian, dapatlah di katakan bahwa[7] pemerintahlah yang menciptakan kesempatan luas
dalam memproduksi penjahat-penjahat ulung yang baru.
Dalam rancangan
KUHP Nasional juga telah di tiru ketentuan baru di Negeri Belanda tersebut. Di inggris
secara luas telah di lakukan pembatasan pemenjaraan (restriction on
imprisonment) yang di atur dalam criminal justice Act 1972 section 14 (1) yang
berbunyi:
“A Court shall not pass sentence of imprisonment on a
person who has attained the age of twenty-one and has not previously been
sencenced to imprisonment unless the court is of opinion that no other method
of dealing with him is appropiate … and shall take into account any information
… revelant to his character and his phisical and mental condition”.
Dengan ketentuan
tersebut orang yang belum berumur 21 tahun hanya di kirim ke penjara jika tidak
ada lagi data lain yang sesuai dengan dia.
Di samping itu,
di kenal pula sistem penundaan pidana yang di atur di dalam Criminal Justice
Act 1967 section 39 (3) yang mengatakan bahwa pengadilan berwenang menunda
pemenjaraan dalam keadaan tertentu, misalnya pidana dua tahun atau kurang atau
pidana tidak lebih dari tiga bulan (kecuali dalam hal delik kekerasan) dan terpidana tidak di pidana penjara sebelumnya, Ketentuan ini di hapus oleh
criminal justice act 1972.
Yang tesebut
terakhir mengatakan bahwa pengadilan yang menjatuhkan pidana penjara tidak
lebih dari dua tahun dapat menetapkan bahwa pidana itu tidak di jalankan,
kecuali terpidana dalam jangka waktu yang di tetapkan dalam penetapan itu tidak
kurang dari satu tahun atau lebih dari dua tahun sejak penetapan melakukan
delik lain di Britania Raya yang dapat di jatuhkan pidana dan oleh karena itu
pengadilan dapat menetapkan bahwa pidana penjara harus di tetapkan (section 11
(2).
Jika terpidana
di pidana lebih dari enam bulan dan pengadilan menetapkan untuk menunda
pelaksanaan pidana itu, maka oengadilan dapat menetapkan terpidana berada di
bawah supervisi pejabat supervisi (section 13(3).
Dapat pula hakim
menetapkan terpidana di masukkan ke dalam latihan[8]
borstal.KUHP Portugal, pengadilan khusus anak bagi yang berumur di atas 16
tahun dan di bawah 21 tahun.Jadi, berarti yang belum berumur 16 tahun tidak
dapat di tuntut.
D.
Sejarah Hukum Pidana Di Indonesia
Sebelum kedatangan
bangsa Eropa bangsa Indonesia telah memberlakukan hukum Pidana, pada masa
tersebut ialah masa kerajaan nusantara yang telah sudah mempunyai perangkat
aturan hukum.
Hukum tersebut disebut hukum adat(kebiasaan) yang
berlaku didalam masyarakat. Hukum pidana yan berlaku pada masa dahulu berbeda dengan hukum pidana modern. Hukum yang
ada pada zaman dahulu belum memegang teguh terhadap prinsip kodifikasi.
Hukum tersebut
lahir melalui suatu proses interaksi dalam masyarakat dan hukum pidana
adat yang ada pada masa tersebut berkembang sangat pesat dalam masyarakat. Jadi
pada masa itu bangsa Indonesia telah memberlakukan hokum pidana adat yang mayoritas
tidak tertulis dan bersifat local yang artinya hanya diberlakukan suatu wilayah adat
tertentu.
Tidak ada
perbedaan yang sangat mendasar antara hukum pidana dengan hukum perdata
(privaat). Perbedaan yang sangat mencolok berada pada hukum perdata yang
bersifat privat dan hukum pidana yang bersifat public yang berasal dari sistem
Eropa yang kemudian berkembang di Indonesia.
Pada dasarnya
segala persoalan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dahulu ditentukan
oleh aturan-aturan yang telah diwariskan secara turun-temurun. Di beberapa
wilayah tertentu hukum adat sangat kental dengan agama. Sebagai contoh;hokum adat yang
barada di aceh, Palembang dan ujung pandang yang sangat kental dengan nilai-nilai hukum Islamnya.
