EKSISTENSI MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA
Hampir tidak ada manusia yang mempunyai keinginan untuk tidak
menikah. Menikah adalah senjata yang paling ampuh dalam menjaga pandangan dan
kemaluan. Banyak sekali hikmah yang bisa didapat dari pernikahan. Baik itu
bersifat biologis, sosial, ekonomi, dan lain sebagainya. Dalam Undang-undang No
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menjelasakan pengertian perkawinan yaitu
hubungan lahir batin antara laki-laki
dan perempuan sebagai pasangan suami isteri dengan tujuan untuk membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa. Dalam
Islam sendiri hukum dasar dari menikah adalah boleh namun dalam keadaan
tertentu hukum tersebut bisa berubah menjadi sunnah, makruh, dan bahkan haram.
Ditegaskan juga dalam Alquran mengenai anjuran menikah, seprti halnya ayat di
bawah ini.
Dan jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An Nisaa’: 3)
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang
yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka
dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. QS. An Nuur : 32
|
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berfikir. (QS. Ar Ruum : 21)
Dan juga di jelaskan dalam hadits Nabi Muhammad S.A.W. yang membirikan anjuran untuk menikah kepada
pemuda yang telah mampu secara lahir maupun bathin. Sedangkan yang bagi yang
belum mampu, nabi menganjurkan untuk berpuasa agar bisa menahan pandangan dan
kemaluan.
Seperti halnya yang telah ditegaskan dalam Alquran, hadits, maupun
undang-undang yang berlaku di Indonesia, bahwasanya tujuan menikah bukanlah
hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis saja. Namun disitu ada unsur
mempersatukan dua keluarga yang tentunya nanti akan bermuara kepada kehidupan
keluarga yang sakinah, mawadah dan warahmah. Akan tetapi, tidak dapat
dipungkiri masih banyak keluarga yang gagal membina tujuan luhur dari
pernikahan tersebut sehingga, menggunakan perceraian sebagai jalan akhir atas
segala permasalahan keluarga yang tidak terselesaikan.
Seiring dengan banyaknya perkara perceraian yang masuk ke pengadilan agama,
maka Mahkamah Agung RI menerbitkan peraturan
Mahkamah Agung No.2 Tahun 2003 yang kemudian di revisi dalam peraturan Mahkamah
Agung No.1 Tahun 2008 yang mengatur mengenai prosedur mediasi dalam
penyelesaian sengketa perdata di pengadilan secara damai. Mediasi dilakukan sebelum perkara di periksa
dan dilanjutkan dalam ranah litigasi. Salah satu tujuan mediasi adalah untuk
mendamaikan pihak-pihak yang akan berperkara. Jika ditarik kepada perkara
perceraian maka mediasi memiliki salah satu tujuan untuk menekan angka
perceraian di indonesia. Namun apakah tujuan dari mediasi tersebut seudah
berjalan maksimal atau belum masih perlu penelitian lebih lanjut.
A.
Pengertian Mediasi
Mediasi
di Pengadilan Agama adalah suatu proses usaha perdamaian antara suami dan istri
yang telah mengajukan gugatan cerai, dimana mediasi ini dijembatani oleh
seorang Hakim yg ditunjuk di Pengadilan Agama. Dari pengertian tersebut sudah
sangat jelas bahwasanya mediasai merupakan salah satu jalan yang dilakukan
sebelum perkara dilanjutkan ke meja persidangan guna pihak-pihak yang akan
melakukan perceraian untuk berfikir kembali atas keinginanannya untuk melakukan
perceraian. Dengan kata lain mediasi bertujuan untuk menekan atau mengurangi
angkan perceraian yang sangat tinggi.
Menurut
Gary Goodpaster, “Mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah di mana
pihak luar yang tidak memihak (impartial) dan netral bekcrja dengan pihak yang
bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian dengan
memuaskan”.
Jadi,
dapat disimpulkan dari beberapa pengertian diatas bahwa mediasi adalah suatu
proses di mana kedua belah pihak yang bersengketa atau lebih menunjuk pihak
ketiga yang netral dan impartial untuk membantu mereka dalam mendiskusikan
penyelesaian sengketa dan mencoba menggugah para pihak untuk menegosiasikan
suatu penyelesaian dari sengketa. Selain itu, mediasi bersifat pribadi,
rahasia, dan kooperatif dan tidak terikat dengan aturan-aturan formal
sebagaimana proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan.
