Selasa, 02 Juni 2015

Menggagas Hukum Pidana Nasional


MAKALAH
PENGANTAR TATA HUKUM INDONESIA

Menggagas Hukum Pidana Nasional”

Pembimbing: H. NUR SOLIKIN, S.Ag., MH


 










Kelompok 3
Nurun Na’em                          :083131015
Moh. Muhtarom Arroisi          :083131014
Muhammad Hasyim                :083131016
Nur M Nafis                            :083131019
Alfiatus Zahro                         :083131021



JURUSAN SYARI’AH PRODI AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
 JEMBER



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Apakah hukum pidana itu ? Pertanyaain ini sesungguhnya sangat sulit untuk di jawab seketika karena hukum pidana itu mempunyai banyak segi, yang masing-masing mempunyai arti sendiri-sendiri. Lagi pula ruang lingkup pemgertian hukum pidana itu dapat bersifat luas dan dapat pula bersifat sempit.Oleh karena itu perlu di sebut terlebih dahulu segi-segi yang di maksud baru kemudian pengertian serta ruang lingkupnya.
Sebagaiamana berupa jenis-jenis yang berupa inti pokok dari gagasan hukum pidana nasional indonesia, dan yang merupakan bentuk keseuaian antara asas-asas gagasan. Dari sinilah dapat ditemukan makna sejarah hukum nasisonal di indonesia dan cakupan tersebut mengantarkan terbentuknya gagasan nasional yang sempurna dan terperinci lebih jelas.
Didalam gagasan tersebut banyak hal yag mengandung pengertian-pengertian hukum nasional sebelumnya, sampai terbentuk gagasan hukum nasional. Diamana awal dari hukum tersebut sedikit banyak mengambil dari hukum negara-negara penjajah yang terdahulu, yang kurun masanya sangatlah lama sehingga hukum merekapun tertanam dinegara indonesia sampai sekarang. Sehingga perlu adanya sebuah gagasan nasional agar asas-asas hukum murni negara kita tetap dijadikan landasan hukum pertama kita dalam gagsan hukum nasional.

B.  Rumusan Masalah
a.       Apakah Pengertian Hukum Pidana ?
b.      Apa Saja Bentuk dan Jenis-Jenis Hukum Pidana?
c.       Bagaimana Menggagas Hukum Pidana Nasional?
d.      Bagaimana sejarah hukum pidana di Indonesia pada zaman dahulu?



BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Hukum Pidana
Sarjana hukum Indonesia membedakan istilah hukuman dan pidana yang dalam bahasa belanda hanya di kenal satu istilah untuk keduanya, yaitu straf.Istilah hukuman adalah istilah umum untuk segala macam sanksi baik perdata, administrative, disiplin dan pidana. Sedangkan istilah pidana. Sedangkan istilah pidana di artikan sempit yang berkaitan dengan hukum pidana.
Pidana merupakan karakteristik hukum pidana yang membedakannya dengan hukum perdata. Dalam gugatan perdata pada umumnya, pertanyaan timbul mengenai berapa besar jika ada, tergugat telah merugikan penggugat dan kemudian pemulihan apa jika ada yang sepadan untukmengganti kerugian penggugat. Dalam perkara pidana, sebaliknya, seberapa jauh terdakwah telah merugikan masyarakat dan pidana apa yang perlu di jatuhkan kepada terdakwa karena telah melanggar hukum (pidana).
Apakah pidana itu? Tujuan hukum pidana tidak melulu di capai dengan pengenaan pidana, tetapi merupakan upaya represif yang kuat berupa tindakan-tindakan pengamanan.Perlu pula di bedakan antara pengertian pidana dan tindakan (maatregel).
Pidana di pandang sebagai suatu nestapa yang di kenakan kepada pembuat karena melakukan suatu delik.Ini bukan merupakan tujuan akhir tetapi tujuan terdekat.Inilah perbedaan antara pidana dan tindakan karena tindakan dapat berupa nestapa juga tetapi bukan tujuan.Tujuan akhir pidana dan tindakan dapat menjadi satu, yaitu memperbaiki pembuat.Jika seorang anak di masukkan ke pendidikan paksa maksudnya oalah untuk memperbaiki tingkah lakuknya yang buruk.