Begitu juga hukum
pidana adat Bali yang sangat terpengaruhi olehajaran ajarannya sehingga
mengalami persamaan dengan agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk pada
zaman tersebut. Pada sebagian umumnya hukum pidana adat tidak berwujud dalam
sebuah peraturan yang tertulis dan ada pula yang berbentuk tulisan.
Hukum pidana adat
ini dijaga melalui cerita dan perbincangan,sebagai contoh; dikenal adanya kitab
Kuntara Raja Niti yang berisi hukum adat lampung dan kitab Simbur Tjahaja yang
berisi hukum pidana adat Sumatera Selatandan Kitab Adigama yang berisi hukum
pidana adat Bali.
Pada masa
kedatangan bangsa eropa ke Indonesia,indonesia mengalami penjajahan. Bangsa
eropa yang pertama kali menjajah ialah Portugis kemudian Spanyol. Setelah itu selama
tiga setengah abad indonesia berada di bawah kepemimpinan belanda dan Indonesia
juga pernah mengalami pemerintahan dibawah kerajaan Inggris dan kekaisaran
Jepang.
Selama beberapa
kali pergantian kepemimpinan kekuasaan indonesia mengalami suatu perubahan besar yang
sangat signifikan. Hal tersebut disebabkan pola pikir hukum barat yang
sekuler dan realis yang ahkirnya menciptakan suatu konsep peraturan hukum baku
yang tertulis.
Pada masa ini
pemikiran secara rasional sedang berkembang sangat pesat sehingga menyebabkan peraturan
adat yang tidak tergantikan oleh peraturan-peraturan tertulis. Tercatat
beberapa peraturan yang dibuat oleh pemerintah kolonial belanda seperti statuta
batavia (statute van batavia).
Selama lebih dari
seratus tahun sejak KUHP belanda diberlakukan terhadap dua golongan warganegara
yang berbedadi Hindia Belanda.
Hingga pada
akhirnya terbentuklah KUHP yang berlaku bagi semua golongan sejak 1915. KUHP
tersebut menjadi sumber hukum pidana sampai dengan saat ini.Pembentukan KUHP
nasional ini sebenarnya bukan merupakan aturan hukum yang menjadi karya agung
bangsa.
Sebab KUHP yang
berlaku saat ini merupakan sebuah turunan dari Nederland Strafwetboek (KUHP
Belanda).Sudah menjadi konskwensi ketika berlaku asas konkordansi terhadap
peraturan perundang-undangan.
KUHP yang berlaku
di negeri Belanda sendiri merupakan turunan dari [9]code penal
perancis.Code penal menjadi rujukan tehadap terbentuknya peraturan pidanayang
berada di Belanda. Hal ini dikarenakan Belanda berdasarka perjalanan sejarah
merupakan wilayah yang berada dalam kekuasaan kekaisaranperancis.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Secara garis
besar, Hukum Pidana di Indonesia ini belum bisa keluar dari
pengaruh-pengaruh Hukum dari Negeri Belanda, secara tidak langsung saat
ini masih terjajah dalam segi Hukum yang
kita Anut. Hal ini karna telah KUHP kita masih banyak mengadopsi
dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie.
Hukum Pidana dibentuk dengan tujuan untuk
masyarakat agar dapat dipertahankan segala kepentingan hukum yang dilindungi
dan terjaminnya kedamaian dan ketertiban.
Sumber Hukum Pidana dapat dibedakan atas
sumber hukum tertulis dan sumber hukum yang tidak tertulis.ada beberapa
Undang-undang yang mengatur tindak pidana khusus yang dibuat setelah kemerdekaan.
B.
SARAN
Apabila ada sebuah
kesalahan dan ketidak sempurnaan baik dalam segi kepenulisan dan tata cara bahasa dalam
makalah ini kami mengharapkan kritik dan saran, agar kami bisa memperbaikinya
dikemudian hari demi terlaksanyanya karya dan tulisan kami yang lainnya. Atas
kritik dan sarannya kami sangat mengharapkan untuk kebaikan makalah ini dan
kami semua.
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah, Andi. 2006. Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika.
Hadisoeprapto2008, Pengantar tata Hukum Indonesia, Yogyakarta : Liberty.
Hamzah, Andi, 2010, Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.
http//hukumpidana.bphn.go.id/sejarah-kuhp
Tidak ada komentar:
Posting Komentar