Senin, 26 Desember 2016

PUISI BINGUNG TAK TERTAHANKAN



BINGUNG TAK TERTAHANKAN
By: Edi Purwanto
Maafkan diri ini Tuhan
Jangan biarkan diri ini kembali kelubang kesesatan
Kali ini hamba tengah bingung dengan apa yang hamba rasakan
Dan diri ini juga bingung dengan apa yang tengah Engkau rencanakan
Bukan maksud diri ini meragukan keagunganmu Tuhan
Tapi diri ini hanya butuh kepastian
Bukan hanya sekedar impian
Atau bahkan hanya sebuah khayalan
Oh Tuhan berilah jawaban
Yang bisa memberi  kepuasan
Maafkan diri ini Tuhan
Bukan bermaksud untuk memaksakan
Tapi diri ini butuh kepastian
Bukan hanya sekedar gambaran
Maafkan diri ini Tuhan
Bukan bermaksud untuk menghinakan
Percayalah pada diri ini Tuhan
Nama-Mu  akan selalu ku Agungkan
Namun diri ini memohon pada-Mu Tuhan
Biarkan diri ini selalu dalam ketenangan
Diri ini tak mengerti akan apa yang tengah mahlukmu pikirkan
Entah itu soal diri ini atau bukan
Hanya kepadamu diri memasrahkan
Segala apa yang menjadi urusan
MAKALAH
PERADILAN ANAK DALAM KASUS PIDANA MENURUT HUKUM KETATANEGARAAN INDONESIA
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Tata Hukum Indonesia
Dosen pembimbing oleh Bapak H. Nur Sholikin, S.Ag., M.H







Di susun oleh :
Kelompok 6

1.    NurmillahCahya Ningsih               083131033
2.    Ahmad Khoirun Nasikin               083131035
3.    Firdusi Sultoniyah Bulqis              083131036
4.    Moh. Ali Annuri                           083131037
5.    Kris Winarso                                 083131038
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
JEMBER
November 2014

BAB I
PENDAHULUAN
a)    Latar belakang
Pada akhir-akhir ini, di indonesia banyak sekali kejadian dan kasus yang menyangkut tentang anak, seperti kejadian bulan  ini yang marak di beritakan oleh media mulai dari televisi sampai koran, majalah bahkan video rekamanya tersebar melalui ponsel. Yaitu kejadian dimana segerombolan siswa sekolah dasar yang mengeroyok salah satu teman kelasnya hingga memar-memar.
Berbagai kasus di bidang kamtibmas yang melibatkan kelompok usia muda, tampak semakin menonjol dan menjurus pada tindak kriminal. Reaksi masyarakat terhadap gejala itupun bermunculan dan bervariasi sifatnya.
Secara garis besar reaksi tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua. Satu pihak menghendaki  agar pihak-pihak yang terlibat dalam peristiwa itu di tangani atas dasar hukum yang berlaku, dan pada pihak lain, menghendaki penanganan arif, yakni dengan cara memahami, memperhatikan kemudaan usia pelaku, kondisi psikososial yang menjadi faktor timbulnya gejala tersebut, serta dengan menerapkan pendekatan individual. Lebih jelasnya yakni satu sisi menuntut pola penindakan dan sisi yang lain menuntut pola pembinaan.
Bila dikaji dengan hukum pidana secara fungsional, dalam arti perwujudan dan bekerjanya hukum itu di masyarakat, pembicaraan masalah hukum pidana anak pada umumnya dan peradilan anak pada khususnya akan terarah pada tiga pokok masalah yaitu, hukum pidana anak materiil, hukum pidana anak formal, dan hukum pelaksanaan pidana anak. Untuk itu makalah ini kami buat untuk mengkaji tentang peradilan anak dalam kasus pidana menurut hukum ketata negaraan.
b)   Rumusan masalah
1.    Apa pengertian hukum?
2.    Apa undang-undang peradilan anak?
3.    Bagaimana proses peradilan di Indonesia?
4.    Bagaimana pelaksanaan pidana pada anak?
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian hukum
Di Indonesia sering kali kita mendengar kata hukum. Kata hukum berasal dari kata Arab “hukm” (jamaknya ahkam) yang dalam bahasa Indonesia dinamakan ketentuan, keputusan, undang-undang, atau peraturan.[1]
Hukum sendiri menetapkan tingkah laku mana yang dibolehkan, dilarang atau disuruh untuk dilakukan. Hukum juga dinilai sebagai norma yang mengkualifikasi peristiwa atau kenyataan tertentu menjadi peristiwa atau kenyataan yang memiliki akibat hukum.

