MAKALAH
PERADILAN ANAK DALAM KASUS PIDANA MENURUT HUKUM KETATANEGARAAN
INDONESIA
Untuk
memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Tata Hukum Indonesia
Dosen
pembimbing oleh Bapak H. Nur Sholikin, S.Ag., M.H
Di susun oleh :
Kelompok 6
1.
NurmillahCahya
Ningsih 083131033
2.
Ahmad Khoirun
Nasikin 083131035
3.
Firdusi Sultoniyah
Bulqis 083131036
4.
Moh. Ali Annuri 083131037
5.
Kris Winarso 083131038
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI
JEMBER
November
2014
BAB I
PENDAHULUAN
a)
Latar
belakang
Pada akhir-akhir ini, di indonesia banyak sekali kejadian dan kasus
yang menyangkut tentang anak, seperti kejadian bulan ini yang marak di beritakan oleh media mulai
dari televisi sampai koran, majalah bahkan video rekamanya tersebar melalui
ponsel. Yaitu kejadian dimana segerombolan siswa sekolah dasar yang mengeroyok
salah satu teman kelasnya hingga memar-memar.
Berbagai kasus di bidang kamtibmas yang melibatkan kelompok usia
muda, tampak semakin menonjol dan menjurus pada tindak kriminal. Reaksi
masyarakat terhadap gejala itupun bermunculan dan bervariasi sifatnya.
Secara
garis besar reaksi tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua. Satu pihak
menghendaki agar pihak-pihak yang
terlibat dalam peristiwa itu di tangani atas dasar hukum yang berlaku, dan pada
pihak lain, menghendaki penanganan arif, yakni dengan cara memahami,
memperhatikan kemudaan usia pelaku, kondisi psikososial yang menjadi faktor
timbulnya gejala tersebut, serta dengan menerapkan pendekatan individual. Lebih
jelasnya yakni satu sisi menuntut pola penindakan dan sisi yang lain menuntut
pola pembinaan.
Bila dikaji dengan hukum pidana secara fungsional, dalam arti
perwujudan dan bekerjanya hukum itu di masyarakat, pembicaraan masalah hukum
pidana anak pada umumnya dan peradilan anak pada khususnya akan terarah pada
tiga pokok masalah yaitu, hukum pidana anak materiil, hukum pidana anak formal,
dan hukum pelaksanaan pidana anak. Untuk itu makalah ini kami buat untuk
mengkaji tentang peradilan anak dalam kasus pidana menurut hukum ketata
negaraan.
b)
Rumusan
masalah
1.
Apa
pengertian hukum?
2.
Apa
undang-undang peradilan anak?
3.
Bagaimana
proses peradilan di Indonesia?
4.
Bagaimana
pelaksanaan pidana pada anak?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.Pengertian
hukum
Di
Indonesia sering kali kita mendengar kata hukum. Kata hukum berasal dari kata
Arab “hukm” (jamaknya ahkam) yang dalam bahasa Indonesia dinamakan
ketentuan, keputusan, undang-undang, atau peraturan.[1]
Hukum
sendiri menetapkan tingkah laku mana yang dibolehkan, dilarang atau disuruh
untuk dilakukan. Hukum juga dinilai sebagai norma yang mengkualifikasi
peristiwa atau kenyataan tertentu menjadi peristiwa atau kenyataan yang
memiliki akibat hukum.
B.Undang-undang peradilan anak
Untuk
mengetahui peradilan tentang anak terlebih dahulu harus mengetahui
undang-undang. Dalam UU Peradilan Anak No. 3 Tahun 1997 menetapkan bahwa:
·
Batas usia Anak yang diatur dalam
peradilan anak adalah 8 hingga 18 tahun. Pelaku tindak pidana anak di bawah
usia 8 tahun diatur dalam Undang-Undang Peradilan Anak: “Akan diproses
penyidikannya, namun dapat diserahkan kembali pada orang tuanya atau bila tidak
dapat dibina lagi diserahkan pada Departemen Sosial.“
·
Penjatuhan pidana penjara pada anak
dalam perkara anak adalah separoh dari ancaman maksimal orang dewasa.