B.       Bentuk dan Jenis-Jenis Pidana
Jenis pidana tercantum di dalam pasal 10 KUHP.Jenis pidana ini berlaku juga bagi delik yang tercantum di luar KHUP, kecuali ketentuan undang-undang itu menyimpang (pasal 103 KUHP).Jenis pidana ini di bedakan antara pidana pokok dan pidana tambahan.Pidana tambahan hanya di jatuhkan jika pidana pokok di jatuhkan, kecuali dalam hal tertentu (lihat pada uraian pidana tambahan).[1] Pidana itu ialah :

a)    Pidana pokok
1.        Pidana mati
2.        Pidana penjara
3.        Pidana kurungan
4.        Pidana denda
5.        Pidana tutupan (KUHP terjemahan BPHN, berdasarkan UU No.20 tahun 1946)
b)   Pidana tambahan
1.        Pencabbutan hak-hak tertentu
2.        Perampasan barang-barang tertentu
3.        Pengumuman putusan hakim
Ketentuan tentang jenis pidana ini berbeda dengan yangdi tirunya, yaitu pasal 9 Wvs Belanda, yang pada pidana pokok tidak terdapat pidana mati (sudah di hapus sejak tahun 1870). Di Indonesia bahkan jumlah delik yang di ancam pidana mati semakin banyak. Lagi pula rata-rata ancaman pidana penjara di dalam KUHP Indonesia lebih berat dengan yang tercantum di dalam Wvs Belanda. Pencurian misalnya di dalam KUHP Indonesia di ancam dengan pidana maksimum 5 tahun penjara sedangkan di dalam Wvs Belanda hanya 4 tahun.
Selanjutnya pada pidana tambahan Wvs Belanda memuat 4 jenis,[2] termasuk pada urutan kedua “penempatan pada tempat kerja negara”.
Jenis pidana dalam RUU-KUHP baru menjadi lain, sesuai dengan perkembangan system pemidanaan, yang tersebut dalam pasal 59, yaitu :
1.      Pidana pokok
Ke-1 pidana penjara
Ke-2 pidana tutupan
Ke-3 pidana pengawasan (control)
Ke-4 pidana denda
Ke-5 pidana kerja social (community service)
2.      Urutan pidana pokok di atas menentukan berat ringannya pidana. Pidana mati di atur di dalam pasal berikutnya, pasal 59 yang mengatakan pidana mati bersifat khusus.
Pidana tambahan juga di atur di dalam pasal lain, yaitu pasal 60, sebagai berikut :
3.      Pidana tambahan
Ke-1 pencabutan hak-hak tertentu
Ke-2 perampasan barang-barang tertentu dan tagihan
Ke-3 pengumuman putusan hakim
Ke-4 pembayaran ganti kerugian
Ke-5 pemenuhan kewajiban adat
4.      Pidana tambahan hanya dapat di jatuhkan apabila tercantum secara tegas dalam perumusan tindak pidana.
5.      Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat dan pencabutan hak yang di peroleh komporasi dapat di jatuhkan oleh hakim sesuai dengan kebutuhan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana.
6.      Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan adalah sama dengan tindak pidananya.