B.Undang-undang peradilan anak
Untuk mengetahui peradilan tentang anak terlebih dahulu harus mengetahui undang-undang. Dalam UU Peradilan Anak No. 3 Tahun 1997 menetapkan bahwa:
·         Batas usia Anak yang diatur dalam peradilan anak adalah 8 hingga 18 tahun. Pelaku tindak pidana anak di bawah usia 8 tahun diatur dalam Undang-Undang Peradilan Anak:  “Akan diproses penyidikannya, namun dapat diserahkan kembali pada orang tuanya atau bila tidak dapat dibina lagi diserahkan pada Departemen Sosial.“
·         Penjatuhan pidana penjara pada anak dalam perkara anak adalah separoh dari ancaman maksimal orang dewasa.
·         Masa penahanan anak lebih singkat dari masa penahanan orang dewasa.
·         Sidang anak ialah sidang tertutup untuk umum dengan putusan terbuka bagi umum.
Sedangkan menurut UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002:
Anak yang diatur dalam UU Perlindungan Anak adalah orang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih berada dalam kandungan. Hal ini karena UU Perlindungan anak juga melindungi keperdataan anak dimana aturan ini berhubungan dengan aturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yakni aturan mengenai Orang, dimana apabila kepentingan anak menghendaki, anak yang berada dalam kandungan seorang perempuan dianggap telah ada, sedangkan anak yang mati pada saat dilahirkan dianggap tidak pernah ada. Jadi Anak di dalam Undang-Undang ini diatur batasan usianya dari sejak dalam kandungan seorang perempuan hingga usia 18 tahun.
Penangkapan, penahanan atau pidana penjara anak hanya dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan sebagai upaya terakhir, apabila upaya lain bagi anak yang melakukan perbuatan pidana, seperti dikembalikan kepada orang tuanya, ataupun diserahkan kepada Departemen Sosial untuk dibina, tidak dapat lagi dilakukan.[2] 
Dalam pasal 1 UU No. 11 tahun 2012 tentang peradilan anak, ditentukan pengertian sistem peradilan anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.
Dengan demikian, negara telah legal dan mensahkan dan bertanggung jawab terhadap tingkah laku dan pertumbuhan anak yang melakukan  kejahatan terhadap orang lain dan juga jika menjadi korban kejahatan orang lain.
Memperhatikan apa yang terjadi baik dari aspek perundang-undangan dan praktek-praktek penanganan pelaku Delinkuensi anak di masyarakat. Dasar peradilan anak yaitu menggunakan ketentuan KUHP yaitu pasal 45, 46, dan 47 sebagai hukum substantifnya, hukum acara untuk penyelenggaraan peradilan anak menggunakan hukum acara pidana untuk orang dewasa (KUHAP) pada satu pihakdan ketentuan perundang-undangan dalam bentuk surat edaran Mahkamah Agung No.3 tahun 1959 tentang tata cara pemeriksaan perkara atas diri anak.[3]