B.
Dasar Hukum Mediasi
Sebagai
negara hukum sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945 pasal 1 ayat 3 tetntunya
segala bentuk tata kenegaraan dan segala yang berkaitandengan negra harus
dilandasi oleh undang-undang atau peraturan lain yang diakui di negara Indonesia.
Termasuk didalamnya adalah terkait dengan mediasi, sudah menjadi barang tentu
pelaksannan mediasi tersebut harus dilandasi oleh Undang-undang atau peraturan
lainnya. Adapaun dasar hukum tentang mediasi adalah sebagai berikut:
1.
Surat
Edaran Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2002
2.
Peraturan
Mahkamah Agung No.2 Tahun 2003.
3.
Peraturan
Mahkamah Agung No.1 Tahun 2008 (PerMA No. 1/2008).
C.
Proses Mediasi di Pengadilan Agama
Berdasarkan
PERMA No. 01 Tahun 2008 Menjelaskan tentang proses mediasi sebagai berikut:
1.
Tahap
Pra Mediasi
Pada Hari Sidang
Pertama yang dihadiri kedua belah pihak Hakim mewajibkan para pihak untuk
menempuh mediasi. Hakim Menunda proses persidangan perkara untuk memberikan
kesempatan proses mediasi paling lama 40 Hari Kerja. Hakim menjelaskan prosedur
mediasi kepada para pihak yang bersengketa. Para pihak memilih Mediator dari
daftar nama yang telah tersedia, pada hari Sidang Pertama atau paling lama 2
hari kerja berikutnya. Apabila dalam jangka waktu tersebut dalam point 4 para
pihak tidak dapat bersepakat memilih Mediator yang dikehendaki. Ketua Majelis
Hakim segera menunjuk Hakim bukan pemeriksa pokok perkara untuk menjalankan
fungsi Mediator.
2.
Tahap
Proses Mediasi
Dalam
waktu paling lama 5 hari kerja setelah para pihak menunjuk Mediator yang
disepakati atau setelah ditunjuk oleh Ketua Majelis Hakim, masing – masing
pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada Hakim Mediator yang ditunjuk.
Proses Mediasi berlangsung paling lama 40 hari kerja sejak Mediator dipilih
oleh para pihak atau ditunjuk oleh Majelis Hakim. Mediator wajib memperseiapkan
jadwal pertemuan Mediasi kepada para pihak untuk disepakati. Apabila dianggap
perlu Mediator dapat melakukan “Kaukus”. Mediator berkewajiban menyatakan
mediasi telah Gagal jika salah satu pihak atau para pihak atau Kuasa Hukumnya
telah 2 kali berturut – turut tidak menghadiri pertemuan Mediasi sesuai jadwal
yang telah disepakati tanpa alasan setelah dipanggil secara patut.
3.
Mediasi
Mencapai Kesepakatan
Jika
mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian maka wajib dirumuskan secara
tertulis dan ditandatangani oleh para pihak dan Mediator. Jika mediasi diwakili
oleh Kuasa Hukum para maka pihak wajib menyatakan secara tertulis persetujuan
atau kesepakatan yang dicapai. Para pihak wajib menghadap kembali kepada Hakim
pada hari Sidang yang telah ditentukan untuk memberi tahukan kesepakatan
perdamaian tersebut. Para pihak dapat mengajukan kesepakatan perdamaian kepada
Hakim untuk dikuatkan dalam bentuk “Akta Perdamaian”. Apabila para pihak tidak
menghendaki kesepakatan perdamaian dikuatkan dalam bentuk Akta perdamaian maka
harus memuat clausula pencabutan Gugatan dan atau clausula yang menyatakan
perkara telah selesai.
4.
Mediasi
Tidak Mencapai Kesepakatan
Jika
Mediasi tidak menghasilkan kesepakatan, Mediator wajib menyatakan secara
tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan tersebut
kepada Hakim. Pada tiap tahapan pemeriksaan perkara Hakim pemeriksa perkara
tetap berwenang untuk mengusahakan perdamaian hingga sebelum pengucapan
Putusan. Jika mediasi gagal, pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses
mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan.
5.