C.    Rincian Pidana Adalah Sebagai Berikut: [3]
1.      Pidana mati
Kalau di Negara lain satu persatu menghapus pidana mati, maka sebaliknya terjadi di Indonesia. Semakin banyak delik yang di ancam dengan pidana mati. Delik yang di ancam dengan pidana mati di dalam KUHP sudah menjadi 9 buah, yaitu:
a.       Pasal 104 KHUP
b.      Pasal 111 ayat (2) KUHP
c.       Pasal 124 ayat (1) KUHP
d.      Pasal 124 bis KUHP
e.       Pasal 40 ayat (30) KUHP
f.       Pasal 340 KUHP
g.      Pasal 365 ayat (4) KUHP
h.      Pasal 444 KUHP
i.        Pasal 479 k ayat (2) dan pasal 479  o ayat (2) KUHP.
Di luar KUHP juga tercantum pidana mati, seperti pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 (prp) 1959 yang memperberat ancaman pidana delik ekonomi jika “dapat menimbulkan kekacauan perekonomian dalam masayarakat”, Undang-Undang pemberantasan kegiatan subversi (UU No. 11 (pnps) 1963), Undang-Undang Tenaga Atom (UU No.31 tahun1964) Undang-Undang Narkotika (UU No.9 tahun 1976).
Beberapa Negara telah mencabut pidana mati seperti brazil tahun1979, Republik Federasi Jerman tahun 1949, Kolombia tahun 1919, Kosta Rika tahun1882, Denmark tahun 1978, Dominika tahun 1924, Ekuador tahun 1897, Fiji tahun 1979, finlandia tahun 1972, Honduras tahun 1965, Luxemburg tahun 1979, norwegia tahun 1979, Austria tahun 1968, Portugal tahun1977, Uruguay tahun 1907, Venezuela tahun 1863, eslandia tahun 1928, swedia tahun 1973, swis tahun 1973, terakhir prancis juga mengahapusnya, sedangkan belgia juga tercantum dalam KUHP tetapi tidak pernah di laksanakan, mungkin jika ada[4] perang, seperti perang Dunia II.
2.      Pidana Penjara
Pidana penjara adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan.Pidana kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya dalam bentuk pidana penjara, tetapi jugaberupa pengasingan, misalnya di rusia pengasingan ke Siberia dan juga berupa pembuangan ke seberang lautan, misalnya dahulu pembuangan penjahat-penjahat Inggris ke Australia.
Pada zaman colonial, di Indonesia di kenal juga ssistem pengasingan yang di dasarkan pada hak istimewa gubernur jenderal, mislanya pengasingan hatta dan syahrir ke Boven Digoel kemudian ke niera, pengasingan sukarnoke Endeh kemudian ke Bengkulu.
Jadi, dapat dikatakan bahwa pidana penjara pada dewasa ini merupakan bentuk utama dan umum dari pidana kehilangan kemerdekaan.Dahulu kala pidana penjara tidak di kenal di Indonesia (hukum adat), yang di kenal adalah pidana pembuangan, pidana badan berupa emotongan anggota badan atau di cambuk, pidana mati dan pidana denda atau berupa pembayaran ganti kerugian.
Pidana penjara bervariasi dari pidana sementara minimal 1 tahun sampai pidana penjara seumur hidup.Pidana seumur hidup hanya tercantum di mana ada ancaman pidana mati (pidana mati atau seumur hidup atau pidana penjara dua puluh tahun).Jadi, pada umumnya pidana penjara maksimum ialah 15 tahun.Pengecualian terdapat di luar KUHP, yaitu dalam Undang-Undang pemberantasan tindak pidana korupsi (UU No.3 tahun1971), maksimum ialah pidana penjara seumur hidup tanpa ada pidana mati.
Keberatan terhadap pidana seumur hidup jika di hubungkan dengan tujuan pemidanaan, yaitu untuk memperbaiki terpidana supaya menjadi anggota masyarakat yang berguna, tidak lagi sesuai dan dapat di terima.Pidana seumur hidup harus di kaitkan dengan tujuan pemidanaan dalam arti pembalasan terhadap terpidana atau bertujuan menyingkirkan terpidana dari masyarakat supaya masyarakat aman dari ancaman perbuatan seperti di[5] lakukan terpidana.
Oleh karena itu pula, ada kemungkinan orang yang telah di jatuhi pidana seumur hidup dan telah di kuatkan dengan penolakan grasinya akan berbuat semaunya di dalam penjara, karena mereka pikir bagaimana ia berbuat baik, tidak akan mengalami pembebasan. Penulis melihat sendiri betapa jauh perbedaan kamar-kamar terpidana biasa dengan mereka yang di pidana mati dan seumur hidup, terutama narapidana bekas G 30 S/PKI yang enggan membersihkan kamarnya.
Pidana penjara di sebut pidana hilang kemerdekaan, bukan saja dalam arti sempit bahwa ia tidak merdeka bepergian, tetapi juga narapidana itu kehilangan hak-hak tertentu, seperti:
1)      Hak untuk memilih dan di pilih. Tentang hal ini di lihat UU pemilihan umum. Di negara liberal pun demikian pula. Alasannya ialah agar kemurnian pemilihan terjamin, bebas dari unsur-unsur immoral dan perbuatan-perbuatan yang tidak jujur.
2)      Hak untuk memangku jabatan publik. Alasannya ialah agar publik bebas dari perlakuan manusia yang tidak baik.
3)      Hak untuk bekerja pada perusahaan-perusahaan. Dalam hal ini telah di praktekkan pengendoran dalam batas-batas tertentu.
4)      Hak untuk mendapat perizinan-perizinan tertentu. Misalnya saja izin usaha, izin praktek (seperti dokter, advokat, notaris dan lain-lain).
5)      Hak untuk mengadakan asuransi hidup.
6)      Hak untuk tetap dalam ikatan perkawinan. Pemenjaraan merupakan salah satu alasan untuk meminta perceraian menurut hukum perdata.
7)      Hak untuk kawin. Meskipun adakalanya seseorang kawin sementara menjalani pidana penjara, namun itu merupakan keadaan luar biasa dan hanya bersifat formalitas belaka.

Semua yang tersebut di atas tidak termasuk dalam pidana tambahan[6], namun secara praktis terbenih (inhaerent) dalam pemenjaraan itu sendiri, yang kadang-kadang luput dari pikiran kita. Bahkan masih banyak hak-hak kewarganegaraan lain yang hilang jika seseorang berada dalam penjara.
Misalnya hak mendapatkan surat tanda penduduk, tidak akan di berikan selama seseorang di pidana penjara. Oleh karena itu, maka tidak akan mungkin seorang narapidana mendapat surat keterangan berkelakuan baik., sedangkan surat demikian merupakan syarat penting dalam kehidupan di indonesia.
Begitu pula sesudah lepas dari penjara, masih juga banyak masalah yang harus di hadapi oleh bekas narapidana itu.Misalnya masih ada persyaratan dalam memperoleh fasilitas tertentu, seperti keterangan “tidak pernah di nara pidana”.
Untuk menghindari pengaruh-pengaruh buruk dari sistem pemenjaraan, terutama bagi yang di ancam pidana penjara yang tidak berat (tidak berlangsung lama), maka di berbagai negeri telah di pikirkan usaha-usaha untuk mengganti pidana penjara itu dengan alternatif lain.
Pada uraian mengenai pidana denda di belakang di katakan bahwa di negeri Belanda telah di berlakukan ketentuan baru yang menyatakan bahwa hakim dapat mengganti pidana penjara ringan dengan pidana denda, walaupun ancaman pidana denda tidak tercantum dalam ketentuan pidana yang bersangkutan.
Kebijaksanaan demikian sejajar dengan usaha agar pemenjaraaan yang singkat tidak di alami terpidana yang melakukan delik ringan untuk menghindari pengaruh buruk yang mungkin di peroleh di dalam penjara.
Penjahat-penjahat yang melakukan delik ringan dapat berguru pada penjahat kawakan sehingga justru sesudah keluar dari penjara, mereka akan berubah akan menjadi penjahat ulung yang berbahaya bagi masyarakat. Dengan demikian tujuan pemasyarakatan tidak tercapai sama sekali.
Sejalan dengan pemikiran demikian, dapatlah di katakan bahwa[7] pemerintahlah yang menciptakan kesempatan luas dalam memproduksi penjahat-penjahat ulung yang baru.
Dalam rancangan KUHP Nasional juga telah di tiru ketentuan baru di Negeri Belanda tersebut. Di inggris secara luas telah di lakukan pembatasan pemenjaraan (restriction on imprisonment) yang di atur dalam criminal justice Act 1972 section 14 (1) yang berbunyi:
“A Court shall not pass sentence of imprisonment on a person who has attained the age of twenty-one and has not previously been sencenced to imprisonment unless the court is of opinion that no other method of dealing with him is appropiate … and shall take into account any information … revelant to his character and his phisical and mental condition”.
Dengan ketentuan tersebut orang yang belum berumur 21 tahun hanya di kirim ke penjara jika tidak ada lagi data lain yang sesuai dengan dia.
Di samping itu, di kenal pula sistem penundaan pidana yang di atur di dalam Criminal Justice Act 1967 section 39 (3) yang mengatakan bahwa pengadilan berwenang menunda pemenjaraan dalam keadaan tertentu, misalnya pidana dua tahun atau kurang atau pidana tidak lebih dari tiga bulan (kecuali dalam hal delik kekerasan) dan   terpidana tidak di pidana penjara sebelumnya, Ketentuan ini di hapus oleh criminal justice act 1972.
Yang tesebut terakhir mengatakan bahwa pengadilan yang menjatuhkan pidana penjara tidak lebih dari dua tahun dapat menetapkan bahwa pidana itu tidak di jalankan, kecuali terpidana dalam jangka waktu yang di tetapkan dalam penetapan itu tidak kurang dari satu tahun atau lebih dari dua tahun sejak penetapan melakukan delik lain di Britania Raya yang dapat di jatuhkan pidana dan oleh karena itu pengadilan dapat menetapkan bahwa pidana penjara harus di tetapkan (section 11 (2).
Jika terpidana di pidana lebih dari enam bulan dan pengadilan menetapkan untuk menunda pelaksanaan pidana itu, maka oengadilan dapat menetapkan terpidana berada di bawah supervisi pejabat supervisi (section 13(3).
Dapat pula hakim menetapkan terpidana di masukkan ke dalam latihan[8] borstal.KUHP Portugal, pengadilan khusus anak bagi yang berumur di atas 16 tahun dan di bawah 21 tahun.Jadi, berarti yang belum berumur 16 tahun tidak dapat di tuntut.