C.Proses peradilan di Indonesia
Di Indonesia Proses penegakan hukum berada di tangan para hakim. Hakim dengan keyakinan dan berdasarkan kecerdasan melihat alat bukti yang ada dan keterangan para saksi akan diuji untuk memutuskan suatu kasus. Intervensi atau kepentingan apapun seharusnya tidak boleh mempengaruhi putusan hakim. Di Indonesia hakim minimal 3 orang atau berjumlah ganjil  yang secara filosofi untuk mencegah terjadinya persekongkolan.  Proses peradilan yang sah, jujur dan tanpa intervensi akan mewarnai suatu putusan.
Hakim akan meneliti berkas dan melihat apakah secara administrasi kasus tersebut masuk wilayah hukum pidana, atau perdata atau wilayah hukum lainnya. Setelah itu, para hakim akan masuk pada proses peradilan yang sebenarnya, dengan menanya para saksi-saksi dan tersangka dan mendengar pembelaan dari tersangka atau pengacaranya.
Pada tahap akhir akan dilihat, apakah seorang hakim dalam memutuskan suatu perkara, menjatuhkan hukuman secara penuh, sebagian atau membebaskan tersangka itu murni atau tidak. Harus di sadari lembaga peradilan atau kehakiman ini secara filosofis dan nyata adalah benteng terakhir bagi rakyat untuk mencari dan menemukan keadilan.
D.Pelaksanaan pidana anak di indonesia
Di Indonesia banyak sekali kasus pidana yang menyangkut anak dan permasalahan ini sangat sensitif terhadap keputusan hakim ketika memutuskan persoalan pidana yang dilakukan oleh anak, tetapi hakim telah mengacu kepada perundang-undangan yang telah ada. Dalam hal ini banyak sekali undang-undang yang telah di buat sejak dulu tentang putusan pidana yang di jatuhkan kepada seorang anak yang melakukan kriminalitas, seperti: [4]
Undang-undang no.3 tahun 1997 bab III memuat sanksi pidana dan tindakan yang dapat di jatuhkan kepada anak. Sebagaimana di tentukan dalam pasal 23 UU no.3 tahun 1997 pidana yang dapat di jatuhkan kepada anak berupa pidana pokok dan pidana tambahan. Dapat di gambarkan bahwa yang di namakan  pidana pokok berupa pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana pengawasan. Sedangkan pidana tambahan yaitu berupa perampasan barang-barang tertentu atau pembayaran ganti rugi.
Sesuai dengan UU No.3 Tahun 1997 batas usia anak yang dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin. Sedangkan mengenai penjatuhan sanksi, diberikan batasan umur terhadap anak yang masih berumur 8 sampai dengan 12 tahun, akan diberi tindakan dikembalikan kepada orang tuanya, ditempatkan pada organisasi sosial atau diserahkan kepada negara.
Setiap anak pelaku tindak pidana yang masuk sistem peradilan pidana harus diperlakukan secara manusiawi sebagaimana termuat dalam UU No.3 tahun 2003 tentang perlindungan anak, yaitu nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangannya, serta penghargaan terhadap anak.[5]
Dalam pelaksanaan putusan, hakim tidak serta merta memutuskan itu dengan barang bukti yang di lihat ketika persidangan. Tapi hakim harus mengikut sertakan BISPA (Balai bimbingan sosial dan pengentasan anak) yakni suatu unit pelaksanaan teknis dari Direktorat Jendral Pemasyarakatan. Pada peraturan mentri kehakiman No.06.UM.01.06 tahun 1983 menegaskan bahwa untuk mengetahui latar belakang kehidupan anak, hakim dapat menugaskan BISPA untuk membuat laporan sosial.[6]
Laporan sosial ini berisi tntang:
a)      Keadaan anak baik fisik, psikis, sosial maupun ekonomi.
b)      Keadaan rumah tangga orang tua wali atau orang tua asuh serta penghuni lainya.
c)      Keterangan mengenai kelakuan anan di sekolah atau di tempat pekerjaan.
d)     Hubungan atau pergaulan anak dengan lingkungan seperti RT, Kepramukaan dan lain sebagainya.[7]
Laporan sosial ini di bicarakan ketika saat persidangan anak yang dihadiri jaksa orang tua anak dan para saksi. Hakim yang berbekal informasi laporan sosial anak itu di harapkan dapat memperoleh gambaran mengenai apa yang menjadi penyebab anak melakukan pelanggaran hukum. Untuk selanjutnya hakim dapat memilih kemungkinan sanksi yang paling tepat dari ketentuan pasal 45 KUHP yaitu:[8]
1.    Mengembalikan kepada orang tua tanpa pidana
2.    Di serahkan kepada pemerintah tanpa pidana
3.    Menjatuhi pidana











BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.    Hukum merupakan d ketentuan, keputusan, undang-undang, atau peraturan yang menetapkan tingkah laku mana yang dibolehkan, dilarang atau disuruh untuk tidak dilakukan.
2.    Menurut UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002:
Anak yang diatur dalam UU Perlindungan Anak adalah orang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih berada dalam kandungan. Hal ini karena UU Perlindungan anak juga melindungi keperdataan anak dimana aturan ini berhubungan dengan aturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yakni aturan mengenai Orang, dimana apabila kepentingan anak menghendaki, anak yang berada dalam kandungan seorang perempuan dianggap telah ada, sedangkan anak yang mati pada saat dilahirkan dianggap tidak pernah ada.
3.    Di Indonesia Proses penegakan hukum berada di tangan para hakim.
Hakim dengan keyakinan dan berdasarkan kecerdasan melihat alat bukti yang ada dan keterangan para saksi akan diuji untuk memutuskan suatu kasus. Intervensi atau kepentingan apapun seharusnya tidak boleh mempengaruhi putusan hakim. Di Indonesia hakim minimal 3 orang atau berjumlah ganjil  yang secara filosofi untuk mencegah terjadinya persekongkolan.  Proses peradilan yang sah, jujur dan tanpa intervensi akan mewarnai suatu putusan.
4.    Dalam pasal 23 UU no.3 tahun 1997 pidana yang dapat di jatuhkan kepada anak berupa pidana pokok dan pidana tambahan. Dapat di gambarkan bahwa yang di namakan  pidana pokok berupa pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana pengawasan. Sedangkan pidana tambahan yaitu berupa perampasan barang-barang tertentu atau pembayaran ganti rugi.