Tempat
Penyeleggaraan Mediasi
Mediator
Hakim tidak boleh menyelenggarakan Mediasi diluar Pengadilan. Penyelenggaraan
mediasi disalah satu ruang Pengadilan Agama tidak dikenakan biaya.
6.
Perdamaian
di Tingkat Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali
Para
pihak yang bersepakat menempuh perdamaian di tingkat Banding / Kasasi /
Peninjauan Kembali wajib menyampaikan secara tertulis kepada Ketua Pengadilan
Agama yang mengadili. Ketua Pengadilan Agama yang mengadili segera
memberitahukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi Agama (bagi perkara Banding) atau
Ketua Mahkamah Agung (bagi perkara Kasasi dan Peninjauan Kembali) tentang
kehendak para pihak untuk menempuh perdamaian. Hakim Banding / Kasasi /
Peninjauan Kembali wajib menunda pemeriksaan perkara yang bersangkutan selama
14 hari kerja sejak menerima pemberitahuan tersebut. Para pihak melalui Ketua
Pengadilan Agama dapat mengajukan Kesepakatan perdamaian secara tertulis kepada
Majelis Hakim Banding / Kasasi / Peninjauan Kembali untuk dikuatkan dalam Akta
perdamaian. Akta perdamaian ditanda tangani oleh Majelis Hakim Banding / Kasasi
/ Peninjauan Kembali dalam waktu selambat – lambatnya 30 hari kerja sejak
dicatat dalam Register Induk Perkara.
D.
Eksintensi Mediasi di Pengadilan Agama
Masuknya mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan lewat
terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2002 sehingga Mahkamah Agung
menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung No.2 Tahun 2003 yang direvisi dengan
peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2008 dapat menjadi suatu instrument yang
efektif untuk mencegah tertumpuknya perkara di pengadilan dan memaksimalkan
fungsi peradilan dalam upaya menyelesaikan sengketa. Mediasi pada pengadilan
ini memperkuat upaya damai sebagaimana yang diatur di dalam pasal 130 HIR atau
Pasal 154 RBg. Dengan berlakunya Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2008, maka
pengadilan tidak hanya memiliki tugas dalam memeriksa, mengadili, dan
memutuskan perkara yang telah diterima, akan tetapi berupaya mengadakan
perdamaian bagi para pihak yang bersengketa.
Di dalam pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung No.2 Tahun 2003
disebutkan bahwa semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat
pertama wajib untuk terlebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan
bantuan mediator. Begitu juga di dalam peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2008
di dalam pasal 2 ayat (2) dikatakan bahwa setiap hakim, mediator, dan para pihak
wajib mengkuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi yang diatur dalam
peraturan ini. Dilihat dari bunyi pasal ini maka hakim sebelum melanjutkan
pemeriksaan pokok perkara, menganjurkan para pihak yang bersengketa untuk
melalui perdamaian lewat proses mediasi. Kemudian di dalam pasal 2 ayat (3)
peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2008 mengatakan tidak menempuh prosedur
mediasi berdasarkan peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan
pasal 130 HIR dan atau pasal 154 RBg yang mengakibatkan putusan batal demi
hukum.
Kehadiran Perma No.1 Tahun 2008 ditujukan untuk memberikan
kepastian, ketertiban, kelancaran dalam proses mendamaikan para pihak untuk
menyelesaikan suatu sengketa perdata. Hal ini dapat dilakukan dengan
mengintensifkan dan mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur
berperkara di pengadilan.
Mediasi mendapat dukungan penting dalam Perma No.1 Tahun 2008,
karena proses mediasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengadilan.
Hakim wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi. Apabila
hakim melanggar atau tidak menerapkan prosedur mediasi, maka putusan hakim
tersebut dinyatakan batal demi hukum. Oleh karena itu, hakim dalam pertimbangan
putusannya wajib menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan
perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediatornya dalam perkara
tersebut.7
Penerbitan SEMA dan PERMA tentang hukum acara mediasi bertujuan
untuk mengoptimalkan proses penyelesaian sengketa secara damai. Terdapat
beberapa alasan yang melatarbelakangi upaya integrasi lembaga perdamaian di
pengadilan:
1.
Untuk mengatasi penumpukkan perkara
di pengadilan dan Mahkamah Agung;
2.
Untuk lebih memberikan akses
keadilan bagi para pihak dengan proses yang cepat sederhana dan biaya murah;
3.
Untuk memberikan penyelesaian yang
benar-benar tuntas, dalam arti tidak hanya tuntas secara hukum, namun juga bias
tuntas secara sosial dan moral.
4.
Untuk memberikan kepastian hukum
bagi para pihak atas kesepakatan damai yang telah dilakukan
PERMA mediasi telah memperkuat kewajiban-kewajiban yang sebelumnya
tidak diatur secara jelas di dalam HIR dan RBg, misalnya di dalam PERMA No. 1
Tahun 2008 pasal 2 butir (4) mewajibkan agar di dalam pertimbangan putusan,
hakim harus menyebutkan bahwa perkara tersebut telah diupayakan perdamaian
lewat proses mediasi, namun tidak berhasil dengan mencantumkan nama mediator
untuk perkara yang bersangkutan, berdasarkan penetapan penunjukkan mediator.
Hal ini tidak dijumpai di dalam HIR dan RBg, bahkan di dalam pasal 130 HIR/ 154
RBg tidak terdapat kata wajib dalam menjalani proses perdamaian. Di dalam pasal
130 HIR dan pasal 154 RBg menyebutkan bahwa “Jika pada hari yang telah
ditentukan para pihak datang menghadap, maka pengadilan negeri dengan
perantaraan ketuanya akan berusaha memperdamaikan mereka”. Jika dilihat dari
bunyi pasal diatas maka sifatnya memaksa, setelah itu di dalam pasal 2 butir
(3) PERMA No. 1 Tahun 2008 memberikan suatu ancaman terhadap pelanggaran pasal
130 HIR/ 154 RBg dengan sanksi “putusan batal demi hukum”. Tujuan
diterbitkannya PERMA mediasi bukan untuk membangun suatu lembaga hukum yang
baru, melainkan hanya sekedar memberikan aturan teknis terhadap lembaga damai
yang sebelumnya telah diatur di dalam HIR dan RBg dan substansinya tetap
berpedoman pada aturan pokok yang menjadi sumbernya.
E.
Kekuatan
Mediasi dalam Pengadilan Agama
Keberhasilan mediasi selain dengan itikad baik dari para pihak,
juga memerlukan suatu kekuatan agar proses penyelesaian perkara boleh berjalan
sesuai dengan apa yang diharapkan. Mediasi merupakan salah satu bentuk
alternatif penyelesaian sengketa yang memiliki kekuatan sehingga mediasi
menjadi salah satu pilihan yang dapat dipakai oleh mereka yang sedang
bersengketa.
Christopher W. Moore mengemukakan padangannya mengenai kekutatan
dalam mediasi yaitu:
“If the power or influence potencials of the parties are well
developed, fairly equal in strength, and recognized by all disputants, the
mediator’s job will be the assist the disputants in using their influence
effectively to produce mutually satisfactory results”.
“Jika potensi pengaruh kekuatan dari pihak-pihak dikembangkan
dengan baik, persamaan yang fair dalam kekuatan tersebut dan disadari oleh
pihak bersengketa, tugas mediator untuk mengakses pengaruh salah satu pihak ke
pihak lain secara efektif akan menghasilkan keputusan/kepuasan bersama para
pihak”.10
Kekuatan adalah faktor kunci dalam berunding/bermediasi.
Keberhasilan mediasi ditentukan bukan karena belas kasihan, akan tetapi karena
para pihak saling membutuhkan satu sama lain agar sengketa yang diperdebatkan
boleh terselesaikan. Kebutuhan para pihak satu dengan yang lainnya tergantung
pada ada tidaknya kekuatan masing-masing dari para pihak. Untuk itulah perlu
dibangun suatu kekuatan sebagai upaya memperkuat posisi dalam mediasi. Dalam
mediasi ada beberapa jenis kekuatan yaitu:
1. Kekuatan
hukum
2.
Kekuatan ekonomi/keuangan
3.
Kekuatan politik
4.
Kekuatan sosial
5. Kekuatan
moral
Mediasi memiliki suatu kekuatan untuk memberikan kewenangan bagi
para pihak dalam menyelesaikan sengketa sesuai dengan apa yang menjadi
keinginan mereka. Para pihak mengontrol jalannya proses mediasi dan dapat
menentukan cara-cara yang lebih serderhana, jika dibandingkan dengan proses
beracara formal di pengadilan. Kemudian para pihak wajib mematuhi keputusan
yang telah disepakati bersama dengan bantuan mediator. Mediator bertindak sebagai
penengah yang sifatnya netral atau tidak berpihak pada kedua belah pihak dengan
tujuan mendapatkan penyelesaian yang adil dan tidak merugikan salah satu pihak.
Pelaksanaan mediasi dilaksanakan secara tertutup atau rahasia. Hal
ini menjadi ciri khas daripada mediasi itu sendiri sehingga banyak kalangan
tertentu yang sedang menghadapi suatu perkara tidak menginginkan perkaranya
diumumkan atau dimuat di media massa. Kerahasiaan akan membantu para pihak
membangun kepercayaan dengan mediator. Di sisi lain mediator harus berusaha
untuk menjaga kerahasiaan dari substansi mediasi itu sendiri, serta sebaiknya
menghancurkan seluruh dokumen diakhir sesi yang telah dibuat sebelumnya. Para
pihak diharapkan dapat saling menghormati kerahasiaan tersebut. Dengan ini para
pihak dapat mengungkapkan masalahnya secara langsung dan terbuka. Hal ini
penting untuk menemukan kebutuhan dan kepentingan mereka secara nyata.
Pada prinsipnya informasi yang dikemukakan selama berlangsungnya
proses mediasi, mendapat perlindungan hukum untuk tidak dikemukakan pada
proses yang
lain atau pihak ketiga. Menurut pasal 19 ayat (1) PERMA No. 1 tahun 2008,
menyebutkan bahwa “jika para pihak gagal mencapai kesepakatan, pernyataan dan
pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat
bukti dalam persidangan perkara yang bersangkutan atau perkara yang lainnya”.
Hal ini mempunyai tujuan yaitu agar proses mediasi tidak disalahgunakan oleh
para pihak yang tidak beritikad baik untuk menjebak lawan dengan berdalih ingin
berdamai, padahal mereka memiliki tujuan yang tidak baik. Selain itu, hal ini
dilakukan dengan tujuan agar para pihak tanpa rasa takut dapat mengungkapkan
fakta di dalam proses mediasi.12
Dengan adanya
Peraturan Mahkamah Agung No.2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan, proses mediasi untuk kasus-kasus sengketa publik yaitu
sengketa-sengketa lingkungan hidup, pertanahan, hak asasi manusia, produsen dan
konsumen wajib terbuka untuk umum. Terbitnya
Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi
di pengadilan yang mencabut berlakunya peraturan Mahkamah Agung No.2 Tahun 2003
tidak lagi mengenal sengketa publik, sehingga pada asasnya proses mediasi
bersifat tertutup untuk umum, kecuali para pihak mengizinkan mediasi yang mereka
tempuh terbuka untuk umum.
Para pihak yang bersengketa lewat jalur mediasi dapat membahas
berbagai aspek atau sudut pandang dari sengketa yang sedang dihadapi, tidak
hanya tertuju kepada aspek hukum tetapi dapat juga aspek-aspek lainnya. Mediasi
bersifat konsensual dan kolaboratif, sehingga hasil yang akan didapatkan yaitu
menang-menang(win-win solution) bagi para pihak.
Dilihat dari
sifatnya yang konsensual atau mufakat dan kolaboratif, mediasi selalu
menghasilkan penyelesaian sengketa dengan cara menang-menang bagi para pihak
(win-win solution), sehingga tidak merugikan para pihak yang berperkara.
Mediasi termasuk di dalam salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang
relatif murah dan tidak memakan waktu yang cukup lama jika dibandingkan dengan
berperkara melalui proses litigasi. Disamping itu hasil yang didapat selama
menempuh proses mediasi yaitu kesepakatan bersama oleh para pihak, sehingga
para pihak yang bersengketa tidak mengajukan keberatan atas apa yang telah
disepakati.
SUMBER: WISKA
W. R RAHANTOKNAM, EKSISTENSI MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA
Nama : Edi Purwanto
NIM : 083 131 024
Kelas : H-1
Semester : VI (Enam)
Fakultas : Syariah
Jurusan : Hukum Islam
Prodi : Ahwalus Syakhsiyyah
Makul : Bimbingan Konseling Keluarga Sakinah