·
Masa penahanan anak lebih singkat
dari masa penahanan orang dewasa.
·
Sidang anak ialah sidang tertutup
untuk umum dengan putusan terbuka bagi umum.
Sedangkan menurut UU Perlindungan
Anak No. 23 Tahun 2002:
Anak yang diatur dalam UU
Perlindungan Anak adalah orang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang
masih berada dalam kandungan. Hal ini karena UU Perlindungan anak juga
melindungi keperdataan anak dimana aturan ini berhubungan dengan aturan dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yakni aturan mengenai Orang, dimana apabila
kepentingan anak menghendaki, anak yang berada dalam kandungan seorang
perempuan dianggap telah ada, sedangkan anak yang mati pada saat dilahirkan
dianggap tidak pernah ada. Jadi Anak di dalam Undang-Undang ini diatur batasan
usianya dari sejak dalam kandungan seorang perempuan hingga usia 18 tahun.
Penangkapan, penahanan atau pidana
penjara anak hanya dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan sebagai upaya
terakhir, apabila upaya lain bagi anak yang melakukan perbuatan pidana, seperti
dikembalikan kepada orang tuanya, ataupun diserahkan kepada Departemen Sosial
untuk dibina, tidak dapat lagi dilakukan.[2]
Dalam pasal 1 UU No. 11
tahun 2012 tentang peradilan anak, ditentukan pengertian sistem peradilan anak
adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan
hukum, mulai tahap penyelidikan sampai tahap pembimbingan setelah menjalani
pidana.
Dengan demikian, negara
telah legal dan mensahkan dan bertanggung jawab terhadap tingkah laku dan
pertumbuhan anak yang melakukan
kejahatan terhadap orang lain dan juga jika menjadi korban kejahatan
orang lain.
Memperhatikan
apa yang terjadi baik dari aspek perundang-undangan dan praktek-praktek
penanganan pelaku Delinkuensi anak di masyarakat. Dasar peradilan anak
yaitu menggunakan ketentuan KUHP yaitu pasal 45, 46, dan 47 sebagai hukum
substantifnya, hukum acara untuk penyelenggaraan peradilan anak menggunakan
hukum acara pidana untuk orang dewasa (KUHAP) pada satu pihakdan ketentuan
perundang-undangan dalam bentuk surat edaran Mahkamah Agung No.3 tahun 1959
tentang tata cara pemeriksaan perkara atas diri anak.[3]
C.Proses peradilan di
Indonesia
Di Indonesia
Proses penegakan hukum berada di tangan para hakim. Hakim dengan keyakinan dan
berdasarkan kecerdasan melihat alat bukti yang ada dan keterangan para saksi
akan diuji untuk memutuskan suatu kasus. Intervensi atau kepentingan apapun
seharusnya tidak boleh mempengaruhi putusan hakim. Di Indonesia hakim minimal 3
orang atau berjumlah ganjil yang secara
filosofi untuk mencegah terjadinya persekongkolan. Proses peradilan yang sah, jujur dan tanpa
intervensi akan mewarnai suatu putusan.
Hakim akan meneliti berkas dan
melihat apakah secara administrasi kasus tersebut masuk wilayah hukum pidana,
atau perdata atau wilayah hukum lainnya. Setelah itu, para hakim akan masuk
pada proses peradilan yang sebenarnya, dengan menanya para saksi-saksi dan
tersangka dan mendengar pembelaan dari tersangka atau pengacaranya.
Pada tahap
akhir akan dilihat, apakah seorang hakim dalam memutuskan suatu perkara,
menjatuhkan hukuman secara penuh, sebagian atau membebaskan tersangka itu murni
atau tidak. Harus di sadari lembaga peradilan atau kehakiman ini secara
filosofis dan nyata adalah benteng terakhir bagi rakyat untuk mencari dan
menemukan keadilan.