Daftar Pustaka
Rumokoy, Donald Albert dan Maramis, Frans. 2014. Pengantar Ilmu Hukum.       
Jakarta: PT Grafindo Persada.
Suprapto, Paulus Hadi. 1997. Juveli Delinquency (Pemahaman dan Penanggulanganya). Bandung: PT.Citra Aditya Bakti.
Handoyo, Hestu Cipto. 2003.  Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Andi Offset.
Huda, Nikmatul. 2005. Hukum Tata Negara Indonesia. jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Tutik, Titik Triwulan. 2010.  Kontruksi Hukum Tata Negara Indonesia Paska Amandemen Undang-Undang 1945. Jakarta: Prenada Media Group.
Di kutip melalui internet :
http://chacha3ipa5.blogspot.com/2012/05/hukum-pidana-pertanggung-jawaban-pidana.html




DAFTAR ISI
HalamanJudul………………………………………………………………          i                       
Daftar Isi……………………………………………………………………          ii
BAB I PENDAHULUAN                                                                                       
Latar belakang................................................................................................           1
Rumusan masalah...........................................................................................           1
BAB II PEMBAHASAN                                                                                         
Pengertian hukum...........................................................................................        02
Undang-undang peradilan anak.....................................................................         02
Proses peradilan di Indonesia........................................................................         04
Pelaksanaan pidana anak di indonesia..........................................................          04
BAB III PENUTUP
Kesimpulan..................................................................................................           07
Daftar Pustaka...............................................................................................         08



ii
 
 




[1] Donald Albert Rumokoy dan Frans Maramis, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta, PT Grafindo Persada), hal1.
[2]http://maridup.wordpress.com/2009/09/07/undang-undang-pengadilan-anak/
[3] Paulus Hadi Suprapto, Juveli Delinquency(Pemahaman danPenanggulanganya), (Bandung, PT.Citra Aditya Bakti), hal 153
[4]Suprapto, Paulus Hadi. 1997. Juveli Delinquency (Pemahaman dan Penanggulanganya). Bandung: PT.Citra Aditya Bakti.Hal. 175-176
[5]http://chacha3ipa5.blogspot.com/2012/05/hukum-pidana-pertanggung-jawaban-pidana.html
[6]Huda, Nikmatul. 2005. Hukum Tata Negara Indonesia. jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hal 75-76
[7]Tutik, Titik Triwulan. 2010.  Kontruksi Hukum Tata Negara Indonesia Paska Amandemen Undang-Undang 1945. Jakarta: Prenada Media Group.. Hal 121-122
[8]Paulus Hadi Suprapto, Juveli Delinquency(Pemahaman danPenanggulanganya), (Bandung, PT.Citra Aditya Bakti), hal 162-163

EKSISTENSI MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA



EKSISTENSI MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA
Oleh: Edi Purwanto[1]

Hampir tidak ada manusia yang mempunyai keinginan untuk tidak menikah. Menikah adalah senjata yang paling ampuh dalam menjaga pandangan dan kemaluan. Banyak sekali hikmah yang bisa didapat dari pernikahan. Baik itu bersifat biologis, sosial, ekonomi, dan lain sebagainya. Dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menjelasakan pengertian perkawinan yaitu hubungan lahir batin  antara laki-laki dan perempuan sebagai pasangan suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa. Dalam Islam sendiri hukum dasar dari menikah adalah boleh namun dalam keadaan tertentu hukum tersebut bisa berubah menjadi sunnah, makruh, dan bahkan haram. Ditegaskan juga dalam Alquran mengenai anjuran menikah, seprti halnya ayat di bawah ini.

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An Nisaa’: 3)
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. QS. An Nuur : 32
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar Ruum : 21)
Dan juga di jelaskan dalam hadits Nabi Muhammad S.A.W.  yang membirikan anjuran untuk menikah kepada pemuda yang telah mampu secara lahir maupun bathin. Sedangkan yang bagi yang belum mampu, nabi menganjurkan untuk berpuasa agar bisa menahan pandangan dan kemaluan.
Seperti halnya yang telah ditegaskan dalam Alquran, hadits, maupun undang-undang yang berlaku di Indonesia, bahwasanya tujuan menikah bukanlah hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis saja. Namun disitu ada unsur mempersatukan dua keluarga yang tentunya nanti akan bermuara kepada kehidupan keluarga yang sakinah, mawadah dan warahmah. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri masih banyak keluarga yang gagal membina tujuan luhur dari pernikahan tersebut sehingga, menggunakan perceraian sebagai jalan akhir atas segala permasalahan keluarga yang tidak terselesaikan.

