Kamis, 23 Oktober 2014

MAKALAH USHUL FIQIH 2 TENTANG IJTIHAD

BAB I PENDAHULUAN
A.      Latar belakang
Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi di dunia, menyebabakan adanya masalah-masalah baru yang belum terdapat dalam Alquran dan Assunnah. Banyak umat Islam yang mulai bertanya status hukum Islam tentang hal-hal baru tersebut. Sehingga, perlu yang namanya ijtihad untuk menjawab bagaimana status hukumnya dalam syri’at islam.
Namun pada abad ke 4 H, ada sebagian ulama’ yang berpendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Sehingga menyebabkan ulama’ zaman sekarang merasa tidak pantas untuk melakukan ijtihad.
Berangkat dari hal tersebut diatas, perlu kiranya kita meneliti atau mempelajari kembali tentang ijtihad. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas tentang pengertian ijtihad, dasar-dasar hukum ijtihad, hukum melakukan ijtihad, syarat-syarat melakukan ijtihad, tingkatan mujtahid, ruang lingkup mujtahid, macam-macam ijtihad, serta tertutup dan terbukanya pintu ijtihad.
B.       Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan ijtihad?.
2.      Apa saja dasar-dasar hukum ijtihad?.
3.      Bagaimana hukum melakukan ijtihad?.
4.      Apa saja syarat-syarat melakukan ijtihad?.
5.      Apa saja tingkatan-tingakatan mujtahid?.
6.      Dimanakah ruang ingkup ijtihad yang sebenarnya?.
7.      Apa saja macam-macam ijtihad?.
8.      Apakah pintu ijtihad sudah tertutup atau masih terbuka?.
C.    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui apa yang dimaksud dengan ijtihad.
2.      Mengetahui apa saja dasar-dasar hukum ijtihad.
3.      Mengetahui bagaimana hukum melakukan ijtihad
4.      Mengetahui apa saja syarat-syarat melakukan ijtihad.
5.      Mengetahui apa saja tingkatan-tingkatan mujtahid
6.      Mengetahui dimana ruang lingkup ijtihad yang sebenarnya
7.      Mengetahui apa saja macam-macam ijtihad.
8.      Mengetahui apakah pintu ijtihad sudah tertutup atau masih terbuka.


  
BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijtihad
            Secara etimologi ijthad berasal dari bahasa Arab yaitu ijtihada yang di ambil dari masdar ghoiru mim yang artinya bersungguh-sungguh, rajin, dan giat.[1] Jadi menurut bahasa ijtihad itu ialah berusaha atau berupaya yang sungguh-sungguh. Perkataan ini tidak dipergunakan dalam suatau yang tidak mengandung kesulitan dan keberatan.
            Sedangkan secara terminologi, banyak sekali para ulama’ yang mendefinisikan ijtihad. Namun pada dasarnya ijtihad adalah:
عملية استباط   الاحكم السرعية  من ادلتها التتفصلية في الشريعة
Artinya: aktivitas untuk memperoleh pengetahuan (istinbat) hukum syara’ dari dalil terperinci dalam syariat.
            Dengan kata lain, ijtihad adalah pengerahan segala kemampuan seorang faqih (pakar fiqih islam) untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dali syara’
B. Dasar Hukum Ijtihad
Ijtihad merupakan salah satu metode untuk menggali sumber hukum Islam. Dibolehkannya ijtihad ini tentunya berdasarkan firman Allah atau hadits Rasullullah. Baik yang dinyatakan dengan jelas maupun yang dinyatakan dengan isyarat, diantaranya yaitu:
Yaitu firman Allah SWT dalam surah An nisaa’ayat 105.


Artinya: Sesungguhnya kami turunkan kitab kepadamu secara hak, agar dapat menghukumi diantara manusia dengan apa yang Allah mengetahui kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.
           