D.      Sejarah Hukum Pidana Di Indonesia
Sebelum kedatangan bangsa Eropa bangsa Indonesia telah memberlakukan hukum Pidana, pada masa tersebut ialah masa kerajaan nusantara yang telah sudah mempunyai perangkat aturan hukum.
Hukum tersebut disebut hukum adat(kebiasaan) yang berlaku didalam masyarakat. Hukum pidana yan berlaku pada masa dahulu  berbeda dengan hukum pidana modern. Hukum yang ada pada zaman dahulu belum memegang teguh terhadap prinsip kodifikasi.
Hukum tersebut lahir melalui suatu proses interaksi dalam masyarakat dan  hukum pidana adat yang ada pada masa tersebut berkembang sangat pesat dalam masyarakat. Jadi pada masa itu bangsa Indonesia telah memberlakukan hokum pidana adat yang mayoritas tidak tertulis dan bersifat local yang artinya hanya diberlakukan suatu wilayah adat tertentu.
Tidak ada perbedaan yang sangat mendasar antara hukum pidana dengan hukum perdata (privaat). Perbedaan yang sangat mencolok berada pada hukum perdata yang bersifat privat dan hukum pidana yang bersifat public yang berasal dari sistem Eropa yang kemudian berkembang di Indonesia.
Pada dasarnya segala persoalan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dahulu ditentukan oleh aturan-aturan yang telah diwariskan secara turun-temurun. Di beberapa wilayah tertentu hukum adat sangat kental dengan agama. Sebagai contoh;hokum adat yang barada di aceh, Palembang dan ujung pandang yang sangat kental dengan nilai-nilai hukum Islamnya.
Begitu juga hukum pidana adat Bali yang sangat terpengaruhi olehajaran ajarannya sehingga mengalami persamaan dengan agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk pada zaman tersebut. Pada sebagian umumnya hukum pidana adat tidak berwujud dalam sebuah peraturan yang tertulis dan ada pula yang berbentuk tulisan.
Hukum pidana adat ini dijaga melalui cerita dan perbincangan,sebagai contoh; dikenal adanya kitab Kuntara Raja Niti yang berisi hukum adat lampung dan kitab Simbur Tjahaja yang berisi hukum pidana adat Sumatera Selatandan Kitab Adigama yang berisi hukum pidana adat Bali.
Pada masa kedatangan bangsa eropa ke Indonesia,indonesia mengalami penjajahan. Bangsa eropa yang pertama kali menjajah ialah Portugis kemudian Spanyol. Setelah itu selama tiga setengah abad indonesia berada di bawah kepemimpinan belanda dan Indonesia juga pernah mengalami pemerintahan dibawah kerajaan Inggris dan kekaisaran Jepang.
Selama beberapa kali pergantian kepemimpinan kekuasaan indonesia mengalami suatu perubahan besar yang sangat signifikan. Hal tersebut disebabkan pola pikir hukum barat yang sekuler dan realis yang ahkirnya menciptakan suatu konsep peraturan hukum baku yang tertulis.
Pada masa ini pemikiran secara rasional sedang berkembang sangat pesat sehingga menyebabkan peraturan adat yang tidak tergantikan oleh peraturan-peraturan tertulis. Tercatat beberapa peraturan yang dibuat oleh pemerintah kolonial belanda seperti statuta batavia (statute van batavia).
Selama lebih dari seratus tahun sejak KUHP belanda diberlakukan terhadap dua golongan warganegara yang berbedadi Hindia Belanda.
Hingga pada akhirnya terbentuklah KUHP yang berlaku bagi semua golongan sejak 1915. KUHP tersebut menjadi sumber hukum pidana sampai dengan saat ini.Pembentukan KUHP nasional ini sebenarnya bukan merupakan aturan hukum yang menjadi karya agung bangsa.
Sebab KUHP yang berlaku saat ini merupakan sebuah turunan dari Nederland Strafwetboek (KUHP Belanda).Sudah menjadi konskwensi ketika berlaku asas konkordansi terhadap peraturan perundang-undangan.
KUHP yang berlaku di negeri Belanda sendiri merupakan turunan dari [9]code penal perancis.Code penal menjadi rujukan tehadap terbentuknya peraturan pidanayang berada di Belanda. Hal ini dikarenakan Belanda berdasarka perjalanan sejarah merupakan wilayah yang berada dalam kekuasaan kekaisaranperancis.