Seiring dengan banyaknya perkara perceraian yang masuk ke pengadilan agama, maka  Mahkamah Agung RI menerbitkan peraturan Mahkamah Agung No.2 Tahun 2003 yang kemudian di revisi dalam peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2008 yang mengatur mengenai prosedur mediasi dalam penyelesaian sengketa perdata di pengadilan secara damai. Mediasi dilakukan sebelum perkara di periksa dan dilanjutkan dalam ranah litigasi. Salah satu tujuan mediasi adalah untuk mendamaikan pihak-pihak yang akan berperkara. Jika ditarik kepada perkara perceraian maka mediasi memiliki salah satu tujuan untuk menekan angka perceraian di indonesia. Namun apakah tujuan dari mediasi tersebut seudah berjalan maksimal atau belum masih perlu penelitian lebih lanjut.
A.    Pengertian Mediasi
Mediasi di Pengadilan Agama adalah suatu proses usaha perdamaian antara suami dan istri yang telah mengajukan gugatan cerai, dimana mediasi ini dijembatani oleh seorang Hakim yg ditunjuk di Pengadilan Agama. Dari pengertian tersebut sudah sangat jelas bahwasanya mediasai merupakan salah satu jalan yang dilakukan sebelum perkara dilanjutkan ke meja persidangan guna pihak-pihak yang akan melakukan perceraian untuk berfikir kembali atas keinginanannya untuk melakukan perceraian. Dengan kata lain mediasi bertujuan untuk menekan atau mengurangi angkan perceraian yang sangat tinggi.
Menurut Gary Goodpaster, “Mediasi adalah proses negosiasi peme­cahan masalah di mana pihak luar yang tidak memihak (impartial) dan netral bekcrja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan”.
Jadi, dapat disimpulkan dari beberapa pengertian diatas bahwa mediasi adalah suatu proses di mana kedua belah pihak yang bersengketa atau lebih menunjuk pihak ketiga yang netral dan impartial untuk membantu mereka dalam mendiskusikan penyelesaian sengketa dan mencoba menggugah para pihak untuk menegosiasikan suatu penyelesaian dari sengketa. Selain itu, mediasi bersifat pribadi, rahasia, dan kooperatif dan tidak terikat dengan aturan-aturan formal sebagaimana proses penyele­saian sengketa melalui pengadilan.

B.     Dasar Hukum Mediasi
Sebagai negara hukum sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945 pasal 1 ayat 3 tetntunya segala bentuk tata kenegaraan dan segala yang berkaitandengan negra harus dilandasi oleh undang-undang atau peraturan lain yang diakui di negara Indonesia. Termasuk didalamnya adalah terkait dengan mediasi, sudah menjadi barang tentu pelaksannan mediasi tersebut harus dilandasi oleh Undang-undang atau peraturan lainnya. Adapaun dasar hukum tentang mediasi adalah sebagai berikut:
1.      Surat Edaran Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2002
2.      Peraturan Mahkamah Agung No.2 Tahun 2003.
3.      Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2008 (PerMA No. 1/2008).

C.    Proses Mediasi di Pengadilan Agama
Berdasarkan PERMA No. 01 Tahun 2008 Menjelaskan tentang proses mediasi sebagai berikut:
1.      Tahap Pra Mediasi
Pada Hari Sidang Pertama yang dihadiri kedua belah pihak Hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi. Hakim Menunda proses persidangan perkara untuk memberikan kesempatan proses mediasi paling lama 40 Hari Kerja. Hakim menjelaskan prosedur mediasi kepada para pihak yang bersengketa. Para pihak memilih Mediator dari daftar nama yang telah tersedia, pada hari Sidang Pertama atau paling lama 2 hari kerja berikutnya. Apabila dalam jangka waktu tersebut dalam point 4 para pihak tidak dapat bersepakat memilih Mediator yang dikehendaki. Ketua Majelis Hakim segera menunjuk Hakim bukan pemeriksa pokok perkara untuk menjalankan fungsi Mediator.

2.      Tahap Proses Mediasi
Dalam waktu paling lama 5 hari kerja setelah para pihak menunjuk Mediator yang disepakati atau setelah ditunjuk oleh Ketua Majelis Hakim, masing – masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada Hakim Mediator yang ditunjuk. Proses Mediasi berlangsung paling lama 40 hari kerja sejak Mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh Majelis Hakim. Mediator wajib memperseiapkan jadwal pertemuan Mediasi kepada para pihak untuk disepakati. Apabila dianggap perlu Mediator dapat melakukan “Kaukus”. Mediator berkewajiban menyatakan mediasi telah Gagal jika salah satu pihak atau para pihak atau Kuasa Hukumnya telah 2 kali berturut – turut tidak menghadiri pertemuan Mediasi sesuai jadwal yang telah disepakati tanpa alasan setelah dipanggil secara patut.

3.      Mediasi Mencapai Kesepakatan
Jika mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian maka wajib dirumuskan secara tertulis dan ditandatangani oleh para pihak dan Mediator. Jika mediasi diwakili oleh Kuasa Hukum para maka pihak wajib menyatakan secara tertulis persetujuan atau kesepakatan yang dicapai. Para pihak wajib menghadap kembali kepada Hakim pada hari Sidang yang telah ditentukan untuk memberi tahukan kesepakatan perdamaian tersebut. Para pihak dapat mengajukan kesepakatan perdamaian kepada Hakim untuk dikuatkan dalam bentuk “Akta Perdamaian”. Apabila para pihak tidak menghendaki kesepakatan perdamaian dikuatkan dalam bentuk Akta perdamaian maka harus memuat clausula pencabutan Gugatan dan atau clausula yang menyatakan perkara telah selesai.




4.      Mediasi Tidak Mencapai Kesepakatan
Jika Mediasi tidak menghasilkan kesepakatan, Mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan tersebut kepada Hakim. Pada tiap tahapan pemeriksaan perkara Hakim pemeriksa perkara tetap berwenang untuk mengusahakan perdamaian hingga sebelum pengucapan Putusan. Jika mediasi gagal, pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan.

5.      Tempat Penyeleggaraan Mediasi
Mediator Hakim tidak boleh menyelenggarakan Mediasi diluar Pengadilan. Penyelenggaraan mediasi disalah satu ruang Pengadilan Agama tidak dikenakan biaya.

6.      Perdamaian di Tingkat Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali
Para pihak yang bersepakat menempuh perdamaian di tingkat Banding / Kasasi / Peninjauan Kembali wajib menyampaikan secara tertulis kepada Ketua Pengadilan Agama yang mengadili. Ketua Pengadilan Agama yang mengadili segera memberitahukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi Agama (bagi perkara Banding) atau Ketua Mahkamah Agung (bagi perkara Kasasi dan Peninjauan Kembali) tentang kehendak para pihak untuk menempuh perdamaian. Hakim Banding / Kasasi / Peninjauan Kembali wajib menunda pemeriksaan perkara yang bersangkutan selama 14 hari kerja sejak menerima pemberitahuan tersebut. Para pihak melalui Ketua Pengadilan Agama dapat mengajukan Kesepakatan perdamaian secara tertulis kepada Majelis Hakim Banding / Kasasi / Peninjauan Kembali untuk dikuatkan dalam Akta perdamaian. Akta perdamaian ditanda tangani oleh Majelis Hakim Banding / Kasasi / Peninjauan Kembali dalam waktu selambat – lambatnya 30 hari kerja sejak dicatat dalam Register Induk Perkara.
D.    Eksintensi Mediasi di Pengadilan Agama
Masuknya mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan lewat terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2002 sehingga Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung No.2 Tahun 2003 yang direvisi dengan peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2008 dapat menjadi suatu instrument yang efektif untuk mencegah tertumpuknya perkara di pengadilan dan memaksimalkan fungsi peradilan dalam upaya menyelesaikan sengketa. Mediasi pada pengadilan ini memperkuat upaya damai sebagaimana yang diatur di dalam pasal 130 HIR atau Pasal 154 RBg. Dengan berlakunya Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2008, maka pengadilan tidak hanya memiliki tugas dalam memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara yang telah diterima, akan tetapi berupaya mengadakan perdamaian bagi para pihak yang bersengketa.
Di dalam pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung No.2 Tahun 2003 disebutkan bahwa semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib untuk terlebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator. Begitu juga di dalam peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2008 di dalam pasal 2 ayat (2) dikatakan bahwa setiap hakim, mediator, dan para pihak wajib mengkuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi yang diatur dalam peraturan ini. Dilihat dari bunyi pasal ini maka hakim sebelum melanjutkan pemeriksaan pokok perkara, menganjurkan para pihak yang bersengketa untuk melalui perdamaian lewat proses mediasi. Kemudian di dalam pasal 2 ayat (3) peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2008 mengatakan tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan pasal 130 HIR dan atau pasal 154 RBg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Kehadiran Perma No.1 Tahun 2008 ditujukan untuk memberikan kepastian, ketertiban, kelancaran dalam proses mendamaikan para pihak untuk menyelesaikan suatu sengketa perdata. Hal ini dapat dilakukan dengan mengintensifkan dan mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur berperkara di pengadilan.
Mediasi mendapat dukungan penting dalam Perma No.1 Tahun 2008, karena proses mediasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengadilan. Hakim wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi. Apabila hakim melanggar atau tidak menerapkan prosedur mediasi, maka putusan hakim tersebut dinyatakan batal demi hukum. Oleh karena itu, hakim dalam pertimbangan putusannya wajib menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediatornya dalam perkara tersebut.7
Penerbitan SEMA dan PERMA tentang hukum acara mediasi bertujuan untuk mengoptimalkan proses penyelesaian sengketa secara damai. Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi upaya integrasi lembaga perdamaian di pengadilan:
1.      Untuk mengatasi penumpukkan perkara di pengadilan dan Mahkamah Agung;
2.      Untuk lebih memberikan akses keadilan bagi para pihak dengan proses yang cepat sederhana dan biaya murah;
3.      Untuk memberikan penyelesaian yang benar-benar tuntas, dalam arti tidak hanya tuntas secara hukum, namun juga bias tuntas secara sosial dan moral.
4.      Untuk memberikan kepastian hukum bagi para pihak atas kesepakatan damai yang telah dilakukan
PERMA mediasi telah memperkuat kewajiban-kewajiban yang sebelumnya tidak diatur secara jelas di dalam HIR dan RBg, misalnya di dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 pasal 2 butir (4) mewajibkan agar di dalam pertimbangan putusan, hakim harus menyebutkan bahwa perkara tersebut telah diupayakan perdamaian lewat proses mediasi, namun tidak berhasil dengan mencantumkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan, berdasarkan penetapan penunjukkan mediator. Hal ini tidak dijumpai di dalam HIR dan RBg, bahkan di dalam pasal 130 HIR/ 154 RBg tidak terdapat kata wajib dalam menjalani proses perdamaian. Di dalam pasal 130 HIR dan pasal 154 RBg menyebutkan bahwa “Jika pada hari yang telah ditentukan para pihak datang menghadap, maka pengadilan negeri dengan perantaraan ketuanya akan berusaha memperdamaikan mereka”. Jika dilihat dari bunyi pasal diatas maka sifatnya memaksa, setelah itu di dalam pasal 2 butir (3) PERMA No. 1 Tahun 2008 memberikan suatu ancaman terhadap pelanggaran pasal 130 HIR/ 154 RBg dengan sanksi “putusan batal demi hukum”. Tujuan diterbitkannya PERMA mediasi bukan untuk membangun suatu lembaga hukum yang baru, melainkan hanya sekedar memberikan aturan teknis terhadap lembaga damai yang sebelumnya telah diatur di dalam HIR dan RBg dan substansinya tetap berpedoman pada aturan pokok yang menjadi sumbernya.

E.     Kekuatan Mediasi dalam Pengadilan Agama
Keberhasilan mediasi selain dengan itikad baik dari para pihak, juga memerlukan suatu kekuatan agar proses penyelesaian perkara boleh berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Mediasi merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang memiliki kekuatan sehingga mediasi menjadi salah satu pilihan yang dapat dipakai oleh mereka yang sedang bersengketa.
Christopher W. Moore mengemukakan padangannya mengenai kekutatan dalam mediasi yaitu:
“If the power or influence potencials of the parties are well developed, fairly equal in strength, and recognized by all disputants, the mediator’s job will be the assist the disputants in using their influence effectively to produce mutually satisfactory results”.
“Jika potensi pengaruh kekuatan dari pihak-pihak dikembangkan dengan baik, persamaan yang fair dalam kekuatan tersebut dan disadari oleh pihak bersengketa, tugas mediator untuk mengakses pengaruh salah satu pihak ke pihak lain secara efektif akan menghasilkan keputusan/kepuasan bersama para pihak”.10
Kekuatan adalah faktor kunci dalam berunding/bermediasi. Keberhasilan mediasi ditentukan bukan karena belas kasihan, akan tetapi karena para pihak saling membutuhkan satu sama lain agar sengketa yang diperdebatkan boleh terselesaikan. Kebutuhan para pihak satu dengan yang lainnya tergantung pada ada tidaknya kekuatan masing-masing dari para pihak. Untuk itulah perlu dibangun suatu kekuatan sebagai upaya memperkuat posisi dalam mediasi. Dalam mediasi ada beberapa jenis kekuatan yaitu:
1.      Kekuatan hukum
2.      Kekuatan ekonomi/keuangan
3.      Kekuatan politik
4.      Kekuatan sosial
5.      Kekuatan moral
Mediasi memiliki suatu kekuatan untuk memberikan kewenangan bagi para pihak dalam menyelesaikan sengketa sesuai dengan apa yang menjadi keinginan mereka. Para pihak mengontrol jalannya proses mediasi dan dapat menentukan cara-cara yang lebih serderhana, jika dibandingkan dengan proses beracara formal di pengadilan. Kemudian para pihak wajib mematuhi keputusan yang telah disepakati bersama dengan bantuan mediator. Mediator bertindak sebagai penengah yang sifatnya netral atau tidak berpihak pada kedua belah pihak dengan tujuan mendapatkan penyelesaian yang adil dan tidak merugikan salah satu pihak.
Pelaksanaan mediasi dilaksanakan secara tertutup atau rahasia. Hal ini menjadi ciri khas daripada mediasi itu sendiri sehingga banyak kalangan tertentu yang sedang menghadapi suatu perkara tidak menginginkan perkaranya diumumkan atau dimuat di media massa. Kerahasiaan akan membantu para pihak membangun kepercayaan dengan mediator. Di sisi lain mediator harus berusaha untuk menjaga kerahasiaan dari substansi mediasi itu sendiri, serta sebaiknya menghancurkan seluruh dokumen diakhir sesi yang telah dibuat sebelumnya. Para pihak diharapkan dapat saling menghormati kerahasiaan tersebut. Dengan ini para pihak dapat mengungkapkan masalahnya secara langsung dan terbuka. Hal ini penting untuk menemukan kebutuhan dan kepentingan mereka secara nyata.
Pada prinsipnya informasi yang dikemukakan selama berlangsungnya proses mediasi, mendapat perlindungan hukum untuk tidak dikemukakan pada
proses yang lain atau pihak ketiga. Menurut pasal 19 ayat (1) PERMA No. 1 tahun 2008, menyebutkan bahwa “jika para pihak gagal mencapai kesepakatan, pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam persidangan perkara yang bersangkutan atau perkara yang lainnya”. Hal ini mempunyai tujuan yaitu agar proses mediasi tidak disalahgunakan oleh para pihak yang tidak beritikad baik untuk menjebak lawan dengan berdalih ingin berdamai, padahal mereka memiliki tujuan yang tidak baik. Selain itu, hal ini dilakukan dengan tujuan agar para pihak tanpa rasa takut dapat mengungkapkan fakta di dalam proses mediasi.12
Dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung No.2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, proses mediasi untuk kasus-kasus sengketa publik yaitu sengketa-sengketa lingkungan hidup, pertanahan, hak asasi manusia, produsen dan konsumen wajib terbuka untuk umum. Terbitnya
Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan yang mencabut berlakunya peraturan Mahkamah Agung No.2 Tahun 2003 tidak lagi mengenal sengketa publik, sehingga pada asasnya proses mediasi bersifat tertutup untuk umum, kecuali para pihak mengizinkan mediasi yang mereka tempuh terbuka untuk umum.
Para pihak yang bersengketa lewat jalur mediasi dapat membahas berbagai aspek atau sudut pandang dari sengketa yang sedang dihadapi, tidak hanya tertuju kepada aspek hukum tetapi dapat juga aspek-aspek lainnya. Mediasi bersifat konsensual dan kolaboratif, sehingga hasil yang akan didapatkan yaitu menang-menang(win-win solution) bagi para pihak.
Dilihat dari sifatnya yang konsensual atau mufakat dan kolaboratif, mediasi selalu menghasilkan penyelesaian sengketa dengan cara menang-menang bagi para pihak (win-win solution), sehingga tidak merugikan para pihak yang berperkara. Mediasi termasuk di dalam salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang relatif murah dan tidak memakan waktu yang cukup lama jika dibandingkan dengan berperkara melalui proses litigasi. Disamping itu hasil yang didapat selama menempuh proses mediasi yaitu kesepakatan bersama oleh para pihak, sehingga para pihak yang bersengketa tidak mengajukan keberatan atas apa yang telah disepakati.
SUMBER: WISKA W. R RAHANTOKNAM, EKSISTENSI MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA


Nama              :    Edi Purwanto
NIM                :    083 131 024
Kelas              :    H-1
Semester         :    VI (Enam)
Fakultas         :    Syariah
Jurusan          :    Hukum Islam
Prodi              :    Ahwalus Syakhsiyyah
Makul             :    Bimbingan Konseling Keluarga Sakinah


[1] Mahasiswa Semester 6 Program Studi Ahwalus Syakhsiyyah Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jember.