Senin, 26 Desember 2016

MAKALAH
PERADILAN ANAK DALAM KASUS PIDANA MENURUT HUKUM KETATANEGARAAN INDONESIA
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Tata Hukum Indonesia
Dosen pembimbing oleh Bapak H. Nur Sholikin, S.Ag., M.H







Di susun oleh :
Kelompok 6

1.    NurmillahCahya Ningsih               083131033
2.    Ahmad Khoirun Nasikin               083131035
3.    Firdusi Sultoniyah Bulqis              083131036
4.    Moh. Ali Annuri                           083131037
5.    Kris Winarso                                 083131038
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
JEMBER
November 2014

BAB I
PENDAHULUAN
a)    Latar belakang
Pada akhir-akhir ini, di indonesia banyak sekali kejadian dan kasus yang menyangkut tentang anak, seperti kejadian bulan  ini yang marak di beritakan oleh media mulai dari televisi sampai koran, majalah bahkan video rekamanya tersebar melalui ponsel. Yaitu kejadian dimana segerombolan siswa sekolah dasar yang mengeroyok salah satu teman kelasnya hingga memar-memar.
Berbagai kasus di bidang kamtibmas yang melibatkan kelompok usia muda, tampak semakin menonjol dan menjurus pada tindak kriminal. Reaksi masyarakat terhadap gejala itupun bermunculan dan bervariasi sifatnya.
Secara garis besar reaksi tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua. Satu pihak menghendaki  agar pihak-pihak yang terlibat dalam peristiwa itu di tangani atas dasar hukum yang berlaku, dan pada pihak lain, menghendaki penanganan arif, yakni dengan cara memahami, memperhatikan kemudaan usia pelaku, kondisi psikososial yang menjadi faktor timbulnya gejala tersebut, serta dengan menerapkan pendekatan individual. Lebih jelasnya yakni satu sisi menuntut pola penindakan dan sisi yang lain menuntut pola pembinaan.
Bila dikaji dengan hukum pidana secara fungsional, dalam arti perwujudan dan bekerjanya hukum itu di masyarakat, pembicaraan masalah hukum pidana anak pada umumnya dan peradilan anak pada khususnya akan terarah pada tiga pokok masalah yaitu, hukum pidana anak materiil, hukum pidana anak formal, dan hukum pelaksanaan pidana anak. Untuk itu makalah ini kami buat untuk mengkaji tentang peradilan anak dalam kasus pidana menurut hukum ketata negaraan.
b)   Rumusan masalah
1.    Apa pengertian hukum?
2.    Apa undang-undang peradilan anak?
3.    Bagaimana proses peradilan di Indonesia?
4.    Bagaimana pelaksanaan pidana pada anak?
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian hukum
Di Indonesia sering kali kita mendengar kata hukum. Kata hukum berasal dari kata Arab “hukm” (jamaknya ahkam) yang dalam bahasa Indonesia dinamakan ketentuan, keputusan, undang-undang, atau peraturan.[1]
Hukum sendiri menetapkan tingkah laku mana yang dibolehkan, dilarang atau disuruh untuk dilakukan. Hukum juga dinilai sebagai norma yang mengkualifikasi peristiwa atau kenyataan tertentu menjadi peristiwa atau kenyataan yang memiliki akibat hukum.

B.Undang-undang peradilan anak
Untuk mengetahui peradilan tentang anak terlebih dahulu harus mengetahui undang-undang. Dalam UU Peradilan Anak No. 3 Tahun 1997 menetapkan bahwa:
·         Batas usia Anak yang diatur dalam peradilan anak adalah 8 hingga 18 tahun. Pelaku tindak pidana anak di bawah usia 8 tahun diatur dalam Undang-Undang Peradilan Anak:  “Akan diproses penyidikannya, namun dapat diserahkan kembali pada orang tuanya atau bila tidak dapat dibina lagi diserahkan pada Departemen Sosial.“
·         Penjatuhan pidana penjara pada anak dalam perkara anak adalah separoh dari ancaman maksimal orang dewasa.
·         Masa penahanan anak lebih singkat dari masa penahanan orang dewasa.
·         Sidang anak ialah sidang tertutup untuk umum dengan putusan terbuka bagi umum.
Sedangkan menurut UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002:
Anak yang diatur dalam UU Perlindungan Anak adalah orang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih berada dalam kandungan. Hal ini karena UU Perlindungan anak juga melindungi keperdataan anak dimana aturan ini berhubungan dengan aturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yakni aturan mengenai Orang, dimana apabila kepentingan anak menghendaki, anak yang berada dalam kandungan seorang perempuan dianggap telah ada, sedangkan anak yang mati pada saat dilahirkan dianggap tidak pernah ada. Jadi Anak di dalam Undang-Undang ini diatur batasan usianya dari sejak dalam kandungan seorang perempuan hingga usia 18 tahun.
Penangkapan, penahanan atau pidana penjara anak hanya dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan sebagai upaya terakhir, apabila upaya lain bagi anak yang melakukan perbuatan pidana, seperti dikembalikan kepada orang tuanya, ataupun diserahkan kepada Departemen Sosial untuk dibina, tidak dapat lagi dilakukan.[2] 
Dalam pasal 1 UU No. 11 tahun 2012 tentang peradilan anak, ditentukan pengertian sistem peradilan anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.
Dengan demikian, negara telah legal dan mensahkan dan bertanggung jawab terhadap tingkah laku dan pertumbuhan anak yang melakukan  kejahatan terhadap orang lain dan juga jika menjadi korban kejahatan orang lain.
Memperhatikan apa yang terjadi baik dari aspek perundang-undangan dan praktek-praktek penanganan pelaku Delinkuensi anak di masyarakat. Dasar peradilan anak yaitu menggunakan ketentuan KUHP yaitu pasal 45, 46, dan 47 sebagai hukum substantifnya, hukum acara untuk penyelenggaraan peradilan anak menggunakan hukum acara pidana untuk orang dewasa (KUHAP) pada satu pihakdan ketentuan perundang-undangan dalam bentuk surat edaran Mahkamah Agung No.3 tahun 1959 tentang tata cara pemeriksaan perkara atas diri anak.[3]


C.Proses peradilan di Indonesia
Di Indonesia Proses penegakan hukum berada di tangan para hakim. Hakim dengan keyakinan dan berdasarkan kecerdasan melihat alat bukti yang ada dan keterangan para saksi akan diuji untuk memutuskan suatu kasus. Intervensi atau kepentingan apapun seharusnya tidak boleh mempengaruhi putusan hakim. Di Indonesia hakim minimal 3 orang atau berjumlah ganjil  yang secara filosofi untuk mencegah terjadinya persekongkolan.  Proses peradilan yang sah, jujur dan tanpa intervensi akan mewarnai suatu putusan.
Hakim akan meneliti berkas dan melihat apakah secara administrasi kasus tersebut masuk wilayah hukum pidana, atau perdata atau wilayah hukum lainnya. Setelah itu, para hakim akan masuk pada proses peradilan yang sebenarnya, dengan menanya para saksi-saksi dan tersangka dan mendengar pembelaan dari tersangka atau pengacaranya.
Pada tahap akhir akan dilihat, apakah seorang hakim dalam memutuskan suatu perkara, menjatuhkan hukuman secara penuh, sebagian atau membebaskan tersangka itu murni atau tidak. Harus di sadari lembaga peradilan atau kehakiman ini secara filosofis dan nyata adalah benteng terakhir bagi rakyat untuk mencari dan menemukan keadilan.
D.Pelaksanaan pidana anak di indonesia
Di Indonesia banyak sekali kasus pidana yang menyangkut anak dan permasalahan ini sangat sensitif terhadap keputusan hakim ketika memutuskan persoalan pidana yang dilakukan oleh anak, tetapi hakim telah mengacu kepada perundang-undangan yang telah ada. Dalam hal ini banyak sekali undang-undang yang telah di buat sejak dulu tentang putusan pidana yang di jatuhkan kepada seorang anak yang melakukan kriminalitas, seperti: [4]
Undang-undang no.3 tahun 1997 bab III memuat sanksi pidana dan tindakan yang dapat di jatuhkan kepada anak. Sebagaimana di tentukan dalam pasal 23 UU no.3 tahun 1997 pidana yang dapat di jatuhkan kepada anak berupa pidana pokok dan pidana tambahan. Dapat di gambarkan bahwa yang di namakan  pidana pokok berupa pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana pengawasan. Sedangkan pidana tambahan yaitu berupa perampasan barang-barang tertentu atau pembayaran ganti rugi.
Sesuai dengan UU No.3 Tahun 1997 batas usia anak yang dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin. Sedangkan mengenai penjatuhan sanksi, diberikan batasan umur terhadap anak yang masih berumur 8 sampai dengan 12 tahun, akan diberi tindakan dikembalikan kepada orang tuanya, ditempatkan pada organisasi sosial atau diserahkan kepada negara.
Setiap anak pelaku tindak pidana yang masuk sistem peradilan pidana harus diperlakukan secara manusiawi sebagaimana termuat dalam UU No.3 tahun 2003 tentang perlindungan anak, yaitu nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangannya, serta penghargaan terhadap anak.[5]
Dalam pelaksanaan putusan, hakim tidak serta merta memutuskan itu dengan barang bukti yang di lihat ketika persidangan. Tapi hakim harus mengikut sertakan BISPA (Balai bimbingan sosial dan pengentasan anak) yakni suatu unit pelaksanaan teknis dari Direktorat Jendral Pemasyarakatan. Pada peraturan mentri kehakiman No.06.UM.01.06 tahun 1983 menegaskan bahwa untuk mengetahui latar belakang kehidupan anak, hakim dapat menugaskan BISPA untuk membuat laporan sosial.[6]
Laporan sosial ini berisi tntang:
a)      Keadaan anak baik fisik, psikis, sosial maupun ekonomi.
b)      Keadaan rumah tangga orang tua wali atau orang tua asuh serta penghuni lainya.
c)      Keterangan mengenai kelakuan anan di sekolah atau di tempat pekerjaan.
d)     Hubungan atau pergaulan anak dengan lingkungan seperti RT, Kepramukaan dan lain sebagainya.[7]
Laporan sosial ini di bicarakan ketika saat persidangan anak yang dihadiri jaksa orang tua anak dan para saksi. Hakim yang berbekal informasi laporan sosial anak itu di harapkan dapat memperoleh gambaran mengenai apa yang menjadi penyebab anak melakukan pelanggaran hukum. Untuk selanjutnya hakim dapat memilih kemungkinan sanksi yang paling tepat dari ketentuan pasal 45 KUHP yaitu:[8]
1.    Mengembalikan kepada orang tua tanpa pidana
2.    Di serahkan kepada pemerintah tanpa pidana
3.    Menjatuhi pidana











BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.    Hukum merupakan d ketentuan, keputusan, undang-undang, atau peraturan yang menetapkan tingkah laku mana yang dibolehkan, dilarang atau disuruh untuk tidak dilakukan.
2.    Menurut UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002:
Anak yang diatur dalam UU Perlindungan Anak adalah orang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih berada dalam kandungan. Hal ini karena UU Perlindungan anak juga melindungi keperdataan anak dimana aturan ini berhubungan dengan aturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yakni aturan mengenai Orang, dimana apabila kepentingan anak menghendaki, anak yang berada dalam kandungan seorang perempuan dianggap telah ada, sedangkan anak yang mati pada saat dilahirkan dianggap tidak pernah ada.
3.    Di Indonesia Proses penegakan hukum berada di tangan para hakim.
Hakim dengan keyakinan dan berdasarkan kecerdasan melihat alat bukti yang ada dan keterangan para saksi akan diuji untuk memutuskan suatu kasus. Intervensi atau kepentingan apapun seharusnya tidak boleh mempengaruhi putusan hakim. Di Indonesia hakim minimal 3 orang atau berjumlah ganjil  yang secara filosofi untuk mencegah terjadinya persekongkolan.  Proses peradilan yang sah, jujur dan tanpa intervensi akan mewarnai suatu putusan.
4.    Dalam pasal 23 UU no.3 tahun 1997 pidana yang dapat di jatuhkan kepada anak berupa pidana pokok dan pidana tambahan. Dapat di gambarkan bahwa yang di namakan  pidana pokok berupa pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana pengawasan. Sedangkan pidana tambahan yaitu berupa perampasan barang-barang tertentu atau pembayaran ganti rugi.


Daftar Pustaka
Rumokoy, Donald Albert dan Maramis, Frans. 2014. Pengantar Ilmu Hukum.       
Jakarta: PT Grafindo Persada.
Suprapto, Paulus Hadi. 1997. Juveli Delinquency (Pemahaman dan Penanggulanganya). Bandung: PT.Citra Aditya Bakti.
Handoyo, Hestu Cipto. 2003.  Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Andi Offset.
Huda, Nikmatul. 2005. Hukum Tata Negara Indonesia. jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Tutik, Titik Triwulan. 2010.  Kontruksi Hukum Tata Negara Indonesia Paska Amandemen Undang-Undang 1945. Jakarta: Prenada Media Group.
Di kutip melalui internet :
http://chacha3ipa5.blogspot.com/2012/05/hukum-pidana-pertanggung-jawaban-pidana.html




DAFTAR ISI
HalamanJudul………………………………………………………………          i                       
Daftar Isi……………………………………………………………………          ii
BAB I PENDAHULUAN                                                                                       
Latar belakang................................................................................................           1
Rumusan masalah...........................................................................................           1
BAB II PEMBAHASAN                                                                                         
Pengertian hukum...........................................................................................        02
Undang-undang peradilan anak.....................................................................         02
Proses peradilan di Indonesia........................................................................         04
Pelaksanaan pidana anak di indonesia..........................................................          04
BAB III PENUTUP
Kesimpulan..................................................................................................           07
Daftar Pustaka...............................................................................................         08



ii
 
 




[1] Donald Albert Rumokoy dan Frans Maramis, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta, PT Grafindo Persada), hal1.
[2]http://maridup.wordpress.com/2009/09/07/undang-undang-pengadilan-anak/
[3] Paulus Hadi Suprapto, Juveli Delinquency(Pemahaman danPenanggulanganya), (Bandung, PT.Citra Aditya Bakti), hal 153
[4]Suprapto, Paulus Hadi. 1997. Juveli Delinquency (Pemahaman dan Penanggulanganya). Bandung: PT.Citra Aditya Bakti.Hal. 175-176
[5]http://chacha3ipa5.blogspot.com/2012/05/hukum-pidana-pertanggung-jawaban-pidana.html
[6]Huda, Nikmatul. 2005. Hukum Tata Negara Indonesia. jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hal 75-76
[7]Tutik, Titik Triwulan. 2010.  Kontruksi Hukum Tata Negara Indonesia Paska Amandemen Undang-Undang 1945. Jakarta: Prenada Media Group.. Hal 121-122
[8]Paulus Hadi Suprapto, Juveli Delinquency(Pemahaman danPenanggulanganya), (Bandung, PT.Citra Aditya Bakti), hal 162-163

Tidak ada komentar:

Posting Komentar