BAB III
PENUTUP
A.  KESIMPULAN
Secara garis besar,  Hukum Pidana di Indonesia ini belum bisa keluar dari pengaruh-pengaruh Hukum dari Negeri Belanda, secara tidak langsung saat ini  masih terjajah dalam segi Hukum yang kita Anut. Hal ini karna telah  KUHP kita masih  banyak mengadopsi dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie.
Hukum Pidana dibentuk dengan tujuan untuk masyarakat agar dapat dipertahankan segala kepentingan hukum yang dilindungi dan terjaminnya kedamaian dan ketertiban.
Sumber Hukum Pidana dapat dibedakan atas sumber hukum tertulis dan sumber hukum yang tidak tertulis.ada beberapa Undang-undang yang mengatur tindak pidana khusus yang dibuat setelah kemerdekaan.
B.  SARAN
Apabila ada sebuah kesalahan dan ketidak sempurnaan baik dalam segi kepenulisan dan tata cara bahasa dalam makalah ini kami mengharapkan kritik dan saran, agar kami bisa memperbaikinya dikemudian hari demi terlaksanyanya karya dan tulisan kami yang lainnya. Atas kritik dan sarannya kami sangat mengharapkan untuk kebaikan makalah ini dan kami semua.
           










DAFTAR PUSTAKA


Hamzah, Andi. 2006. Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika.

Hadisoeprapto
2008, Pengantar tata Hukum Indonesia, Yogyakarta : Liberty.

Hamzah
, Andi, 2010, Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.

http//hukumpidana.bphn.go.id/sejarah-kuhp




[1] Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), 183
2 Andi hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika,2006)

[3] ibid
[4] ibid
[5] ibid
[6] ibid
[7] ibid
[8] ibid
http//hukumpidana.bphn.go.id/sejarah-kuhp

Tidak ada komentar:

Posting Komentar