D.Pelaksanaan
pidana anak di indonesia
Di Indonesia banyak sekali kasus
pidana yang menyangkut anak dan permasalahan ini sangat sensitif terhadap
keputusan hakim ketika memutuskan persoalan pidana yang dilakukan oleh anak, tetapi
hakim telah mengacu kepada perundang-undangan yang telah ada. Dalam hal ini
banyak sekali undang-undang yang telah di buat sejak dulu tentang putusan
pidana yang di jatuhkan kepada seorang anak yang melakukan kriminalitas,
seperti: [4]
Undang-undang no.3 tahun 1997 bab
III memuat sanksi pidana dan tindakan yang dapat di jatuhkan kepada anak.
Sebagaimana di tentukan dalam pasal 23 UU no.3 tahun 1997 pidana yang dapat di
jatuhkan kepada anak berupa pidana pokok dan pidana tambahan. Dapat di
gambarkan bahwa yang di namakan pidana
pokok berupa pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana
pengawasan. Sedangkan pidana tambahan yaitu berupa perampasan barang-barang
tertentu atau pembayaran ganti rugi.
Sesuai dengan UU No.3 Tahun 1997
batas usia anak yang dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurang-kurangnya 8
(delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin.
Sedangkan mengenai penjatuhan sanksi, diberikan batasan umur terhadap anak yang
masih berumur 8 sampai dengan 12 tahun, akan diberi tindakan dikembalikan
kepada orang tuanya, ditempatkan pada organisasi sosial atau diserahkan kepada
negara.
Setiap anak pelaku tindak pidana
yang masuk sistem peradilan pidana harus diperlakukan secara manusiawi
sebagaimana termuat dalam UU No.3 tahun 2003 tentang perlindungan anak, yaitu
nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan
hidup dan perkembangannya, serta penghargaan terhadap anak.[5]
Dalam pelaksanaan putusan, hakim
tidak serta merta memutuskan itu dengan barang bukti yang di lihat ketika
persidangan. Tapi hakim harus mengikut sertakan BISPA (Balai bimbingan sosial
dan pengentasan anak) yakni suatu unit pelaksanaan teknis dari Direktorat
Jendral Pemasyarakatan. Pada peraturan mentri kehakiman No.06.UM.01.06 tahun
1983 menegaskan bahwa untuk mengetahui latar belakang kehidupan anak, hakim
dapat menugaskan BISPA untuk membuat laporan sosial.[6]
Laporan
sosial ini berisi tntang:
a)
Keadaan anak baik fisik, psikis,
sosial maupun ekonomi.
b)
Keadaan rumah tangga orang tua wali
atau orang tua asuh serta penghuni lainya.
c)
Keterangan mengenai kelakuan anan di
sekolah atau di tempat pekerjaan.
d)
Hubungan atau pergaulan anak dengan
lingkungan seperti RT, Kepramukaan dan lain sebagainya.[7]
Laporan
sosial ini di bicarakan ketika saat persidangan anak yang dihadiri jaksa orang
tua anak dan para saksi. Hakim yang berbekal informasi laporan sosial anak itu
di harapkan dapat memperoleh gambaran mengenai apa yang menjadi penyebab anak
melakukan pelanggaran hukum. Untuk selanjutnya hakim dapat memilih kemungkinan
sanksi yang paling tepat dari ketentuan pasal 45 KUHP yaitu:[8]
1.
Mengembalikan kepada orang tua tanpa
pidana
2.
Di serahkan kepada pemerintah tanpa
pidana
3.
Menjatuhi pidana
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Hukum
merupakan d ketentuan, keputusan, undang-undang, atau peraturan yang menetapkan
tingkah laku mana yang dibolehkan, dilarang atau disuruh untuk tidak dilakukan.
2. Menurut UU
Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002:
Anak yang diatur dalam UU Perlindungan Anak adalah orang yang belum berusia
18 tahun, termasuk anak yang masih berada dalam kandungan. Hal ini karena
UU Perlindungan anak juga melindungi keperdataan anak dimana aturan ini
berhubungan dengan aturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yakni aturan
mengenai Orang, dimana apabila kepentingan anak menghendaki, anak yang berada
dalam kandungan seorang perempuan dianggap telah ada, sedangkan anak yang mati
pada saat dilahirkan dianggap tidak pernah ada.
3.
Di Indonesia Proses penegakan hukum
berada di tangan para hakim.
Hakim dengan keyakinan dan berdasarkan kecerdasan melihat alat bukti yang
ada dan keterangan para saksi akan diuji untuk memutuskan suatu kasus.
Intervensi atau kepentingan apapun seharusnya tidak boleh mempengaruhi putusan
hakim. Di Indonesia hakim minimal 3 orang atau berjumlah ganjil yang secara filosofi untuk mencegah
terjadinya persekongkolan. Proses
peradilan yang sah, jujur dan tanpa intervensi akan mewarnai suatu putusan.
4.
Dalam pasal 23 UU no.3 tahun 1997
pidana yang dapat di jatuhkan kepada anak berupa pidana pokok dan pidana
tambahan. Dapat di gambarkan bahwa yang di namakan pidana pokok berupa pidana penjara, pidana
kurungan, pidana denda, dan pidana pengawasan. Sedangkan pidana tambahan yaitu
berupa perampasan barang-barang tertentu atau pembayaran ganti rugi.
Daftar
Pustaka
Rumokoy,
Donald Albert dan Maramis, Frans. 2014. Pengantar Ilmu Hukum.
Jakarta: PT Grafindo Persada.
Suprapto,
Paulus Hadi. 1997. Juveli Delinquency (Pemahaman dan Penanggulanganya).
Bandung: PT.Citra Aditya Bakti.
Handoyo, Hestu Cipto. 2003. Hukum
Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Andi
Offset.
Huda, Nikmatul. 2005. Hukum Tata Negara Indonesia. jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Tutik, Titik Triwulan. 2010. Kontruksi
Hukum Tata Negara Indonesia Paska Amandemen Undang-Undang 1945. Jakarta:
Prenada Media Group.
Di
kutip melalui internet :
http://chacha3ipa5.blogspot.com/2012/05/hukum-pidana-pertanggung-jawaban-pidana.html
DAFTAR ISI
HalamanJudul……………………………………………………………… i
Daftar
Isi…………………………………………………………………… ii
BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang................................................................................................ 1
Rumusan
masalah........................................................................................... 1
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian
hukum........................................................................................... 02
Undang-undang
peradilan
anak..................................................................... 02
Proses peradilan di Indonesia........................................................................ 04
Pelaksanaan
pidana anak di
indonesia.......................................................... 04
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan.................................................................................................. 07
Daftar
Pustaka...............................................................................................
08
|
[1] Donald
Albert Rumokoy dan Frans Maramis, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta, PT
Grafindo Persada), hal1.
[3] Paulus
Hadi Suprapto, Juveli Delinquency(Pemahaman danPenanggulanganya),
(Bandung, PT.Citra Aditya Bakti), hal 153
[4]Suprapto,
Paulus Hadi. 1997. Juveli Delinquency (Pemahaman dan Penanggulanganya).
Bandung: PT.Citra Aditya Bakti.Hal. 175-176
[5]http://chacha3ipa5.blogspot.com/2012/05/hukum-pidana-pertanggung-jawaban-pidana.html
[6]Huda,
Nikmatul. 2005. Hukum Tata Negara
Indonesia. jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hal 75-76
[7]Tutik,
Titik Triwulan. 2010. Kontruksi Hukum Tata Negara Indonesia Paska
Amandemen Undang-Undang 1945. Jakarta: Prenada Media Group.. Hal 121-122
[8]Paulus
Hadi Suprapto, Juveli Delinquency(Pemahaman danPenanggulanganya),
(Bandung, PT.Citra Aditya Bakti), hal 162-163
Tidak ada komentar:
Posting Komentar