Dalam ayat tersebut terdapat penetapan ijtihad yaitu berupa qiyas.
ان في ذلك لايات لقوم يتفكرون
Artinya: sesungguhnya pada hal itu terdapat tanda-tanda bagi orang yang berpikir.
            Dibolehkannya ijtihad juga berdasarkan keterangan dari sunah, diantaranya yaitu:
Hadit yang diriwayatkan oleh Umar:
اذا حكم الحاكم فاجتهد فاصاب فله اجران و اذا حكم فاجتهد ثم اخطأ فله اجر
Artinya: jika seorang hakim menghukumi sesuatu, dan benar, maka itu mendapat dua, dan bila dia salah mak dia mendapat satu pahala.
            Dan hadits Muadz Bin Jabal ketika Rasulullah SAW. Mengutusnya ke Yaman unuk menjadi Hakim.
قال رسول الله لمعاد : بم تقض؟ قال: بما في كتاب الله. قال: فان لم تجد في كتاب الله؟ قال: اقضى بما قضى به رسول الله. قال: فان لم تجد فيما قضى به رسول الله؟ قال: اجتهد برأيي. قال: الحمدل الله الذي وفق رسول رسوله
Artinya: Rasulullah SAW. Bertanya, “Dengan apa kamu menghukumi?” ia menjawab “Dengan apa ayng ada dalam kitab Allah”. Bertanya Rasulullah, “Jika kamu tidak mendapatkannya dalam kitab Allah?”. Dia menjawab “Aku memutuskan dengan apa yang diputuskan Rasulullah”. Rasul Bertanya lagi “Jika tidak mendapatkan dalam ketetapan Rasulullah?” Berkata Mu’adz “Aku berjihad dengan pendapatku.” Rasulullah bersabda, “Aku bersyukur kepada Allah yang telah menyepakati utusan dari Rasul-Nya.”
            Ijtihad telah dilakukan oleh para sahabat sejak wafatnya Rasulullah SAW. Mereka selalu berijtihad ketika mendapatkan masalah-masalah baru yang belum di jelaskan  secara jelas baik dalam Alquran dan Sunnah rasul.
C. Hukum Melakukan Ijtihad
            Hukum ijtihad di bagi tiga di lihat dari hak ulama’ untuk  melaksanakannya yaitu Fardu A’in, Fardu Kifayah,  dan Nadhab.[2]
1.      Hukum melakukan Ijtihad menjadi Fardu A’in apabila dalam dua keadaan yaitu:
a.       Ketika seorang mujtahid mendapatkan suatu kejadian yang mengharuskannya berijtihad untuk dirinya tentang hal yang berhubungan dengan ibadah, muamalah, perkawinan, dan talaknya dan sebagainya.
b.      Ijtihad ketika dia harus memutuskan hukum seperti tiadanya orang lain selain dirinya sendiri yang dipercaya kefaqihan dan kemapuan agamanya ketika mendesak untuk menentukan hukum  kejadian itu atau boleh menundanya bila tidak terlalu mendesak kejadiannya.
2.      Hukum melakukan ijtihad menjadi Fardu Kifayah apabila dalam dalam dua keadaan yaitu:
a.       Apabila suatu perkara terjadi pada seseorang lalu meminta fatwa kepada salah seorang ulama’, maka kewajiban untuk menjawab fatwa dibebankan pada semua umat. Kalau dia atau lainnya menjawab masalah tersebut maka gugurlah kewajiban atas umat. Akan tetapi, jika tidak maka berdosalah semuanya.
b.      Apabila Suatu hukum yang harus di putuskan oleh dua hakim yang bersekutu. Kewajiaban memtuskan dipikul oleh keduanya. Bila salah seorang telah metuskan suatu keputusam maka gugurlah kewajiban yang lain.
3.      Hukum melakukan ijtihad menjadi mandub terdapat dalam  dua keadaan yaitu:
a.       Ijtihad seorang ulama’ terehadap perkara yang belum muncul sehingga dia mengetahui  hukum  yang belum terjadi.
b.      Ijtihad terhadap suatu perkara yang ditanyakan kepadanya sebelum perkara itu terjadi.

Sebagian ulama menambahkan ada ijtihad yang haram hukumnya yaitu ijtihad yang bertentangan dengan dalil qath’i sebab ijtihad tersebut dianggap sebagai ijtihad tidak pada tempatnya. Diantara ijtihad yang haram adalah ijtihadnya orang yang tidak berhak melaksanakan ijtihad yaitu ijtihadnya seorang pemimpim yang  bodoh. Sebagaimana telah diungkapkan oleh hadits bahwa fatwa yang tidak didasari ilmu adalah sesat dan menyesatkan.
D. Syarat-syarat Melakukan Ijtihad
Mujtahid adalah orang yang berijtihad. Berbicara tentang syarat  - syarat  ijtihad tidak lain dari berbicara syarat – syaratnya mujtahid begitu pula sebaliknya. Ada beberapa imam yang menjelaskan syarat-syaratnya Ijtihad.
1.        Imam Alghozali
            Menurut Imam Al – ghozali didalam kitabnya al – musthofa mengatakan mujtahid memiliki dua syarat :
1.      Mengetahui dan menguasai ilmu syara’ dan dapat melihat dzon yang sesuai dengan syar’i dengan mendahulukan apa yang wajib di dahulukan dan sebaliknya.
2.      Hendaknya seseorang itu bersikap adil, menjauhi maksiat yang dapat mencemarkan sifat dan sikap keadilannya karena ini menjadi landasan apakah fatwanya dapat menjadi pandangn atau tidak.
2.      Imam Asy Syathiby
Beliau mengatakan seseorang dapat diterima ijtihadnya apabila memiliki dua sifat, yaitu:
1.      Mengerti dan faham akan tujuan-tujuannya sayriat dengan sepenuhnya, secara keseluruhan.
2.      Mampu melakukan istinbat berdasarkan kepahaman terhadap tujuan syariat tersebut.
3.        Al Amidi dan Al Baidlawi
Menjelaskan seseorang dapat melakukan Ijtihad apabila ia memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.                  Mengtahui apa yang ada pada uhan dari sifat-sifat yang wajib, Percaya pada rasul dan apa yang dibawa olehnya, dari mukjizat-mukjizat dan ayat-ayat yang nyata. Sehinnga pendapat dan hukum yang ia Dia sandarkan itu memang nyata dan benar. Dan tidak disyaratkan baginya mengetahui ilmu kalam secara detail. Cukup mengetahu perkara dengan global.
2.                  Hendaknay dia seorang yang pandai (Alim) dan bijaksana (Arif) tentang keseluruhan hukum syariat dan pembagiannya.
Memang sulit menjadi seoarang mujtahid mutlak. Ada saja kelemahan seseorang dibeberapa bidang. Agar seseorang mencapai tingkatan ijtihad yang sesungguhnya Ia dituntut untuk mengerti makna ayat-ayat hukum daam Alquran baik secara bahasa maupun secara syara’. Dan juga mengathui Hdits Ahkam atau hadits-hadits hukum serta mampu memilih hadits mana yangs esuai dengan permasalahan yang ada.
Seorang Mujtahid memang seharusnya hafal akan Alquran dan Hadits yang diperlukan serta mengettahu Nasikh dan Mansukhnya baik yang terdapat dalam Alquran ataupun Assunnah. 
Terlepas dari pendapat dari ulama’, maka dapat di simpulkan bahwa syarat-syarat mujtahid atau ulama’ untuk melakukan ijtihad, yaitu:
1.      Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Alquran,  baik menurut bahasa maupun syaria’ah.
2.      Menguasai dan mengetahui hadits-hadits hukum, baik menurut bahasa maupun syari’ah.
3.      Mengetahui nasakh dari Alquran dan Assunnah, supaya tidak salah dalam menetapkan hukum.
4.      Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma’ ulama’, sehingga ijtihadnya tidak bertentangan dengan ijma’ ulama’.
5.      Mengetahui qiyas dan berbagai persyaratan serta menginstinbatnya, karena qiyas merupakan kaidah dalam berijtihad.
6.      Mengetahui bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa, serta berbagai problematikanya.
7.      Mengetahui Ilmu Ushul Fiqih yang merupakan fondasi dari ijtihad.
8.      Mengetahui maqashidu al syari’ah (tujuan syariat) secara umum, karena bagaimanapun juga syari’at itu brhubungan dengan maqashidu al syari’ah atau rahasia yang disyariatkannya suatu hukum. [3]
E. Tingkatan Mujtahid
            Menurut Imam Nawawi Ibnu Shalah dan para Ulama' lainnya, tingkatan Mujtahid terbagi menjadi lima tingkatan, yaitu:
1.      Mujtahid Mustaqil Mujtahid Mustaqil merupakan seorang Mujtahid yang bebas menggunakan kaidah-kaidah yang dibuatnya sendiri, dia menyusun fiqih-nya sendiri yang berbeda dengan madzab yang ada.
2.      Mujtahid mutlaq ghairu mustqil adalah seorang mujtahid yang memiliki kriteria seperti mujtahid mustaqil, namun tidak menciptakan sendiri kaidah-kaidahnya, melankan mengikuti metode salah satu imam madzab. Ulama' yang masuk dalam tingkatan ini yaitu Abu Yusuf dan Muhammad jafar dari Hanafiyah.
3.      Mujtahid Muqayyad / Takhrij adalah mujtahid yang terikat oleh madzab imamnya. Dalam menentukan berbagai landasan tidak boleh keluar dari kaidah-kaidah yang telah dipakai imamnya. Diantara Ulama' dalam tingkatan ini yaitu Hasan bin Ziyad dari golongan hanafi, ibnu Qayyim dan Asyhab dari golongan Maliki, serta al-Buwaiti dan Majani dari golongan Syafi'i.
4.      Mujtahid Tarjih adalah mujtahid yang belum sampai derajatnya pada mujtahid takhrij, tetapi menurut Imam Nawawi dalam kitab Majmu' mujtahid dalam tingkatan ini sangat faqih, hafal kaidah-kaidah imamnya, mengetahui dalil-dalilnya, cara memutuskan hukumnya, mencari dalil yang lebih kuat, dan lain-lain. Diantaranya, al-Qaduri dan pengarang kitab al-Hidayah dalam madzab Hanafi.
5.      Mujtahid Fatwa adalah seorang mujtahid yang hafal dan faham terhadap kaifa-kaidah imam madzab, mampu menguasai berbagai permasalahan, namun masih lemah dalam menetapkan suatu putusan berdasarkan dalil serta lemah dalam menetapkan Qiyas.
F. Ruang Lingkup Ijtihad
 Menurut al-Ghazali, objek ijtihad adalah setiap hukum syara' yang tidak memiliki dalil yang qath'i. Jadi, ruang lingkup ijtihad mencakup hukum syara' yang bersifat dzanni serta hukum-hukum yang belum ada nash-nya dan ijma' para Ulama'. Apabila ada nash yang keberadaannya masih dzanni, hadits ahad misalnya, maka objek ijtihadnya yaitu meneliti bagaimana sanadnya, derajat para perawinya, dan lainnya. Dan nash yang petunjuknya masih dzanni, maka yang menjadi objek ijtihad adalah bagaimana maksud dari nash tersebut. Sedangkan terhadap permasalahan yang tidak ada nash-nya, maka yang menjadi objek ijtihad
Sedangkan yang tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad adalah hukum-hukum yang telah di maklumi sebagai landasan pokok Islam, yang berdasarkan pada dalil-dalil yang qath’i, seperti kewajiban melaksanakan sholat, zakat, puasa, ibadah haji, atau haramnya melakukan zina, mencuri, dan lain-lain.
G. Macam-macam Ijtihad
Dr. Dawalibi membagi Ijtihad menjadi tiga bagian, yang sebagiannya sesuai dengan pendapat As- Syathibi dalam kitab Almuafaqat, yaitu:
a.       Ijtihad Al Batani, yaitu ijtihad untuk menjelasakan hukum-hukum syara’ dari nash.
b.      Ijtihad Al Qiyasi, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Alquran dan Assunnah dengan menggunakan metode qiyas.
c.       Ijtihad Al Istishlah, yaitu ijtiha terhadap permasalan yang tidak terdapat dalam Alqura dan Assunnah dengan menggunakan ra’yu berdasarkan kaidah istishlah
Pembagian diatasa masih belum sempurna, seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Taqiyyu Alhakim dengan mengemukakan beberapa alasan, diantaranya jami’ wal mani. Menurutnya, ijtihad itu dapat di bagi menjadi dua bagian saja, yaitu:
a.       Ijtihad Al-aqli, yaitu ijtihad yang didasarkan pada akal, tidak menggunakan dalil syara’. Mujtahid dibebasakan untuk berfikir dengan mengikuti kaidah-kaidah yang pasti. Misalnya, menjaga kemudharatan, hukuman jelek bila tidak disertai penjelasan, dan lain sebagainya.
b.      Ijtihad Syar’i, yaitu ijtihad yang didasarkan pada syara’. Termasuk dalm pembagian ini adalah ijma’, qiyas, istihsan, istishlah, urf, isttishab dan lain-lain.

H. Terbuka dan Tertupnya Pintu Ijtihad
Pada abad ke 4 hijriah, terdapat ungkapan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Banyak para ulama’ saat itu yang merasa tidak mampu untuk melakukan ijtihad, sehingga mereka terlalu fanatik dengan madzhab yang sudah ada. Salah penyebab kondisi tersebut adalah terbaginya daulah islamiyah kepada beberapa negara, sehingga umat islam menjadi lemah pada saat itu.
Para ulama’ dari golongan Syiah berpendapat bahwa pernyataan tentang tertutupnya pintu ijtihad dan adanya pembaasan dalam berpikir pada abad ke empat  adalah kesalahan besar. Golongan ini berpendapat bahwa pintu ijtihad selalu terbuka.
Menurut Suyuthi, sebenarnya para ulama’ dari setiap madzhab telah sepakat bahwa ijtihad itu hukumnya wajib dan taqlid buta adalah perbuatan yang tercela. Mereka pun melarang umat islam bertaqlid buta terhadap pendapat mereka tanpa meneliti fatwa-fatwa yang di keluarkan.
Menurut Al Baghawi dan Asy Syahrastani, di hukumi dosa jika seseorang tidak seorang pun  ari kaum muslimin yang memepelajari fatwa ulama’ terdahulu. Hal itu dianggap meremehkan Hukum Syara’, di samping semakin berkembangnya permasalahan yang tidak sama dengan waktu tertentu, yang sudah pasti memerlukan ijtihad untuk menjawab permasalahan tersebut.






BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan
Secara terminologi Ijtihad adalah aktivitas untuk memperoleh pengetahuan (istinbat) hukum syara’ dari dalil terperinci dalam syariat. Sedangkan Secara etimologi ijthad berasal dari bahasa Arab yaitu ijtihada yang di ambil dari masdar ghoiru mim yang artinya bersungguh-sungguh, rajin, dan giat.
Dasar hukum yang membolehkan Ijtihad adalah Alquran dan hadits Rasul. Salah satunya yaitu Alquran Surah Annisaa’ ayat 105 serta Hadits Rasul yang diriwayatkan oleh Umar.
Hukum melakukan ijtihad pada dasarnya adalah boleh namun bisa berubah status hukumnya menjadi Fardu A’in, Fardu Kifayah, Nadhb, dan bahkan haram sesuai dengan situasi dan kondisi yang terjadi pada saat itu.
Syarat-syarat untuk menjadi mujtahid yaitu: mengetahui dan menguasai ayat-ayat hukum dalam Alquran, mengetahui dan mengasai Hadits-hadits Ahkam, mengetahui nasakh dan mansukh dari Alquran dan Assunnah, mengetahui permasalahan yang telah ditetapkan melalui ijma’ ulama’, mengetahu qiyas dan berbagai persyaratannya, mengetahu bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan, dan mengetahui Ilmu Ushul Fiqih, mengetahu Maqasidu As sayari’ah.
Objek atau ruang lingkup ijtihad yaitu hukum-hukum yang didasarkan pada pada dalil yang bersifat dzanni. Sedangkan yang tidak boleh jadi lapangan ijtihad adalh hukum-hukum yang telah dimaklumi sebagai landasan pokok islam yang berdasarkan dalil yang qath’i.
Tingkatan ijtihad yaitu: Mujtahid Mustaqil, mujtahid mutlaq ghairu mustaqil, mujtahid muqayyad, mujtahid tarjih, dan mujtahid fatwa.
Sedangkan macam-macam ijtihad adalah ijtihad Al-Batani, Al-qiyasi, dan Al isstishlah. Ada juga macam-macam ijtihad yaitu ijtihad Al aqli dan ijtihad Al Syar’i.
Dalam alquran maupun hadits tidak dijumpai yang menjelaskan tertutupnya pintu ijtihad. Jadi kesimpulannya pintu ijtihada tidak pernah tertutup hanya saja sulit menemukan ulama’ yang mencukupi sayrat untuk melakukan ijtihad sehinnga biasa dikatakan bahwa mujtahi mutlaq sangat sulit untuk saat ini.















DAFTAR PUSTAKA
Al dzarwy, Ibrahim Abbas. 1987. Ijtihad Dalam Syari’at Islam. Jakarta: Jakarta Indo.
Al Qardawy, Yusuf. 1987. Ijtihad Dalam Syari’at Islam. Jakarta: Jakarta Indo.
Khalaf, Abdul Wahab. 2004. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Rineka Cipta.
Mujtaba, Syaifuddin. 2012. Ilmu Fiqh Sebuah Pengantar. Jember: STAIN Jember Press.
Syafe’i, Rahmat. 1999. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.




[1] Rachmat Syafie’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 98.
[2] Yusuf Alqardlawy, Ijtihad Dalam Syariat Islam (Jakarta: Jakarta Indo, 1987), 104-105.
[3] Rachmat Syafie’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bndung: Pustaka Setia, 1999), 104-105.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar