BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi di
dunia, menyebabakan adanya masalah-masalah baru yang belum terdapat dalam
Alquran dan Assunnah. Banyak umat Islam yang mulai bertanya status hukum Islam
tentang hal-hal baru tersebut. Sehingga, perlu yang namanya ijtihad untuk
menjawab bagaimana status hukumnya dalam syri’at islam.
Namun pada abad ke 4 H, ada sebagian ulama’ yang
berpendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Sehingga menyebabkan ulama’
zaman sekarang merasa tidak pantas untuk melakukan ijtihad.
Berangkat dari hal tersebut diatas, perlu kiranya
kita meneliti atau mempelajari kembali tentang ijtihad. Oleh karena itu, dalam
makalah ini akan dibahas tentang pengertian ijtihad, dasar-dasar hukum ijtihad,
hukum melakukan ijtihad, syarat-syarat melakukan ijtihad, tingkatan mujtahid,
ruang lingkup mujtahid, macam-macam ijtihad, serta tertutup dan terbukanya
pintu ijtihad.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan ijtihad?.
2. Apa saja dasar-dasar hukum ijtihad?.
3. Bagaimana hukum melakukan ijtihad?.
4. Apa saja syarat-syarat melakukan ijtihad?.
5. Apa saja tingkatan-tingakatan mujtahid?.
6. Dimanakah ruang ingkup ijtihad yang sebenarnya?.
7. Apa saja macam-macam ijtihad?.
8. Apakah pintu ijtihad sudah tertutup atau masih
terbuka?.
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Mengetahui apa yang dimaksud dengan ijtihad.
2.
Mengetahui apa saja dasar-dasar hukum ijtihad.
3.
Mengetahui bagaimana hukum melakukan ijtihad
4.
Mengetahui apa saja syarat-syarat melakukan ijtihad.
5.
Mengetahui apa saja tingkatan-tingkatan mujtahid
6.
Mengetahui dimana ruang lingkup ijtihad yang sebenarnya
7.
Mengetahui apa saja macam-macam ijtihad.
8.
Mengetahui apakah pintu ijtihad sudah tertutup atau masih terbuka.
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad
Secara etimologi ijthad berasal dari
bahasa Arab yaitu ijtihada yang di ambil dari masdar ghoiru mim yang
artinya bersungguh-sungguh, rajin, dan giat.[1]
Jadi menurut bahasa ijtihad itu ialah berusaha atau berupaya yang
sungguh-sungguh. Perkataan ini tidak dipergunakan dalam suatau yang tidak
mengandung kesulitan dan keberatan.
Sedangkan secara terminologi, banyak sekali para ulama’
yang mendefinisikan ijtihad. Namun pada dasarnya ijtihad adalah:
عملية استباط الاحكم السرعية من ادلتها التتفصلية في الشريعة
Artinya:
aktivitas untuk memperoleh pengetahuan
(istinbat) hukum syara’ dari dalil terperinci dalam syariat.
Dengan kata lain, ijtihad adalah pengerahan segala
kemampuan seorang faqih (pakar fiqih islam) untuk memperoleh pengetahuan
tentang hukum sesuatu melalui dali syara’
B.
Dasar Hukum Ijtihad
Ijtihad
merupakan salah satu metode untuk menggali sumber hukum Islam. Dibolehkannya
ijtihad ini tentunya berdasarkan firman Allah atau hadits Rasullullah. Baik
yang dinyatakan dengan jelas maupun yang dinyatakan dengan isyarat, diantaranya
yaitu:
Yaitu firman Allah SWT
dalam surah An nisaa’ayat 105.
Artinya: Sesungguhnya kami turunkan kitab kepadamu secara hak, agar dapat
menghukumi diantara manusia dengan apa yang Allah mengetahui kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah),
karena (membela) orang-orang yang khianat.
Dalam
ayat tersebut terdapat penetapan ijtihad yaitu berupa qiyas.
ان في ذلك لايات لقوم يتفكرون
Artinya: sesungguhnya pada hal itu terdapat tanda-tanda bagi orang yang
berpikir.
Dibolehkannya ijtihad juga
berdasarkan keterangan dari sunah, diantaranya yaitu:
Hadit
yang diriwayatkan oleh Umar:
اذا
حكم الحاكم فاجتهد فاصاب فله اجران و اذا حكم فاجتهد ثم اخطأ فله اجر
Artinya: jika seorang hakim menghukumi sesuatu, dan benar, maka itu mendapat
dua, dan bila dia salah mak dia mendapat satu pahala.
Dan hadits Muadz Bin Jabal ketika
Rasulullah SAW. Mengutusnya ke Yaman unuk menjadi Hakim.
قال
رسول الله لمعاد : بم تقض؟ قال: بما في كتاب الله. قال: فان لم تجد في كتاب الله؟
قال: اقضى بما قضى به رسول الله. قال: فان لم تجد فيما قضى به رسول الله؟ قال:
اجتهد برأيي. قال: الحمدل الله الذي وفق رسول رسوله
Artinya: Rasulullah SAW. Bertanya, “Dengan apa kamu menghukumi?” ia menjawab
“Dengan apa ayng ada dalam kitab Allah”. Bertanya Rasulullah, “Jika kamu tidak
mendapatkannya dalam kitab Allah?”. Dia menjawab “Aku memutuskan dengan apa
yang diputuskan Rasulullah”. Rasul Bertanya lagi “Jika tidak mendapatkan dalam
ketetapan Rasulullah?” Berkata Mu’adz “Aku berjihad dengan pendapatku.”
Rasulullah bersabda, “Aku bersyukur kepada Allah yang telah menyepakati utusan
dari Rasul-Nya.”
Ijtihad telah dilakukan oleh para
sahabat sejak wafatnya Rasulullah SAW. Mereka selalu berijtihad ketika
mendapatkan masalah-masalah baru yang belum di jelaskan secara jelas baik dalam Alquran dan Sunnah
rasul.
C. Hukum Melakukan Ijtihad
Hukum ijtihad di bagi tiga di lihat
dari hak ulama’ untuk melaksanakannya
yaitu Fardu A’in, Fardu Kifayah, dan
Nadhab.[2]
1.
Hukum melakukan
Ijtihad menjadi Fardu A’in apabila dalam dua keadaan yaitu:
a. Ketika
seorang mujtahid mendapatkan suatu kejadian yang mengharuskannya berijtihad
untuk dirinya tentang hal yang berhubungan dengan ibadah, muamalah, perkawinan,
dan talaknya dan sebagainya.
b. Ijtihad
ketika dia harus memutuskan hukum seperti tiadanya orang lain selain dirinya
sendiri yang dipercaya kefaqihan dan kemapuan agamanya ketika mendesak untuk
menentukan hukum kejadian itu atau boleh
menundanya bila tidak terlalu mendesak kejadiannya.
2. Hukum
melakukan ijtihad menjadi Fardu Kifayah apabila dalam dalam dua keadaan yaitu:
a. Apabila
suatu perkara terjadi pada seseorang lalu meminta fatwa kepada salah seorang
ulama’, maka kewajiban untuk menjawab fatwa dibebankan pada semua umat. Kalau
dia atau lainnya menjawab masalah tersebut maka gugurlah kewajiban atas umat.
Akan tetapi, jika tidak maka berdosalah semuanya.
b. Apabila
Suatu hukum yang harus di putuskan oleh dua hakim yang bersekutu. Kewajiaban
memtuskan dipikul oleh keduanya. Bila salah seorang telah metuskan suatu
keputusam maka gugurlah kewajiban yang lain.
3. Hukum
melakukan ijtihad menjadi mandub terdapat dalam dua keadaan yaitu:
a. Ijtihad
seorang ulama’ terehadap perkara yang belum muncul sehingga dia mengetahui hukum
yang belum terjadi.
b. Ijtihad
terhadap suatu perkara yang ditanyakan kepadanya sebelum perkara itu terjadi.
Sebagian
ulama menambahkan ada ijtihad yang haram hukumnya yaitu ijtihad yang
bertentangan dengan dalil qath’i sebab ijtihad tersebut dianggap sebagai
ijtihad tidak pada tempatnya. Diantara ijtihad yang haram adalah ijtihadnya
orang yang tidak berhak melaksanakan ijtihad yaitu ijtihadnya seorang pemimpim
yang bodoh. Sebagaimana telah diungkapkan
oleh hadits bahwa fatwa yang tidak didasari ilmu adalah sesat dan menyesatkan.
D. Syarat-syarat Melakukan Ijtihad
Mujtahid
adalah orang yang berijtihad. Berbicara tentang syarat - syarat
ijtihad tidak lain dari berbicara syarat – syaratnya mujtahid begitu
pula sebaliknya. Ada beberapa imam yang menjelaskan syarat-syaratnya Ijtihad.
1.
Imam Alghozali
Menurut
Imam Al – ghozali didalam kitabnya al – musthofa mengatakan mujtahid memiliki
dua syarat :
1. Mengetahui
dan menguasai ilmu syara’ dan dapat melihat dzon yang sesuai dengan syar’i
dengan mendahulukan apa yang wajib di dahulukan dan sebaliknya.
2. Hendaknya
seseorang itu bersikap adil, menjauhi maksiat yang dapat mencemarkan sifat dan
sikap keadilannya karena ini menjadi landasan apakah fatwanya dapat menjadi
pandangn atau tidak.
2. Imam
Asy Syathiby
Beliau mengatakan seseorang dapat
diterima ijtihadnya apabila memiliki dua sifat, yaitu:
1. Mengerti
dan faham akan tujuan-tujuannya sayriat dengan sepenuhnya, secara keseluruhan.
2. Mampu
melakukan istinbat berdasarkan kepahaman terhadap tujuan syariat tersebut.
3.
Al Amidi dan Al
Baidlawi
Menjelaskan
seseorang dapat melakukan Ijtihad apabila ia memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
1.
Mengtahui apa
yang ada pada uhan dari sifat-sifat yang wajib, Percaya pada rasul dan apa yang
dibawa olehnya, dari mukjizat-mukjizat dan ayat-ayat yang nyata. Sehinnga
pendapat dan hukum yang ia Dia sandarkan itu memang nyata dan benar. Dan tidak
disyaratkan baginya mengetahui ilmu kalam secara detail. Cukup mengetahu
perkara dengan global.
2.
Hendaknay dia seorang
yang pandai (Alim) dan bijaksana (Arif) tentang keseluruhan hukum syariat dan
pembagiannya.
Memang
sulit menjadi seoarang mujtahid mutlak. Ada saja kelemahan seseorang dibeberapa
bidang. Agar seseorang mencapai tingkatan ijtihad yang sesungguhnya Ia dituntut
untuk mengerti makna ayat-ayat hukum daam Alquran baik secara bahasa maupun
secara syara’. Dan juga mengathui Hdits Ahkam atau hadits-hadits hukum serta
mampu memilih hadits mana yangs esuai dengan permasalahan yang ada.
Seorang
Mujtahid memang seharusnya hafal akan Alquran dan Hadits yang diperlukan serta
mengettahu Nasikh dan Mansukhnya baik yang terdapat dalam Alquran ataupun
Assunnah.
Terlepas
dari pendapat dari ulama’, maka dapat di simpulkan bahwa syarat-syarat mujtahid
atau ulama’ untuk melakukan ijtihad, yaitu:
1. Menguasai
dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Alquran, baik menurut bahasa maupun syaria’ah.
2. Menguasai
dan mengetahui hadits-hadits hukum, baik menurut bahasa maupun syari’ah.
3. Mengetahui
nasakh dari Alquran dan Assunnah, supaya tidak salah dalam menetapkan hukum.
4. Mengetahui
permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma’ ulama’, sehingga ijtihadnya
tidak bertentangan dengan ijma’ ulama’.
5. Mengetahui
qiyas dan berbagai persyaratan serta menginstinbatnya, karena qiyas merupakan
kaidah dalam berijtihad.
6. Mengetahui
bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa, serta
berbagai problematikanya.
7. Mengetahui
Ilmu Ushul Fiqih yang merupakan fondasi dari ijtihad.
8. Mengetahui
maqashidu al syari’ah (tujuan syariat) secara umum, karena bagaimanapun juga
syari’at itu brhubungan dengan maqashidu al syari’ah atau rahasia yang
disyariatkannya suatu hukum. [3]
E. Tingkatan
Mujtahid
Menurut
Imam Nawawi Ibnu Shalah dan para Ulama' lainnya, tingkatan Mujtahid terbagi
menjadi lima tingkatan, yaitu:
1. Mujtahid Mustaqil Mujtahid Mustaqil merupakan seorang Mujtahid
yang bebas menggunakan kaidah-kaidah yang dibuatnya sendiri, dia menyusun fiqih-nya
sendiri yang berbeda dengan madzab yang ada.
2. Mujtahid mutlaq ghairu mustqil adalah seorang mujtahid yang
memiliki kriteria seperti mujtahid mustaqil, namun tidak menciptakan sendiri
kaidah-kaidahnya, melankan mengikuti metode salah satu imam madzab. Ulama' yang
masuk dalam tingkatan ini yaitu Abu Yusuf dan Muhammad jafar dari Hanafiyah.
3. Mujtahid Muqayyad / Takhrij adalah mujtahid yang terikat oleh
madzab imamnya. Dalam menentukan berbagai landasan tidak boleh keluar dari
kaidah-kaidah yang telah dipakai imamnya. Diantara Ulama' dalam tingkatan ini
yaitu Hasan bin Ziyad dari golongan hanafi, ibnu Qayyim dan Asyhab dari
golongan Maliki, serta al-Buwaiti dan Majani dari golongan Syafi'i.
4. Mujtahid Tarjih adalah mujtahid yang belum sampai derajatnya pada
mujtahid takhrij, tetapi menurut Imam Nawawi dalam kitab Majmu' mujtahid dalam
tingkatan ini sangat faqih, hafal kaidah-kaidah imamnya, mengetahui
dalil-dalilnya, cara memutuskan hukumnya, mencari dalil yang lebih kuat, dan
lain-lain. Diantaranya, al-Qaduri dan pengarang kitab al-Hidayah dalam madzab
Hanafi.
5. Mujtahid Fatwa adalah seorang mujtahid yang hafal dan faham
terhadap kaifa-kaidah imam madzab, mampu menguasai berbagai permasalahan, namun
masih lemah dalam menetapkan suatu putusan berdasarkan dalil serta lemah dalam
menetapkan Qiyas.
F. Ruang
Lingkup Ijtihad
Menurut al-Ghazali, objek ijtihad adalah
setiap hukum syara' yang tidak memiliki dalil yang qath'i. Jadi, ruang lingkup
ijtihad mencakup hukum syara' yang bersifat dzanni serta hukum-hukum yang belum
ada nash-nya dan ijma' para Ulama'. Apabila ada nash yang keberadaannya masih
dzanni, hadits ahad misalnya, maka objek ijtihadnya yaitu meneliti bagaimana
sanadnya, derajat para perawinya, dan lainnya. Dan nash yang petunjuknya masih
dzanni, maka yang menjadi objek ijtihad adalah bagaimana maksud dari nash
tersebut. Sedangkan terhadap permasalahan yang tidak ada nash-nya, maka yang
menjadi objek ijtihad
Sedangkan
yang tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad adalah hukum-hukum yang telah di
maklumi sebagai landasan pokok Islam, yang berdasarkan pada dalil-dalil yang
qath’i, seperti kewajiban melaksanakan sholat, zakat, puasa, ibadah haji, atau
haramnya melakukan zina, mencuri, dan lain-lain.
G. Macam-macam Ijtihad
Dr. Dawalibi
membagi Ijtihad menjadi tiga bagian, yang sebagiannya sesuai dengan pendapat
As- Syathibi dalam kitab Almuafaqat, yaitu:
a.
Ijtihad Al Batani, yaitu ijtihad
untuk menjelasakan hukum-hukum syara’ dari nash.
b.
Ijtihad Al Qiyasi, yaitu ijtihad
terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Alquran dan Assunnah dengan
menggunakan metode qiyas.
c.
Ijtihad Al Istishlah, yaitu ijtiha
terhadap permasalan yang tidak terdapat dalam Alqura dan Assunnah dengan
menggunakan ra’yu berdasarkan kaidah istishlah
Pembagian
diatasa masih belum sempurna, seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Taqiyyu
Alhakim dengan mengemukakan beberapa alasan, diantaranya jami’ wal mani.
Menurutnya, ijtihad itu dapat di bagi menjadi dua bagian saja, yaitu:
a.
Ijtihad Al-aqli, yaitu ijtihad
yang didasarkan pada akal, tidak menggunakan dalil syara’. Mujtahid dibebasakan
untuk berfikir dengan mengikuti kaidah-kaidah yang pasti. Misalnya, menjaga
kemudharatan, hukuman jelek bila tidak disertai penjelasan, dan lain
sebagainya.
b.
Ijtihad Syar’i, yaitu ijtihad yang
didasarkan pada syara’. Termasuk dalm pembagian ini adalah ijma’, qiyas,
istihsan, istishlah, urf, isttishab dan lain-lain.
H. Terbuka dan Tertupnya Pintu Ijtihad
Pada abad ke 4 hijriah, terdapat ungkapan bahwa
pintu ijtihad telah tertutup. Banyak para ulama’ saat itu yang merasa tidak
mampu untuk melakukan ijtihad, sehingga mereka terlalu fanatik dengan madzhab
yang sudah ada. Salah penyebab kondisi tersebut adalah terbaginya daulah
islamiyah kepada beberapa negara, sehingga umat islam menjadi lemah pada saat
itu.
Para ulama’ dari golongan Syiah berpendapat bahwa
pernyataan tentang tertutupnya pintu ijtihad dan adanya pembaasan dalam
berpikir pada abad ke empat adalah
kesalahan besar. Golongan ini berpendapat bahwa pintu ijtihad selalu terbuka.
Menurut Suyuthi, sebenarnya para ulama’ dari setiap
madzhab telah sepakat bahwa ijtihad itu hukumnya wajib dan taqlid buta adalah
perbuatan yang tercela. Mereka pun melarang umat islam bertaqlid buta terhadap
pendapat mereka tanpa meneliti fatwa-fatwa yang di keluarkan.
Menurut Al Baghawi dan Asy Syahrastani, di hukumi
dosa jika seseorang tidak seorang pun
ari kaum muslimin yang memepelajari fatwa ulama’ terdahulu. Hal itu
dianggap meremehkan Hukum Syara’, di samping semakin berkembangnya permasalahan
yang tidak sama dengan waktu tertentu, yang sudah pasti memerlukan ijtihad
untuk menjawab permasalahan tersebut.
BAB
III PENUTUP
A.
Kesimpulan
Secara
terminologi Ijtihad adalah aktivitas untuk memperoleh
pengetahuan (istinbat) hukum syara’ dari dalil terperinci dalam syariat.
Sedangkan Secara etimologi ijthad berasal dari bahasa Arab yaitu ijtihada yang
di ambil dari masdar ghoiru mim yang artinya bersungguh-sungguh, rajin, dan
giat.
Dasar hukum yang membolehkan Ijtihad
adalah Alquran dan hadits Rasul. Salah satunya yaitu Alquran Surah Annisaa’
ayat 105 serta Hadits Rasul yang diriwayatkan oleh Umar.
Hukum melakukan ijtihad pada dasarnya
adalah boleh namun bisa berubah status hukumnya menjadi Fardu A’in, Fardu
Kifayah, Nadhb, dan bahkan haram sesuai dengan situasi dan kondisi yang terjadi
pada saat itu.
Syarat-syarat untuk menjadi mujtahid
yaitu: mengetahui dan menguasai ayat-ayat hukum dalam Alquran, mengetahui dan
mengasai Hadits-hadits Ahkam, mengetahui nasakh dan mansukh dari Alquran dan
Assunnah, mengetahui permasalahan yang telah ditetapkan melalui ijma’ ulama’,
mengetahu qiyas dan berbagai persyaratannya, mengetahu bahasa Arab dan berbagai
disiplin ilmu yang berkaitan, dan mengetahui Ilmu Ushul Fiqih, mengetahu
Maqasidu As sayari’ah.
Objek atau ruang lingkup ijtihad yaitu
hukum-hukum yang didasarkan pada pada dalil yang bersifat dzanni. Sedangkan
yang tidak boleh jadi lapangan ijtihad adalh hukum-hukum yang telah dimaklumi
sebagai landasan pokok islam yang berdasarkan dalil yang qath’i.
Tingkatan ijtihad yaitu: Mujtahid
Mustaqil, mujtahid mutlaq ghairu mustaqil, mujtahid muqayyad, mujtahid tarjih,
dan mujtahid fatwa.
Sedangkan macam-macam ijtihad adalah
ijtihad Al-Batani, Al-qiyasi, dan Al isstishlah. Ada juga macam-macam ijtihad
yaitu ijtihad Al aqli dan ijtihad Al Syar’i.
Dalam alquran maupun hadits tidak
dijumpai yang menjelaskan tertutupnya pintu ijtihad. Jadi kesimpulannya pintu
ijtihada tidak pernah tertutup hanya saja sulit menemukan ulama’ yang mencukupi
sayrat untuk melakukan ijtihad sehinnga biasa dikatakan bahwa mujtahi mutlaq
sangat sulit untuk saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Al
dzarwy, Ibrahim Abbas. 1987. Ijtihad Dalam Syari’at Islam. Jakarta:
Jakarta Indo.
Al
Qardawy, Yusuf. 1987. Ijtihad Dalam Syari’at Islam. Jakarta: Jakarta
Indo.
Khalaf,
Abdul Wahab. 2004. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Rineka Cipta.
Mujtaba,
Syaifuddin. 2012. Ilmu Fiqh Sebuah Pengantar. Jember: STAIN Jember
Press.
Syafe’i,
Rahmat. 1999. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar